Oleh : Tri Hutomo,
Jika menilik karakteristik Karimunjawa, maka menjaga lingkungan dan bahkan melestarikannya adalah harga mati. Karena itu paradigma berfikir asal mendatangkan nilai tambah ekonomi bagi warga harus dibuang jauh-jauh. Apalagi jika kemudian tidak memberi penghargaan kepada alam dan bertentangan dengan nilai-nilai konservasi. Bahkan kemudian merusak kelestarian ekosistem terumbu karang, hutan mangrove dan padang lamun.
Oleh sebab itu, aktivitas dengan sengaja untuk mengekspolitasi setiap jengkal tanah Karimunjawa dengan mengabaikan nilai konservasi adalah teror terhadap lingkungan hidup di Karimunjawa.
Sebagai pulau kecil Karimunjawa mempunyai karakteristik terpisah dari pulau induk (mainland) yaitu Pulau Jawa sehingga bersifat insular yaitu mempunyai iklim, dan fauna yang spesifik. Juga merupakan daerah tangkapan air (catchment area) yang kecil. Artinya Pulau Karimunjawa memiliki keterbatasan sumber air tawar. Karena itu sangat rentan terhadap perubahan lingkungan, baik akibat alam maupun ulah manusia.
Karena itu seharusnya pemerintah memberikan perhatian serius untuk melindungi karakteristik kawasan hutan tropis, kawasan hutan pantai, kawasan hutan bakau, kawasan padang lamun, kawasan terumbu karang dan perairan laut agar tetap terjaga dan lestari.
Landasan Pengembangan Karimunjawa
Karena karakteristiknya istimewa dan potensinya yang luar biasa Karimunjawa telah ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional. Dasar hukumnya adalah UU NO. 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan, PP No. 50 Tahun 2011 tentang RIPPARNAS, Karimunjawa ditetapkan sebagai KSPN (Kawasan Strategi Pariwisata Nasional),
Disamping itu berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.78/Kpts-II/1999, Karimunjawa ditetapkan sebagai Taman Nasional , Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.74/Kpts-II/2001, Karimunjawa ditetapkan sebagai Kawasan Pelestarian Alam Perairan. Sementara Perda No. 6 Tahun 2010 tentang RTRWP Jawa Tengah, Karimunjawa ditetapkan sebagai Kawasan Strategis dari Sudut Kepentingan Fungsi dan Daya Dukung Lingkungan Hidup,
Sedangkan Perda Prov Jawa Tengah No 10 Tahun 2012 tentang RIPPARDA Provinsi Jateng, Karimunjawa masuk sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Provinsi (KSPP). Perda Kab. Jepara No. 2 Tahun 2011, Karimunjawa sebagai Kawasan Strategis dari Sudut Kepentingan Pertumbuhan Ekonomi dengan fungsi Pariwisata dan ditetapkan sebagai kawasan lindung.
Sejumlah regulasi itu yang diharapkan dapat menjadi pemandu arah kebijakan para pemangku kepentingan dalam mengelola Karimunjawa.
Hak Warga Mendapatkan Lingkungan Hidup yang Baik
Namun sejauh ini, semakin banyak wilayah di Karimunjawa yang terluka. Sebab dalam pemanfaatan potensi wilayah dari perspektif ekonomi, seringkali merusak dan mencemari lingkungan hidup itu sendiri. Sampai saat ini kerusakan lingkungan di Karimunjawa terjadi hampir merata dan menimbulkan berbagai dampak negatif bagi kelestarian lingkungan hidup.
Kerusakan lingkungan yang dibuat oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab ini sangat bertentangan dengan pemenuhan hak asasi atas lingkungan hidup yang baik dan sehat .
Seperti yang dituangkan dalam Bab XA tentang Hak Asasi Manusia Perubahan Kedua UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28H ayat (1) disebutkan, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
Dalam konteks ini kita dapat memandang tindak pidana perusakan lingkungan di KSPN Karimunjawa sebagai kejahatan terorisme, maka menjadi keniscayaan untuk terlebih dahulu mengelaborasi esensi dari tindak pidana kejahatan terorisme tersebut. Untuk kemudian dilihat bagaimana relevansinya untuk disejajarkan dengan perusakan lingkungan.
Terorisme Lingkungan
Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa Tindak Pidana Terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang tersebut. Mengenai perbuatan apa saja yang dikategorikan ke dalam Tindak Pidana Terorisme, diatur dalam ketentuan pada Bab III (Tindak Pidana Terorisme), pasal 6 dan pasal 7.
Dalam pasal 6 disebutkan, setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau faslitas internasional di pidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun
Karena itu menarik untuk kita telaah bersama penerapan UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dalam kaitannya dengan menjaga kelestarian alam Karimunjawa.
Pakar Hukum Lingkungan Suparto Wijoyo beranggapan dalam kasus lingkungan dapat pula diterapkan Undang-Undang No. 15
Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme untuk melakukan proses hukum dalam kejahatan lingkungan (milieudelicten)”. Dengan diundangkannya undang-undang ini maka lahirlah suatu terminologi baru yang berupa kejahatan terorisme termasuk munculnya istilah saya berupa teroris lingkungan sebagai elaborasi tekstualnya.
Transformasi konsep terorisme menjadi kejahatan kemanusiaan nampaknya dapat dielaborasi lebih jauh lagi relevansi dan keterkaitannya dengan tindak pidana lingkungan. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pengaturan pasal lebih banyak pasal sanksi pidananya bila dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Jika diamati dan dibandingkan pengaturan pasal tentang sanksi pidana terhadap tindak pidana lingkungan dalam UUPPLH lebih terperinci jenis tindak pidana lingkungan, misalnya ada ketentuan Baku Mutu Lingkungan Hidup (BMLH), diatur dalam pasal tersendiri tentang pemasukan limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun (selanjutnya disingkat B3), masalah pembakaran lahan, dan penyusunan AMDAL tanpa sertifikat akan dikenakan sanksi pidana.
Tindak pidana yang diperkenalkan dalam UUPPLH juga dibagi dalam delik formil dan delik materil. Menurut Sukanda Husin delik materil dan delik formil dapat didefensikan sebagai berikut: a) Dellik materil (generic crime) adalah perbuatan melawan hukum yang menyebabkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup yang tidak perlu memerlukan pembuktian pelanggaran aturan-aturan hukum administrasi seperti izin. b) Delik formil (specific crime) adalah perbuatan yang melanggar hukum terhadap aturan-aturan hukum administrasi, jadi untuk pembuktian terjadinya delik formil tidak diperlukan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup seperti delik materil, tetapi cukup dengan membuktikan pelanggaran hukum administrasi.
International Criminal Court (ICC) juga memperluas against humanity menjadi termasuk: a) Merusak Lingkungan; b) Eksploitasi sumber daya alam secara illegal; c) Pengambilalihan tanah secara illegal (land grabbing) Dari hal tersebut dapat diperkirakan bahwa kedepannya eksekutif perusahaan yang merusak lingkungan dapat dijadikan tersangka di International Criminal Court (ICC).
Melihat besarnya ancaman, ketakutan, dan horor akibat bencana lingkungan yang bersumber dari perusakan lingkungan hidup oleh manusia ini, maka tidak berlebihan untuk mengatakan, perbuatan dalam penciptaan ketakutan dan horor lingkungan itu dapat dikategorikan sebagai terorisme.
Ini juga bisa menjadi indikator komitmen dan tanggung jawab negara untuk menjamin penghormatan, perlindungan dan pemenuhan Hak atas Lingkungan Hidup sebagai Hak Asasi Manusia serta guna untuk mencapai sebuah tujuan Keadilan Lingkungan (environmental justice).
Kerusakan Lingkungan
Secara konseptual, implementasi perusakan lingkungan di Karimunjawa dipandang sebagai tindak pidana terorisme sangat perlu sebagai acuan dalam penegakan hukum lingkungan nantinya di Indonesia. Jika kita melihat di dalam pembahasan kasus sebagian besar penyelesaian kasus tersebut kandas tidak jelas penyelesaiannya. Bahkan jika prosesnya selesai putusan pengadilan tidak ada yang mempertimbangkan aspek hak asasi manusia, hak asasi lingkungan dan jauh dari kata keadilan untuk lingkungan (environmental justice).
Dengan adanya penindakan hukum yang tegas bagi para pelaku kejahatan lingkungan di Karimunjawa semoga cita-cita bangsa, tujuan negara dan cita hukum dapat terpenuhi sesuai dengan tujuan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia.
Tujuannya untuk untuk melindungi wilayah kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup; menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia; menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem; menjaga kelestarian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup.
Disamping itu tujuan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah untuk mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup; menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan; menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia; mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana; mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan Untuk mengantisipasi isu lingkungan global.
Sebagaimana tujuan UUPPLH adalah untuk menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia, maka dengan diterapkannya konsep tindak pidana perusakan lingkungan dipandang sebagai tindak pidana terorisme ini bisa menegakan penindakan hukum lingkungan sesuai dengan tujuan UUPPLH.
Sehingga harapan dengan adanya konsep tindak pidana perusakan lingkungan dipandang sebagai tindak pidana terorisme ini bisa menjamin keselamatan, kesehatan, kehidupan manusia dan sumber daya alam, agar generasi yang akan datang juga tetap masih bisa menikmati anugrah Rahmat Tuhan YME yaitu sumber daya alam beserta ekosistemnya ini.
Diharapkan dengan konsep perusakan lingkungan dipandang sebagai tindak pidana terorisme dapat membantu penindakan masalah kerusakan lingkungan hidup akibat perusakan lingkungan, kemiskinan struktural seharusnya dilihat sebagai masalah tindak pidana terorisme dan pelanggaran Hak Asasi manusia.
Tentu penyelesaiannya membutuhkan komitmen dan tanggung jawab negara untuk menjamin penghormatan, perlindungan dan pemenuhan Hak atas Lingkungan Hidup sebagai Hak Asasi Manusia serta guna untuk mencapai sebuah tujuan Keadilan Lingkungan (environmental justice).
Penulis adalah Ketua Bidang Advokasi Pesisir Laut dan Kehutanan DPW Kawali Jawa Tengah