SEMARANG (SUARABARU.ID)- Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat mengatakan, membangun sebuah kesadaran setiap anak bangsa, sangat penting untuk dilakukan. Hal ini agar mereka mampu membangun pemahaman bersama, terhadap berbagai bentuk perbedaan lewat sejumlah upaya di sektor pendidikan.
”Dalam dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, alih-alih menonjolkan perbedaan, yang paling penting untuk diimplementasikan adalah, persamaan sebagai anak bangsa Indonesia,” kata Lestari, dalam sambutan tertulisnya pada diskusi daring bertema ‘Peran Pendidikan Melawan Intoleransi dan Mengawal Kebhinnekaan’, yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (1/3/2023).
Diskusi yang dimoderatori Dr Irwansyah (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI) itu, menghadirkan Julians Andarsa SH LLM (Kepala Bagian Pengolahan Laporan Pengawasan Inspektorat Jenderal Kemendikbudristek RI).
BACA JUGA: Village Tour Semarang Rumah Kita Diikuti Puluhan Wartawan Se-Jateng
Ada juga Putu Elvina (Komisioner Pendidikan dan Penyuluhan Komnas HAM) dan Halili Hasan (Direktur Riset Setara Institute) sebagai narasumber. Selain itu, hadir pula Ahmad Baidhowi AR (Direktur Eksekutif Yayasan Sukma Bangsa) sebagai penanggap.
Menurut Lestari, salah satu wadah untuk membangun kesadaran bersama setiap anak bangsa terkait pemahaman kebhinekaan adalah, melalui upaya di sektor pendidikan.
Mengutip ajaran Ki Hajar Dewantara, tambah Rerie sapaan akrab Lestari, selain pengetahuan akademis, pendidikan harus mengajarkan nilai-nilai universal, seperti toleransi, keadilan dan persamaan, serta mencakup pengembangan karakter dan etika.
BACA JUGA: Reputasi Jurnalistik dan Respek Internal Profesi
Sehingga, ujar Rerie yang juga anggota Komisi X DPR RI dari Dapil II Jawa Tengah itu, sektor pendidikan juga mampu menjadi sarana, untuk memperkuat kerukunan dan toleransi antar-agama di Indonesia.
Anggota Majelis Tinggi Partai Nasdem itu mendorong, agar pendidikan menjadi wadah untuk menanamkan nilai kebangsaan sejak dini, bersumber dari konsensus kebangsaan, yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika.
”Kita bangun kesadaran bersama untuk bebenah, mencegah kasus-kasus intoleransi kembali terjadi,” tegasnya.
BACA JUGA: Larsita Dilantik Jadi Penjabat Sekda Kota Magelang
Sementara itu, Julians Andarsa mengungkapkan, intoleransi merupakan hal yang menarik untuk dibicarakan saat ini. Tetapi sebaliknya, sedikit sekali yang bicara.
Menurut dia, intoleransi tercatat sebagai satu dari tiga dosa besar di lingkungan pendidikan, selain perundungan dan kekerasan seksual. Julians menilai, perlu upaya pencegahan, agar tidak terjadi tiga dosa besar di lingkungan pendidikan itu.
Diharapkannya, kolaborasi semua pihak mampu mewujudkan kesetaraan dan keadilan dalam keberagaman pada proses pendidikan.
BACA JUGA: Larsita Dilantik Jadi Penjabat Sekda Kota Magelang
Julians mengungkapkan, ada empat keterampilan yang harus ditanamkan kepada peserta didik saat ini, yakni kreativitas, komunikasi, berpikir kritis, dan kolaborasi.
”Dengan empat keterampilan itu, diharapkan peserta didik mampu memahami keberagaman yang ada, dan membangun sikap toleransi dalam keseharian,” imbuhnya.
Sedangkan Putu Elvina berpendapat, membangun toleransi merupakan langkah untuk memperkaya kebhinnekaan. Apalagi survei BPS pada 2010 tercatat, Indonesia terdiri dari enam agama, 1.128 suku dan 633 kelompok suku besar, sehingga BPS menilai, Indonesia sangat heterogen dari sisi etnis.
BACA JUGA: Dukung Batik Pekalongan, Kemenkumham Jateng Hadiri Inacraft 2023
Berdasarkan catatan itu, tambah Putu, negara dan masyarakat kita membutuhkan kemampuan yang baik, untuk mengelola keberagaman. Karena bila negara tidak mampu mengelola keberagaman yang ada, akan berisiko besar muncul banyak friksi.
”Komnas HAM merekomendasikan adanya regulasi dan kurikulum yang konkret dan aplikatif. Selain itu, visi yang baik terkait pendidikan karakter sejak dini, dan memperkuat edukasi diseminasi toleransi lewat kolaborasi sangat penting dilakukan,” tukas dia.
Riyan