blank

Oleh : Sunardi KS

Hadi Priyanto beberapa waktu yang lalu pernah menulis di suarabaru.id, sayang saya kehilangan lacak karena tulisan tersebut terlanjur saya hapus. Jadi saya kehilangan data dari tulisan itu, kapan persisnya, tanggal dan bulannya. Ada pun tulisan itu mengabarkan tentang angka perceraian di Jepara yang cukup tinggi, dibanding angka perceraian di kabupaten-kabupaten lain di sekitar Kabupaten Jepara. Dan tragisnya, data dari angka-angka itu dari tahun ke tahun selalu meningkat. Lalu perceraian itu seringkali terjadi karena gugat cerai.

Dalam tulisan itu terkesan, bahwa Pak Hadi sesungguhnya agak terperangah. Dan sesungguhnya pula tidak kalah terperangahnya adalah saya, selaku pembaca. “Kok bisa ya?” Tanya saya di dalam hati. Lalu saya memberi komentar dari berita yang ditulis Pak Hadi Priyanto itu. “Berarti ada kemajuan dong pak. Sebab (sebagian) wanita-wanita Jepara telah memiliki keberanian yang tinggi melebihi keberanian suami-suaminya” Seperti biasanya Pak Hadi jarang memberi komentar balik. Mungkin komentar-komentar saya yang sering agak-agak perih.

Tulisan berita Pak Hadi Priyanto di suarabaru.id itu tiba-tiba muncul kembali dalam ingatan saya karena teman saya M.M. Bhoernomo dari Kudus mengirim berita yang ia dapatkan dari tulisan berita di BETANEWS.ID yang ditulis oleh Reporter Umi Nurfaizah.

Beritanya sama, tentang kasus perceraian di Jepara yang data angkanya cukup tinggi. Yang sama tentu saja kasusnya. Ada pun gaya tulisannya, cara mengulasnya, tentu berbeda.

Perceraian di Jepara capai 2208 kasus. Setengah di antaranya merupakan cerai gugat, di mana pihak istri yang lebih dulu mengajukan perceraian mencapai 1757 kasus.

Hal itu diungkapkan Mahmudi, Panitera Muda (Panmud) Gugatan di Pengadilan Agama Jepara, kepada betanews.id Senin (27/3/2023). Menurutnya, jumlah tersebut mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya sebesar 1576.

Kalau tahun 2022 sebanyak 2208 dan tahun sebelumnya 1576 berarti peningkatannya sebanyak 732 orang. Jumlah perceraian dari sektor buruh menempati posisi tertinggi, mencapai 42.2 persen atau setara dengan 1212 orang yang mengajukan.

Dia menjelaskan, rata-rata usia yang mengajukan gugatan dengan angka paling tinggi berada di usia 31 -40. Sehingga banyaknya perkara gugatan di Jepara justru terjadi di usia produktif.

Masih menurut betanews.id yang bersumber dari Mahmudi kasus paling banyak terjadi dari ibu atau istri yang bekerja. Alasan ibu atau istri yang bekerja semula dengan niatan ingin membantu perekonomian keluarga tetapi ternyata justru menimbulkan perkara.

Sebab setelah ibu atau istri bekerja dan memiliki gaji sendiri merasa bahwa yang diberikan suami lebih kecil. (Demikian sebagian kutipan dari betanews.id Senin, 27 Maret 2023 dari tulisan Umi Nurfaizah dengan editor Suwoko)
Faktor Kerja, Benarkah ?

Di betanews.id Mahmudi, Panitera Muda, Pengadilan Agama menyatakan bahwa gugat cerai yang terbanyak dari sektor buruh atau pekerja.

Dari pernyataan itu barangkali pembaca bisa menyimpulkannya sendiri, bahwa yang dimaksud adalah orang-orang pabrikan. Kalau kesimpulan pembaca, termasuk saya itu benar, berarti sumber utamanya adalah emosi pekerja yang kurang bisa dikelola dengan baik.

Dan tentu tidak bisa disalahkan begitu saja kalau sistem kerja tersebut adalah full time yang bisa menimbulkan kecapaian tinggi. Emosi itu tidak mungkin dikeluarkan di tempat kerja, tetapi setelah di rumah, suami bisa jadi menjadi sasarannya.

Dan kecapaian kerja itu bukan semata-mata karena pekerjaan, berat maupun ringannya pekerjaan, tetapi juga bisa bersumber dari masalah psikologis. Konflik dengan atasan atau teman, meski tidak sampai menimbulkan masalah yang serius. Dan justru karena tidak ada atau tidak mungkin terjadi masalah yang serius di tempat pekerjaan itulah maka pelimpahannya adalah rumah, suami.

Belum lagi faktor pekerjaan yang barangkali tidak cocok, kurang diminati oleh pekerja dan ia tidak berani menolak, karena menghindari sangsi. Pekerjaan yang monoton, yang tiada henti-hentinya juga bisa menjadi penyebab tingginya emosi seseorang pekerja.

Pekerjaan yang tidak cocok itu bukan berarti pekerjaan itu terlalu berat, banyak menguras tenaga saja. Tetapi masing-masing pribadi itu memang punya kesenangannya untuk mengerjakan jenis pekerjaan yang sesuai dengan kepribadiannya.

Seseorang yang terbiasa bekerja di lapangan, di luar kantor, misalnya, (sekedar contoh) justru menjadi kurang nyaman kalau ditempatkan di kantor. Meski pun kerja di luar kantor bisa jadi lebih berat, kemungkinan bisa kena sengatan matahari atau kena hujan. Resiko menghadapi banyak orang yang tidak semuanya dikenal, dan lain-lain.

Tetapi agaknya yang sudah terbiasa bekerja di luar kantor merasa lebih merdeka daripada bekerja di dalam kantor yang selalu dekat dengan atasan. Itu hanya salah satu contoh, uniknya setiap individu.

Ketidaknyamanan yang diderita oleh jiwa atau batin itu lama-kelamaan akan menumpuk, atau mengendap. Lalu akan mempengaruhi jiwanya, psikisnya. Orang lalu akan mudah menjadi (tiba-tiba) galak. Dan kegalakan itu akhirnya ditimpakan kepada suami. Lalu perasaan cinta tiba-tiba lenyap dari mereka.

Dulu, ketika istri belum bekerja bisa jadi keadaan mereka, suami-istri itu harmonis. Sebab kecenderungan istri lebih manut akan kuat. Karena sumber nafakah hanya dari suami. Kalau sami tidak dihargai, tidak dihormati, tidak dicintai, lalu bagaimana apresiasi istri kepada suami.

Tetapi setelah istri bekerja, sering capai-capai badannya, capai juga jiwanya, psikisnya, maka si istri seolah-olah mulai berani menuntut ini dan itu. Apalagi setelah bekerja telah memiliki penghasilan sendiri, bayaran sendiri, gaji sendiri. Lalu ia mulai memiliki pula harga diri yang harus diakui suami atau orang lain. Setelah bekerja ia mulai merasa berdaya. Lalu tidak merasa terlalu khawatir hidup tanpa suami.
Meminta Pengakuan
Kalau kenyataannya setelah istri bekerja kok justru mendapat penghasilan yang lebih tinggi dibanding penghasilan suami, lebih terjamin, lebih rutin dibanding penghasilan suami yang kadang-kadang ada, kadang-kadang mendapatkannya dan kadang-kadang tidak ada, sepi, ya mestinya suami perlu menyadarinya sendiri. Karena, diakui atau tidak posisinya, statusnya sudah mulai tergeser. Istri sudah mulai memiliki rasa percaya diri yang kuat, tidak semata-mata hanya tergantung kepada suami.

Maka setelah si istri merasa lelah, fisik maupun psikis, kok justru dianggap mulai bermanja-manja. Ya akan timbul masalah.

Bagi istri yang bekerja di tempat yang agak jauh dari rumah, lalu melajo sendiri maka kelelahan itu akan semakin terasa. Apalagi setiap hari menghadapi keriuhan jalan raya. Menghadapi macet sesekali. Menghadapi pengendara motor atau mobil yang kurang tertib, kurang hati-hati, dan bisa membahayakan dirinya sewaktu-waktu.

Hal-hal semacam itu, keadaan jalan raya yang riuh itu, seolah-olah sudah mengaduk-aduk perasaan. Maka yang terjadi si istri lalu dengan mudah berganti karakter. Yang semula lemah-lembut, sopan-santun kepada suami, setelah saban hari dicecar keriuhan jalan raya, si istri bisa menjadi ‘rada-rada’ galak.

Lalu, apakah salah, sikap yang diambil si istri memasuki dunia kerja atau buruh pabrik? Apakah keliru si suami yang membiarkan si istri melamar pekerjaan di perusahaan-perusahaan?

Tentu saja tidak ada yang salah. Sebab hal itu adalah usaha. Usaha agar kebutuhan rumah tangganya bisa tercukupi. Akan tetapi ketika akan memasuki dunia kerja, sebagai karyawati atau karyawan pabrik atau perusahaan, yang perlu dipersiapkan adalah, maaf — mentalnya. Perlu disadari bahwa hari-hari kita yang setiap hari santai di rumah, bisa mendampingi suami atau anak-anak, lalu setelah bekerja di perusahaan harus akan tergeser.

Karena setelah bekerja di perusahaan akan terjadi kesibukan, kelelahan, tanggungjawab dan urusan-urusan yang lain. Maka perlu pandai-pandai mengelola emosi. Dan itu perlu dilakukan, bukan hanya si istri yang sebagai pekerja, tetapi juga suami.

Sunardi KS, peminat masalah social, tinggal di Jepara.