blank

Oleh : Sunardi KS

Hari Rabu (21/12-2022)  sore menjelang senja, saya ditilpun Udik Agus D.W. yang berpesan bahwa nanti malam, kalau akan menghadiri acara peluncuran buku Sonya karya Alie Emje saya diajak  bareng . Tentu saja saya mathuk sekali, bisa nunut numpak mobil gratis, kalau ada hujan tidak kehujanan. Alhamdulillah.

Dijanji akan diampiri setelah sholat Isya’ saya meng-iya-kan. Maka saya sudah siap-siap setelah pulang dari masjid sholat berjamaah. Saya berusaha untuk disiplin. Maka doa-doa setelah sholat saya singkat, segera pulang. Di rumah sudah siap berangkat, pakai celana panjang, baju yang agak pantas, supaya tidak menimbulkan rasa haru teman-teman yang menyaksikan penampilan saya.

Sampai jam delapan malam lebih, Pak Udik belum menilpun lagi. Tentu saya mulai gelisah, sebab secara pribadi saya diberi kehormatan dihubungi langsung oleh Alie Emje agar benar-benar datang di acara itu. Tetapi Alhamdulillah beberapa saat kemudian Pak Udik tilpun, supaya saya menunggu di mulut gang.

Di perjalanan, di dalam mobil Pak Udik, ternyata saya di WA sekali oleh Alie Emje, ditilpun sampai tiga atau empat kali. Tetapi saya tidak dengar. Karena kuping saya yang sudah mulai menurun kualitasnya.

Sesampai di desa Pekalongan, di rumah Aminan yang dijadikan  tempat acara, saya dan Pak Udik lupa gang mana yang harus dimasuki. Ya lupa itu mungkin karena unsur ‘U’. tetapi akhirnya tahu juga. Bingung mencari tempat parkir, karena jalan menuju rumah Aminan penuh kendarakan. Pertanda tamu atau apresiannya banyak yang datang. Lalu mobil Pak Udik diparkir di pinggir jalan raya, agak sembarangan.

Hujan adalah Berkah

Sesampai di lokasi, saya dan Pak Udik sibuk menyalami tamu-tamu yang sudah datang terlebih dahulu, duduk lesehan dijalanan yang diberi atap tenda sebagian. Baru saya dan Pak Udik mulai ikut bergabung duduk lesehan. Tetapi baru beberapa menit kemudian, hujan turun dengan derasnya.

Alie Emje dan Es Wal (Waluyo) memberi komentar tentang hujan, yang katanya merupakan berkah. Meski pun kami, audien agak repot karena gelaran yang dipakai untuk duduk mulai dirambah air hujan. Dan terpaksa audien berdiri sambil mendengarkan Aminan Basyari, Waluyo, Alie Emje mulai membuka acara.

Setelah itu Aminan Basyari, Waluyo dan Alie Emje memanggil Pak Udik Agus D,W., Kholis J. Irohati dan saya untuk maju ke panggung. Kami bertiga dipanggil, dipersilahkan maju karena tulisan-tulisan kami diikutkan di dalam buku itu. Lalu pada malam itu diikutkan memberi sepatah dua patah kata komentar perihal buku itu.

Di dalam buku itu (Sonya) Pak Udik Agus D.W. memberi judul tulisannya SONYA: ANTARA KONVENSI DAN INOVASI DALAM BERPUISI. Kholis J. Irohati memberi judul tulisannya NYALA NYALI CINTA serta saya memberi judul MEMBACA BUKU SONYA, MEMBACA TANDA, MEMBACA CATATAN UNTUK KELAK.

Kakak Kelas 

Pada malam itu Pak Udik Agus D.W. memberi komentar (khususnya) pada tulisannya yang ada di dalam buku itu, ya semacam penegasan barangkali, bahwa ia merasa kagum dengan Alie Emje yang sekarang. Karena Alie Emje yang sekarang mulai gigih menulis, bahkan setiap hari menulis puisi yang  diunggah di Medsos.

Kekaguman itu beralasan, karena juga masih menurut Pak Udik, bahwa Alie Emje sesungguhnya sudah lama vakum tidak menulis puisi. “Saat-saat sekarang kok sudah mulai gigih, produktif menulis puisi. Bahkan menulis puisi di buku Sonya ini terkesan sedemikian cepat dan gampang. Saking kreatifnya Alie Emje. Setiap hari menulis puisi, bahkan lebih dari satu puisi sehari. Padahal saya berusaha menulis puisi, satu judul saja sampai berhari-hari” imbuh Pak Udik. “Lalu apa resepnya?”

Lalu giliran Kholis J. Irohati memberi pernyataan, “Di dalam buku Sonya ini, yang ditulis Alie Emje, saya dilibatkan, bahkan sebetulnya saya sebelumnya juga pernah diajak rerasan untuk membuat buku ini. Bahkan urusan judul buku juga saya dimintai memberi komentar, pertimbangan.

Di dalam buku ini saya tidak mengulas puisi-puisi Alie Emje,” —yang kadang-kadang Kholis juga menyebut Alie Emje itu Embah, karena konon sebagai sebutan kehormatan. “Saya tidak berani mengulas, mungkin sekedar apresiasi. Saya memang termasuk kagum dengan beliau” kata Kholis. “Saya anggap beliau adalah guru saya” pengakuan Kholis, mungkin merendah.

Lalu pengeras suara, —yang kata teman-teman saya yang genius selalu menyebut microphone diberikan kepada saya, saya disuruh omong. Lalu saya ikut omong. “Saya pada kesempatan kali ini tidak berkomentar tentang tulisan saya yang diikutkan di dalam buku ini. Juga tidak omong soal puisi-puisi Alie Emje di dalam buku ini.

Tetapi saya hanya memberi kesaksian tentang Alie Emje. Sebab yang seringkali saya ketahui hubungan antara Alie Emje dan apresian puisi-puisinya, jenjang usianya kadang cukup jauh. Ada apresian atau pengagum Alie Emje yang (bahkan kebanyakan) yang lahir pada tahun-tahun setelah 80 atau 90-an. Jadi tentu saja teman-teman apresian ini tidak tahu ketika Alie Emje itu produktif-produktifnya menulis puisi di media-media cetak lokal maupun nasional pada tahun-tahun itu, tahun-tahun 80an – 90an.

“Pada saat Alie Emje produktif menulis di media-media cetak, saya malah masih belum apa-apa. Jadi Alie Emje ini tergolong kakak kelas saya di dalam soal menulis puisi. Alie Emje sudah ontran-ontran di media-media cetak Jakarta, saya masih tahap awal menulis puisi” kata saya memberi pengakuan.

Puisi dan gurit menjadi lirik

Lalu Aminan memberi kesempatan pada audien untuk menanggapi omongan kami, saya, Pak Udik dan Kholis. Tetapi belum  terlaksana. Karena saya usul bahwa sesungguhnya malam itu di samping ‘milik tokoh’ Alie Emje juga ‘milik’ Eswal. Karena juga peluncuran album puisi milik kawan-kawan penyair Jepara, yang dinyanyikan Es Wal (Waluyo). Maka sebelum audien sempat menanggapi omongan kami, pengeras suara diberikan kepada Es Wal dan kawan-kawan pemusik.

Tetapi kami, saya, Pak Udik dan Kholis pelan-pelan beringsut dari panggung, mencari kesempatkan lengahnya teman-teman untuk mundur bergabung dengan teman-teman yang lain, yang semula diposisikan sekedar pendengar. Pak Udik lalu (kesannya) memberi kesempatan Es Wal dan kawan-kawan pemusiknya. Agar panggung terkesan berganti milik para pemusik.

Dan kami sesungguhnya juga mencari kesempatan untuk pulang. Sesampainya di rumah, celana dan baju saya masih terasa agak-agak basah. Meski pun sudah tidak hujan lagi. Gerimis masih terasa mengenai wajah saya, ketika saya berjalan kaki dari mulut gang sampai ke rumah kontrakan. Kalau hal yang seperti ini terjadi biasanya saya lalu tidak tahan menunda-nunda untuk tidak segera ke kamar kecil, maaf untuk kencing.

Setelah itu makan malam ke dua, dengan alasan agar tidak gampang masuk angin. Setelah itu baru sempat buka buku Sonya yang masih terbungkus plastik. Pertanda masih gres. Dan kami bertiga, saya, Pak Udik, Kholis memang sepakat tidak membuka buku di arena acara dengan alasan supaya buku tidak basah kena air hujan.

Di tulisan saya, khususnya, selain tulisan Pak Udik dan Kholis, lha kok sepasinya amburadul. Saya kan orang gaptek (gagap tehnologi) Apa tulisan-tulisan saya, setelah disalin ke buku kena virus ya?. Atau justru kena provokasi positif, sehingga rukun, saling berdempetan? Gak tahu ah. Tetapi kalau saya diam saja berarti tidak ada kekhawatiran, ketidak adanya kekhawatiran karena langkah buku ini tidak ke mana-mana. Lha rak malah lebih negatif lagi. Coba bayangkan, lebih kok negatif. Wah kadang-kadang memang Elektro Computer. Atau Elek Tro Komputer. O walah, orang gaptek, dan ndesa.

Kalau ada kendala hal-hal kecil di acara ini, yang kata teman-temanku istilahnya Launching Buku Puisi Sonya, mudah-mudahan buku itu akan mendapat apresian yang baik. Serta kelak musikalisasinya Mas Es Wal laris-manis di pasaran. Musikalisasi itu terdiri dari puisi-puisi penyair Jepara, selain puisi atau gurit saya. Tetapi Mas Es Wal, saya (sumpah) tidak iri lho Mas. Jadi tidak usah repot di hati Mas Es Wal. Toh saya masih terlalu kolot dan berpendapat ; bahwa puisi atau gurit kalau sudah dinyanyikan dan diberi musik berarti sudah bukan lagi puisi atau gurit. Tetapi sudah menjadi lirik. Nuwun

Penulis adalah budayawan Jepara