Ketua PWI Jateng memberikan materi pelatihan jurnalistik, hari ini. Foto: eko

SEMARANG (SUARABARU.ID) – Ketua PWI Jateng H Amir Machmud NS menilai, sesekali media massa menampilkan wajah malaikat dan iblis, berada di batas yang tipis. Pendapat itu terkait penyajian informasi di media era sekarang dan tahun 80-90 an.

Dia mengatakan hal itu dalam pelatihan jurnalistik lanjutan tentang estetika jurnalistik, di hotel Mahima Semarang, hari ini Sabtu (10 Juni 2023). Pesertanya 30 wartawan Magelang.

Yang dimaksud menampilkan wajah malaikat terutama sajian yang sesuai Undang-undang Pers. Yakni mengandung
fungsi memberi informasi, edukasi, hiburan dan kontrol sosial. Sementara yang menampilkan wajah iblis karena tidak menyadari, tujuan pers disimpangkan.

“Pelanggaran kode etik yang sekarang menemukan bentuk keleluasaan yang nyaris tidak ada tindakan serius dari lembaga terkait,” katanya.

Selebihnya dipaparkan, pelanggaran kode etik antara lain, wartawan Indonesia tidak boleh menampilkan pornografi. Nyatanya sekarang banyak sajian yang mengandung unsur pornografi. Tak lain agar banyak pembacanya maupun promosi produk.

Di sisi lain ketika pembaca ditanya, mereka puas dengan sajian pers sekarang.

Dia memeroleh kesan, pemahaman tentang produk teks jurnalistik identik dengan yang biasa mereka akses sekarang. Ringkas, to the point, eye catching, berpijak pada kata kunci dan search engine optimazion (SEO).

Wartawan angkatan 80/90 rata-rata protes karena sekarang tidak ada berita indah yang jurnalisme sastrawi. Seperti terbitan Kompas di tahun 1980 dan 1990-an.

Pembaca sekarang kurang mengenal Gunawan Mohamad, Leila S Chudori, Sumohadi Marsis, Budy Shambazy, Hendry Ch Bangun. Rata-rata mereka menyatakan lebih mengenal presenter televisi seperti Najwa Shihab, Aiman Witjaksono, Andy Noya, atau Karni Ilyas. Artinya hanya peduli pada acara yang ditayangkan belakangn ini. Tidak kenal wartawan senior tempo dulu.

Para wartawan era terdahulu menyajikan dengan teks dan narasi yang kuat. Tulisannya nyaris selalu ditunggu. Itu di angkatan 80-90an. “Artinya ada zamannya masing-masing,” tuturnya.

Lalu, apakah salah, kita rintis usaha untuk membangun citra jurnalistik yang estetis. Basis kebinekaan mendasari
kesadaran kita yang diciptakan untuk beragam. Baik menyangkut suku, ras, agama, antargolongan.

“Saya mengajak wartawan untuk kembali ke khitoh jurnalistik. Rindu produk jurnalistik masa lampau. Tulisan lebih indah ditulis dengan jurnalistik yang baik,” katanya.

Acara tersebut diwarnai diskusi menarik. Salah satunya keluh kesah dari wartawan yang mulai kerja di era perubahan. Yakni di masa internet mulai masuk handphone.

Di mana wartawan dituntut kerja maksimal. Tetapi pendapatannya dirasa minim.

Eko Priyono