Oleh: Haris Budiawan, S.Pd
Indonesia akan melaksanakan perhelatan politik besar pada tahun 2024 setelah lima kali melaksanakan pemilu secara langsung berturut-turut sejak reformasi tahun 1999. Sebab pada Pemilu 2024 nanti, akan diselenggarakan pemilu nasional pemilihan presiden, DPR, DPD, DPRD, dan juga Pilkada secara serentak.
Pemilu serentak ini akan menjadi ujian yang sesungguhnya bagi bangsa Indonesia dalam menjalankan demokrasi. Bukan hanya sekedar menjalankan mandat reformasi tahun 1998, tapi kita harus dapat menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara dengan demokrasi yang matang dan kuat. Karena itu Pemilu 2024 dan 2029 diharapkan akan menjadi tahapan konsolidasi demokrasi yang penting untuk mencapai kematangan demokrasi di Indonesia.
Apalagi Indonesia telah melakukan lima kali pemilu langsung secara berturut-turut di tahun 1999, 2004, 2009, 2014, dan 2019, dan kita bisa melaksanakannya dengan aman, dengan tenang dan damai
Konsolidasi demokrasi dapat diartikan sebagai proses penggabungan beberapa elemen demokrasi untuk bersama-sama secara padu memfasilitasi demokratisasi politik. Unsur yang terlibat dalam konsolidasi demokrasi adalah penyelenggara pemilu, pemerintah, lembaga atau institusi politik, baik partai politik, elite, kelompok – kelompok kepentingan maupun masyarakat.
Unsur penting lainnya dalam konsolidasi demokrasi adalah adanya kesepakatan bersama menyangkut “nilai-nilai politik” yang bisa mendekatan dan mempertemukan berbagai elemen politik di atas menjadi suatu kekuatan yang relatif padu selama transisi menuju penguatan dan pematangan demokrasi.
Kini hajatan besar itu telah dimulai. Dalam pelaksanaan Pemilu dan Pilkada serentak tahun 2024 ini, diharapkan para penyelenggara pemilu dapat berkomitmen melaksanakannya dengan baik agar demokrasi tetap hidup dan semakin berkualitas, melahirkan pemerintahan yang memiliki legitimasi yang kuat.
Semua stake holder diharapkan berkomitmen untuk mewujudkan Pemilu 2024 secara berkualitas, menjunjung tinggi persatuan nasional baik sebelum dan sesudah penetapan hasil pemilu oleh KPU serta mengurangi derajat konflik sosial di tengah masyarakat. Ekses Pemilu 2014 dan 2019 diharapkan tidak terjadi lagi pada Pemilu 2024.
Lalu, modal apa yang harus dimiliki oleh para aktor politik untuk mencapai harapan itu?
Setidaknya ada enam tantangan yang akan dihadapi pada Pemilu 2024 yaitu, masalah teknis persiapan pemilu, partisipasi pemilih, transparansi, tata kelola pemilu yang akuntabel, masa kampanye, dan sikap legowo menerima hasil pemilu. Upaya perbaikan atas tantangan nomor satu sampai lima adalah arena teknis penyelengaraan pemilu. Sementara tantangan keenam berkaitan dengan mental para aktor politik yang berkontestasi.
Legowo dan Narasi Perdamaian
Pilpres 2014 memberikan fakta bahwa ketiadaan rasa legowo pada aktor politik telah menimbulkan konflik sosial dan pembelahan sosial secara tajam. Dan, hal itu diulang pada Pilpres 2019. Pesta demokrasi yang seharusnya adalah kegembiraan berubah tidak menyenangkan karena ada pihak yang menyemaikan bibit-bibit kebencian yang tak berkesudahan.
Ada dua irisan golongan masyarakat yang saling mengutarakan ujaran kebencian dan perpecahan akibat dari perbedaan pandangan dan pilihan politik pada tahun itu. Padahal jika dicermati lebih dalam lagi, dengan ditandainya penetapan presiden yang terpilih dan dirangkulnya calon presiden yang kalah untuk masuk ke dalam kabinet pemerintahan, seharusnya perpecahan dan ujaran kebencian antar golongan masyarakat sudah selesai saat itu juga dan bersatu untuk menata tujuan bangsa ke arah yang lebih maju.
Sebagai bahan evaluasi bersama. menurut Sudiyono (2019) dalam bukunya yang berjudul Indahnya Hidup dengan Legowo, kata legowo adalah solusi yang pas untuk menghadapi kepelikan permasalahan akibat dari hasil kontestasi politik. Kata legowo berasal dari Bahasa Jawa yang memiliki makna menerima dengan ikhlas dan sabar terkait masalah-masalah yang sedang terjadi, baik itu berupa kekalahan maupun kemenangan. Legowo adalah kondisi batin seseorang yang lebih memilih untuk menerima apapun yang terjadi pada dirinya dengan hati yang lapang.
Selain sikap legowo, narasi perdamaian juga harus disemaikan kepada para aktor politik di Indonesia. Soejatmoko (1991) mengatakan bahwa perdamaian akan tercipta apabila keberagaman dan kebebasan manusia dihormati dalam kehidupan ini, perdamaian dilandasi dengan kenyataan bahwa di dalam kehidupan manusia pasti akan ada perbedaan, karena masing-masing manusia memiliki hak-hak individu. Perbedaan itulah yang menjadikan keberagaman, dan keberagaman akan membentuk budaya politik yang bermartabat.
Di sinilah peran dari kata legowo dan narasi perdamaian terhadap seluruh elemen masyarakat menemukan relevansinya. Masyarakat dan seluruh stake holder pemerintahan bersama-sama gotong-royong merawat kesehatan mental agar lebih matang untuk menghadapi situasi kontestasi politik yang kemungkinan besar mampu menimbulkan potensi perpecahan di tengah masyarakat.
Perjalanan demokrasi selama 10 tahun terakhir menunjukkan bahwa perkembangan demokrasi telah memberikan pengalaman tak ternilai bagi bangsan Indonesia. Persatuan nasional, baik sebelum maupun pasca pemilu harus terus diupayakan agar situasi dan stabilitas politik tetap kondusif. Pemilu merupakan kontestasi politik biasa yang dilaksanakan secara periodik. Sikap legowo pihak yang kalah dibutuhkan agar negara tidak di ambang perpecahan akibat perbedaan pandangan dan pilihan politik.
Penulis adalah pemerhati sosial dan politik