KEBUMEN (SUARABARU.ID) – Menilik riwayat pendidikan Ustad Badrussalim yang menjadi Dai Ambassador di Suriname selama bulan Ramadan ini tergolong menarik.
Dia menempuh MTs Maarif Sikampuh tahun 1990, sekaligus mondok di Pondok Pesantren (Ponpes) Modern Gading, Kroya, Cilacap.
Sebelumnya pada 1985 Ustad Badrussalim warga asal Desa Giwangretno, Kecamatan Sruweng, Kebumen, itu juga mengaji di Ponpes Al Huda Jetis, Kebumen. Menariknya, sewaktu sekolah di MTs Maarif Kroya, mendapat ijasah formal sembari mengaji di Ponpes Modern Gading.
Selanjutnya Kiai Badrussalim melanjutkan sekolah dan mengaji di Pondok Pesantren Al Ikhsan Beji, Banyumas. Bahkan sempat menempuh MAN di Purwokerto. Namun selanjutnya pindah ke MAN 1 Kebumen serta mengaji di Ponpes Lirboyo, Kediri, pada 1986.
Bahkan pada 1995 menimba ilmu di Ponpes Ploso, Kediri. Saat duduk di MTs Maarif Kroya itulah dia duduk satu kelas dengan Asraf Latif, yang juga asal Kroya. Uniknya, setelah 35 tahun berpisah, Latif yang lebih dahulu berdakwah di Suriname pada Ramadan 2023 ini sembari menjadi Youtuber akhirnya bertemu dengan Ustad Badrussalim.
“Alhamdulilah kita dipertemukan setelah 35 tahun berpisah. Di akhir Ramadan 1444 H saya bertemu kembali sahabat satu kelas saya di MTs Maarif Kroya. Ustad Badrussalim ini dulu teman sekelas saya yang paling pintar,”aku Ustad Asraf Latif.
Bagi Badrussalim, dakwah di Suriname sangat menyenangkan karena bertemu dengan kebanyakan keturunan Jawa. Bahkan dia juga bisa berjumpa kembali sahabatnya di MTs. Awalnya, setiba di Suriname, Kiai Badrussalim mengaku merasa jetlag. Apalagi perjalanan dari Tanah Air hingga Suriname harus transit di Amsterdam Belanda, menempuh perjalanan selama 24 jam.
“Awal-awal tiba di sini saya sulit sekali menyesuaikan tidur. Sore sudah mengantuk. Namun malam hari susah memejamkan mata. Baru setelah seminggu semua berjalan dengan nyaman dan tidur pun lancar,”ujar kiai yang juga Dewan Pembina PC GP Ansor Kebumen dan Dewan Asatizd Mahage Kebumen.
Lelah Tetapi Menyenangkan
Ia merasa bersyukur bisa menjadi Dai Ambassador Program Dompet Duafa di Suriname dan gembira dapat bersilaturahmi dengan umat muslim se Suriname. Secara letak geografis termasuk tropis, musimnya kurang lebih sama. Masyarakat muslim mayoritas Jawa dan Hindustan, Creol (Afrika), maupun Belanda.
“Secara kultur budaya juga relatif sama, sumeh dan semedulur. Bahkan mereka begitu gembira dengan kedatangan orang dari Indonesia yang merupakan tanah leluhur mereka,”ujar dai yang juga ustad di Pesantren an Nahdlah Kampus IAINU Kebumen.
Apalagi menurut Kiai Badrus, selama di Suriname makanan sehari-hari juga relatif sama. Nasi sayur lauk pauk makanan tradisional pun relatif sama. Adapun yang berbeda karena ada makanan Hindustan.
Masjid-masjid di Suriname relatif kecil dengan ciri khas di depan masjid ada tempat pertemuan dan dapur. Ketika menjelang Ramadan dihiasi dengan hiasan meski sederhana seperti ucapan selamat datang Ramadan, dekorasi dan hiasan di luar masjid pun bernuansa Jawa.
Kesan bagi Ustad Badrus, dakwah di negeri bekas jajahan Belanda di Amerika Selatan itu menyenangkan. Meski lumayan melelahkan, karena tugas Imam Salat Fardu dan Tarwih sekaligus menggaji. Sebelumnya rangkaian Ifthor (buka puasa) bersama makanan ringan seperti kolak, kurma, kue dan minuman. Selanjutnya Salat Magrib dilanjutkan makan besar yakni nasi dan mie deng aneka lauk pauk.
Salat Isya dan Tarawih 11 rakaat lalu berkumpul di tempat salat atau di serambi untuk mengaji ceramah. Pagi bakda Subuh kajian Tafsir Yasin. Bagaimana pun, sebulan berdakwah di Suriname selama Ramadan terasa cepat. Sebenarnya dia juga ingin lebih.
Namun tugas dari Dompet Duafa hanya sebulan Ramadan. Dia pun berterima kasih atas jasa Dr Thoif Hassani MPd yang mendorongnya ikut seleksi Dai Ambassador dan pernah ditugaskan di Timor Leste, Malaysia, dan Hong Kong.
Komper Wardopo