blank
Desain cover (Pay Udin)

Takhta dan Prahara 1549

Malam itu udara di Ibukota Demak Bintara sangat panas, musim pancaroba tidak bisa dijadikan ukuran dalam menentukan cuaca. Terkadang seluruh wilayah Demak dilanda banjir, namun sering juga terjadi kekeringan. Beberapa penduduk merasakan udara yang sangat panas, suara tangis anak-anak kecil terdengar di beberapa rumah penduduk yang mulai remang-remang karena nyala api damar sudah mulai mengecil.

Sementara itu di dalam keraton, tampak pergantian prajurit jaga menandakan waktu sudah lewat tengah malam. Raden Mukmin biasa bangun dari tidurnya untuk melaksanakan sembahyang Tahajjud. Setelah sembahyang selesai, Raden Mukmin berzdikir. Tiba-tiba terdengar pintu kamar dibuka, namun Raden Mukmin tidak begitu memperhatikan. Tampak istri dan anaknya masih tertidur lelap di ranjang. Raden Mukmin merasakan ada seseorang berdiri di belakangnya. Ketika Raden Mukmin menoleh, seketika itu tendangan begitu keras mengenai wajahnya.

“ Siapa kamu…!!!!”

Raden Mukmin berteriak kesakitan sambil mengusap wajahnya yang berdarah. Darah menetes deras di lantai kamar pribadi Raden Mukmin. Tampak seorang penyusup dengan mengenakan topeng sudah berdiri di hadapan Raden Mukmin.

“Tidak usah menanyakan siapa diriku Raden, aku hanya mendapat perintah untuk memastikan bahwa Radenlah yang telah membunuh Pangeran Sekar”.

Sambil mencabut sebilah keris dari warangkanya, penyusup tersebut melanjutkan,

“Dirimu tidak pantas menjadi Sultan Demak Raden, jika takhta kau capai dengan cara yang licik”.

Raden Mukmin tercekat mendengar perkataan lancang si penyusup tersebut, lebih kaget lagi Raden Mukmin merasakan getaran yang luar biasa ketika keris yang dicabut penyusup tersebut mengeluarkan aura mistis yang sangat luar biasa. Keris Kyai Setan Kober berada di tangan penyusup tersebut. Raden Mukmin yang memang penglihatannya tidak begitu baik, namun dapat merasakan aroma dendam dalam keris tersebut.

“Kalau yang kau maksud adalah tentang kematian Paman Sekar, aku sudah lama menyesali perbuatanku atas apa yang menimpa dirinya.  Jika hari ini kau bunuh diriku untuk membalaskan dendam, aku akan dengan ikhlas menerima semua itu. Namun, aku mohon jangan ikut sertakan istri dan anaku untuk kau bunuh…”

Tampak terdengar suara Raden Mukmin memohon dan begitu tegar dalam menghadapi kematian di depan mata. Meskipun sebenarnya Raden Mukmin mampu untuk melawan penyusup tersebut, namun rasa penyesalan yang selama ini menghantui dirinya sebagai dalang pembunuhan pamannya Pangeran Sekar, membuat dirinya pasrah.

Raden Mukmin melanjutkan…

“Kejadian itu sudah cukup lama, aku telah lama menyesali kejadian itu. Aku tidak akan mengelak dari hukuman jika memang itu yang kau kehendaki. Aku juga siap menerima apapun yang terjadi, bahkan jika memang dirimu diutus untuk menghabisi nyawaku silahkan lakukan saja”.

Terdengar suara ribut-ribut, istri Raden Mukmin bangun dan segera menyuruh anaknya yang masih sangat kecil untuk bersembunyi di bawah ranjang. Tiba-tiba istri Raden Mukmin sudah berada di belakang punggung suaminya. Mengetahui istrinya berada di belakangnya, Raden Mukmin seketika merebut keris dari penyusup tersebut hingga terjadi keributan dan kegaduhan.

“Istriku, pergilah…!!!!” teriak Raden Mukmin.

“Selamatkan Arya Pangiri, bawa dia pergi ke Jepara sekarang juga…!!!!”

“Serahkan pada Ratu Ratna Kencana…!!!!”

“Aku ikhlas dalam menghadapi kematian ini…”

Sambil tetap merebut keris dari penyusup tersebut, Raden Mukmin berusaha menghalangi agar penyusup tersebut tidak membunuh istri dan anaknya. Tiba-tiba keris terlepas dari tangan penyusup tersebut hingga menancap ke dada Raden Mukmin tembus ke belakang mengenai istrinya. Mengetahui keris menembus dada istrinya, Raden Mukmin dengan kekuatan tenaga dalam segera mencabut keris tersebut.

Aroma darah dan racun menjadi satu dari keris tersebut begitu menyengat hidung Raden Mukmin. Dilemparkanlah keris tersebut dengan sekuat tenaga ke penyusup yang hendak melarikan diri. Terlambat, keris menancap begitu dalam di punggung penyusup. Begitu kuat lemparan Raden Mukmin, meskipun penglihatannya tidak begitu baik namun dia mampu melempar keris tersebut tepat mengenai sasaran. Penyusup tersebut masih berusaha melarikan diri.

Suara yang begitu gaduh, membuat prajurit yang berjaga di sekitar keraton berdatangan dan mengepung penyusup tersebut. Para prajurit terkejut melihat seragam yang dipakai penyusup bertopeng sama dengan yang mereka kenakan malam itu untuk bertugas jaga. Seketika penyusup bertopeng tersebut dilumpuhkan para prajurit. Seorang Kepala Prajurit jaga mendekat ke penyusup bertopeng tersebut, dan segera membuka topengnya. Betapa terkejutnya Kepala Prajurit tersebut ketika membuka topeng penyusup adalah salah satu Prajurit Keraton Demak yang bertugas jaga pada malam itu.

“Bajingannn….Rangkud !!!!” desis Kepala Prajurit mengetahui bahwa yang berada di balik topeng itu adalah anak buahnya yang bernama Rangkud. Kemudian tombak diangkatnya tinggi-tinggi menghunjam keras ke dada Rangkud, seketika itu Rangkud mati.

Kabar kematian Raden Mukmin beserta istrinya menyebar cepat keseluruh kerajaan, keris yang menancap di dada Raden Mukmin diamankan sebagai barang bukti. Malam itu juga putra Raden Mukmin Arya Pangiri dibawa ke Jepara dengan menggunakan kereta kuda. Sekaligus memberikan kabar kepada Ratu Kalinyamat dan Pangeran Hadlirin bahwasanya kakaknya telah dibunuh.

Fajar telah menyingsing ketika rombongan kereta kuda yang mengantar Arya Pangiri sampai di Keraton Kalinyamatan Jepara. Sesampainya rombongan di keraton, tergopoh-gopoh seorang Emban menemui Ratu Kalinyamat di halaman belakang keraton. Ratu Kalinyamat berada di sebuah taman yang sangat luas dan indah, rimbun pepohonan tumbuh di kanan kiri jalan setapak menuju taman. Di tengah-tengah taman terdapat sebuah kolam yang dikelilingi tumbuhan bunga melati. Aroma semerbak wangi bunga melati tercium di tempat Ratu Kalinyamat biasa menghabiskan waktu di pagi hari.

Sambil menghaturkan sembah, Emban tersebut bersimpuh di bawah. “Mohon ampun Gusti Kanjeng Ratu Kalinyamat, ada rombongan dari Demak yang sepertinya membawa berita penting untuk Gusti Ratu”, Emban tersebut melaporkan.

“Siapa yang datang Mbok…? tanya Ratu Kalinyamat

“Pangeran Arya Pangiri Gusti Ratu….” jawab Emban tersebut.

Seketika itu perasaan Ratu Kalinyamat bercampur aduk, ada perasaan yang tidak enak dalam hatinya. “Ada apa gerangan Pangeran Arya Pangiri sepagi ini datang menemuiku..” tanya Ratu Kalinyamat dalam hati, mengetahui Arya Pangiri tidak disertai dengan ayah dan ibunya.

“Segera suruh masuk Mbok…” Perintah Ratu Kalinyamat kepada emban yang datang melapor.

Dengan diiringi dua pengawal, Pangeran Arya Pangiri masuk menemui Ratu Kalinyamat dan langsung memeluknya. Sambil menangis dan terbata-bata Arya Pangiri mengatakan “ Rama dan ibu telah meninggal Bibi Ratu….”

Seperti terkena hantaman palu godam, Ratu Kalinyamat tiba-tiba limbung dan hampir pingsan mendengar berita tersebut. Kemudian beberapa pembantu perempuan menuntun Ratu Kalinyamat kedalam kamar untuk berbaring dan istirahat. Setelah menenangkan hati dan pikiran, Ratu Kalinyamat meminta Pangeran Arya Pangiri untuk menceritakan apa yang sebearnya terjadi. Suasana begitu mengharukan mendengar Pangeran Arya Pangiri bercerita. Seorang anak kecil yang harus menjadi yatim piatu dan melihat ayah ibunya menjemput kematian di depan matanya sendiri. (ua)

(Bersambung)