blank

Oleh: Ariyanto Mohammad Toha, M.Pd

Banyak orang tahu apa itu arti keadilan namun banyak pula yang salah mengartikan apa itu keadilan sehingga sering salah kaprah dalam praktek.

Analogi sederhana demikian, ketika orang tua memiliki 4 anak masing-masing berusia PAUD, SD, SMP, SMA. Bagaimana orang tua tersebut menerapkan keadilan atas uang saku keempat anaknya tersebut ?. Keadilan dengan memberikan uang saku yang sama nominalnya ? atau keadilan dengan memberikan uang saku yang berbeda sesuai tingkat pendidikan keemoat anaknya ? Inilah kemudian kebanyakan dari kita miskonsepsi terhadap pendidikan berdiferensiasi.

Di kelas, setiap murid kita adalah manusia yang berbeda dengan yang lainnya, unik, beragam, dan komplek. Murid-murid kitapun memiliki keberagaman sendiri-sendiri. Ada yang sukanya menulis, sukanya berbicara, sukanya mencorat-coret meja, sukanya berlarian ke sana-ke mari, keberagaman yang ada dalam setiap murid-murid kita termasuk minta, bakat, pelajaran kesukaan, hobi, hal yang disukai, hal yang tidak disukaipun pastilah ada.

Bagaimana kita sebagai pendidik menyikapinya ? Sekali-kali kita mencoba berada dalam kelas yang kosong merenungi bagaimana karakteristik murid-murid kita, bagaimana kekuatan mereka, bagaimana gaya belajar mereka, siapa yang pandai berhitung, siapa yang pandai menulis, siapa yang aktif geraknya ?.

Kita sebagai pendidik tentu pernah mengalami saat murid-murid kita mengerjakan tugas/ulangan yang kita berikan. Ada yang sebentar langsung selesai, ada yang benar-benar berfikir, dan ada pula yang belum selesai saat waktunya sudah habis.

Pembelajaran Berdiferensiasi adalah usaha guru dalam menyesuaikan proses pembelajaran di kelas untuk memenuhi kebutuhan belajar individu murid. Menurut Tomlinson (1999:14) dalam kelas yang mengimplementasikan pembelajaran berdiferensiasi, seorang guru melakukan upaya yang konsisten untuk merespon kebutuhan belajar murid.

Konsep di atas banyak disalah artikan atau dengan kata lain kebanyakan dari kita miskonsepsi akan pembelajaran berdiferensiasi itu sendiri sehingga pada akhirnya enggan menerapkan. Paham miskonsepsi selama ini banyak diartikan jika kita memiliki katakanlah 32 murid beragam di kelas, maka kita juga menyiapkan 32 metode, 32 asesmen yang berbeda pula, bukan demikian.

Tanpa dipungkiri, ada tahapan yang kebanyakan dari kita sebagai seorang pendidik memilih tahap instan dengan mengesampingkan asesmen diagnostik dan lebih memilih langsung pada tahapan persiapan pembelajaran dan pelaksanaan pembelajaran saja.

Konsep pembelajaran berdiferensiasi terdiri dari 3 konsep ; asesmen diagnostik, persiapan pembelajaran, dan pelaksanaan pembelajaran. Dalam asesmen diagnostik, pendidik terlebih dulu mengidentifikasi keberagaman melalui 3 fase yaitu kesiapan belajar murid (readness), minat murid, dan profil belajar murid.

Asesmen diagnostik akan lebih efektif dilakukan pada tahun pelajaran baru dengan mengisi angket, observasi (pengamatan), atau diskusi/wawancara. Setelah tahapan asesmen diagnostik ini selesai, guru menyiapkan pembelajaran berupa Alur Tujuan Pembelajaran (ATP), Tujuan Pembelajaran (TP), Capaian Pembelajaran (CP), dan Modul Ajar (MA) yang di dalamnya disesuaikan dengan kesiapan belajar murid, minat murid, dan profil belajar murid dari hasil asesmen diagnostik sebelumnya.

Ingat, bukan berarti kita menyiapkan perangkat pembelajaran sejumlah murid kita di kelas. Berikutnya ialah pelaksanaan pembelajaran, ini yang paling penting. Perlu diingat bahwa pendidik hanya mampu menuntun tumbuh kembangnya murid sesuai kodratnya, Ki Hajar Dewantara.

Pada pelaksanaan pembelajaran, kunci dari ini adalah guru berfokus pada tujuan pembelajaran yang akan dicapai oleh murid-muridnya. Sebagai contoh : Pada Mapel Bahasa Indonesia Bab IV Aksi Nyata Para Pelindung Bumi di Sub bab 8.a Menulis Berita, Tujuan Pembelajaran : Peserta didik berlatih menyampaikan informasi secara sistematis, terstruktur, dan efektif melalui kegiatan menulis teks berita sederhana dengan baik dan akurat.

Kegiatan inti dalam pembelajaran ini adalah murid diminta menyajikan berita melalui kegiatan menulis, kreatifitas guru sangat dibutuhkan di sini. Untuk itu, guru dapat membagi murid menjadi beberapa kelompok dengan tujuan mengadakan wawancara di beberapa titik lokasi kunjungan, misal : pengrajin gebyok setempat, pengusaha isi ulang air minum, pemilik warung tegal, pengusaha bengkel motor. Guru mendampingi dan mengamati dalam proses murid melakukan wawancara bersama nara sumber tadi dengan membawa evaluasi/penilaian formatif.

Penilaian atau asesmen formatif bertujuan untuk menyatukan dan memperbaiki proses pembelajaran, serta mengevaluasi pencapaian tujuan pembelajaran . Sesuai dengan tujuannya, asesmen formatif dapat dilakukan di awal dan sepanjang proses pembelajaran. Penilaian formatif ini sudah disesuaikan dengan asesmen diagnostik murid sesuai kesiapan belajar, minat belajar, dan profil belajar mereka.

Anak yang sukanya berbicara, tentu pada saat wawancara dia akan lebih banyak bertanya. Anak yang sukanya menulis, tentu dia akan menulis pertanyaan dari temannya yang bertanya dan menulis jawaban dari nara sumber, anak yang sukanya menggambar, tentu beritanya serupa dengan komik.

Biarkan mereka berproses, apapun bentuk beritanya. Mau tulisan, mau gambar, mau dia ceritakan kembali hasil wawancaranya, guru tinggal membuat skala penilaian formatif. Skala penilaian formatif harus mengacu pada tujuan pembelajaran (murid dapat menulis berita dari hasil wawancara) yang disesuaikan pada asesmen diagnostik semisal ; Anak yang belum mahir menulis dari hasil wawancara (skala 50-70), Anak yang kurang mahir menulis dari hasil wawancara (skala 71-80), Anak yang dapat menulis dari hasil wawancara (skala 81-90), Anak yang mahir menulis dari hasil wawancara (skala 91-100).

Sedangkan evaluasi/penilaian sumatif merupakan sebuah penilaian yang bertujuan untuk menilai pencapaian tujuan pembelajaran dan/atau Capaian Pembelajaran (CP) murid, sebagai dasar pengeluaran kenaikan kelas dan/atau kelulusan dari satuan pendidikan. Penilaian Sumatif biasanya diadakan di tengah semester dan akhir semester.

Secara sederhana, penilaian atau asesmen formatif lebih menitikberatkan penilaian kemampuan belajar murid berdasarkan asesmen diagnostiknya (kesiapan belajar, minat belajar, dan profil belajar) sesuai kebutuhan belajar murid dan kodratnya. Sedangkan penilaian atau asesmen sumatif menilai pencapaian tujuan pembelajaran dan/atau Capaian Pembelajaran (CP) murid, sebagai dasar penentuan kenaikan kelas dan/atau kelulusan dari satuan pendidikan.

Penulis adalah Calon Guru Penggerak Angkatan 7 Kabupaten Jepara dan guru SMP Muhammadiyah Asy Syifa’ Blimbingrejo Kec.Nalumsari