blank
Reporter dan narasumber. Foto: pixabay

Oleh: Amir Machmud NS

blankREPUTASI jurnalistik. Apa hubungannya dengan kualitas kesumberdayaan wartawan?

Perspektif membangun reputasi profetik oleh seorang wartawan, akan menjawab pertanyaan tentang bagaimana dia mensistematisasi pikiran terkait dengan profesionalitas, kemartabatan, dan eksistensi.

Tiga kata itu mencakup pemahaman yang “kaffah” (komprehensif), tak bisa saling terpisahkan. Profesionalitas wartawan pasti akan mengantar ke “maqam” kemartabatan, selanjutnya muncul pengakuan (eksistensi) di tingkat publik tentang penilaian kompetensi, rasa hormat, dan sikap respek.

Realitasnya, jalan pikiran ini masih banyak diabaikan oleh wartawan, yang dalam praktik profesinya (seolah-olah) memisahkan parameter profesionalitas: antara kecakapan teknis dan kearifan etis.

Hendry Ch Bangun, mantan Wakil Ketua Dewan Pers mencatat, selama 2022 masuk 691 pengaduan, 97 persen yang diadukan adalah berita-berita dari platform siber. Pengaduan terkait etika jurnalistik itu meliputi judul yang mendekati porno, tidak berimbang, tidak akurat, berita partisan, opini yang menghakimi, dan penyebutan identitas anak. (“Setelah Kompeten, Apa?”, Antara Kaltara, 22 Januari 2023).

Aduan-aduan itu menggambarkan kesenjangan antara skill dan etika dalam banyak produk kewartawanan. Atau bisa jadi malah memuat persoalan dalam dua sisi itu.

Kebanggaan Profesi
Kehormatan, bagi wartawan, akan terukur dari sejauh mana dia menjalankan peran seperti amanat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, juga masuk melebur ke dalam jiwa Kode Etik Jurnalistik.

Keterukuran itu akan terlihat dari karya-karya jurnalistiknya, bukan dari ekspresi-ekspresi simbolik tentang “inilah aku, wartawan”, “tak tahukah kalian, aku pers?”.

Tak sedikit mereka yang unjuk kegagahan dengan menampilkan atribut dan lambang-lambang yang terkesan bertujuan menciptakan “keseganan”, dan menebar “ketakutan”.

Dan, cara-cara itu jelas bukan langkah “unjuk kerja” yang akan menuntun ke arah eksistensi kewartawanan yang reputatif.

Sebagai pengurus organisasi kewartawanan, saya sering mendapat pertanyaan (atau kritik) tentang sejumlah orang yang menampilkan secara berlebihan simbol-simbol kewartawanan pada baju, rompi, jaket, topi, dan kendaraannya.

Profesionalitas, kemartabatan, dan eksistensi, tentulah tidak sembarang bisa ditunjukkan dengan cara-cara seperti itu. Kebanggaan terhadap profesi ini juga tidak harus diungkapkan dalam verbalitas yang hiperbolik.

Reputasi
Reputasi bukan kondisi yang bisa ditampilkan melalui simbol-simbol yang terkesan mem-pressure, karena dia — reputasi — bukan atmosfer keseganan dan ketakutan orang atau kelompok masyarakat terhadap wartawan.

Kesan yang banyak berkembang di kalangan kepala desa, kepala sekolah, dan organisasi perangkat daerah (OPD) tentang “reputasi wartawan” dengan image menakutkan dan “harus dihindari”, mestinya menggugah wartawan untuk mendekonstruksi.

UU Pers secara substansial menegaskan tidak hanya melindungi wartawan dalam menjalankan tugas dan profesinya, melainkan juga melindungi masyarakat luas dari potensi ketidakprofesionalan wartawan. Mekanisme Hak Jawab, Hak Koreksi, dan pengaduan ke Dewan Pers merupakan bentuk perlindungan UU ini kepada masyarakat.

Banyak perangkat desa, pimpinan sekolah, dan juga elemen-elemen masyarakat lainnya yang belum memahami tentang jiwa UU Pers, sehingga selalu memandang wartawan dari kacamata “reputasi” yang berbeda.

Pada sisi lain, perilaku dari sekelompok orang yang berlindung di balik atribut-atribut kewartawanan juga menjadi pemicu kemunculan dan keberkembangan citra tertentu tentang wartawan dan praktik kewartawanan.

Merawat Kebanggaan
Membangun dan merawat kebanggaan profesi, sekali lagi, tak bisa ditempuh dengan menghadirkan wartawan dan medianya sebagai sosok yang “digdaya”, “tak tersentuh”, dan “sangar”.

Kedigdayaan, kesangaran, dan kebanggaan profesi hanya akan lahir dari produk-produk jurnalistik yang paripurna dan komprehensif. Profesionalitas adalah “tampilan” yang lahir bukan dari ketakutan orang, melainkan dari reputasi jurnalistik kita.

Kepada teman-teman anggota PWI Provinsi Jawa Tengah dan mahasiswa, selalu saya sosialisasikan narasi-narasi pelecut reputasi, “Anda ingin orang-orang menaruh respek kepada profesi Anda? Tempuhlah tiga matra ini…”

Pertama, sampaikan berita dengan iktikad positif membangun kepercayaan publik.

Kedua, kepercayaan publik itu bisa diraih apabila informasi Anda akuntabel.

Ketiga, informasi yang dapat dipertanggungjawabkan itu hanya akan diperoleh lewat mekanisme jurnalistik yang berdisiplin verifikasi.

Jadi, reputasi jurnalistiklah yang menjadi penopang kebanggaan profesi wartawan, dan otomatis menjadi cara kita memberi respek kepada diri kita sendiri.

Respek internal adalah cara menghormati dan bangga, yang akan membangun atmosfer respek publik kepada kita dan profesi kita.

Amir Machmud NS; Dosen Jurnalistik Prodi Ilmu Komunikasi Fiskom UKSW, Wartawan suarabaru.id, dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah