blank
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa. Foto: Dok/IESR

JAKARTA (SUARABARU.ID) – Pemerintah berencana memberikan insentif terhadap kendaraan listrik.

Rinciannya adalah Rp 80 juta untuk pembelian mobil listrik, Rp 40 juta untuk pembelian mobil listrik berbasis hybrid, Rp 8 juta untuk pembelian sepeda motor listrik yang baru, dan Rp 5 juta untuk motor yang dikonversi menjadi motor listrik.

Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang, pemberian insentif kendaraan listrik lebih baik difokuskan pada pembelian kendaraan listrik roda dua, konversi kendaraan roda dua menjadi kendaraan listrik roda dua dan elektrifikasi transportasi publik.

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa menilai, saat ini belum tepat untuk menggelontorkan insentif dalam pembelian mobil listrik.

Hal itu disampaikannya dalam acara Pojok Energi “Insentif Jumbo Kendaraan Listrik” yang dilaksanakan oleh IESR, Selasa (20/12/2022), diantaranya kapasitas fiskal yang terbatas, serta kebutuhan anggaran yang cukup besar bagi aktivitas lain dalam rangka mendukung transisi energi berkeadilan, seperti mengembangkan energi terbarukan dan memastikan kualitas akses listrik di daerah tertinggal.

Fabby mengatakan, dengan pertimbangan tersebut, pemerintah seharusnya lebih fokus memberikan insentif terhadap pembelian kendaraan listrik roda dua, sehingga meningkatkan permintaan kendaraan listrik dan mencapai target 13 juta motor listrik di 2030.

“Pemberian insentif untuk motor jauh lebih tepat dibandingkan mobil, kita juga mendukung elektrifikasi transportasi umum seperti bus listrik. Apabila hal ini direalisasikan tidak saja mengurangi konsumsi BBM, tetapi juga mengurangi kemacetan dan penurunan emisi,” terang Fabby.

Menurut Fabby, pemberian insentif untuk pembelian motor listrik akan menguntungkan bagi masyarakat menengah ke bawah yang menggunakan motor tidak hanya sebagai sarana transportasi, melainkan juga salah satu sumber mata pencaharian terutama di daerah perkotaan.

Sementara, insentif terhadap pengadaan bus hingga angkutan kecil di perkotaan berbasis listrik akan mendukung terciptanya transportasi publik rendah emisi.

Peneliti Muda Sistem Ketenagalistrikan dan Sumber Daya Energi Terdistribusi IESR, Faris Adnan menyebut, Pemerintah Indonesia bisa berkaca dari pengalaman India yang memberikan insentif kendaraan listrik melalui skema The Faster Adoption and Manufacturing of Electric Vehicles (FAME). Di dalam skema tersebut, insentif bus lebih besar dibandingkan mobil pribadi.

“Apabila kita membahas mobilitas di perkotaan (urban mobility), terdapat kerangka Avoid (hindari), Shift (alihkan), Improve (tingkatkan),” ujarnya.

Dengan framework (kerangka) tersebut, selain menggunakan kendaraan listrik untuk kendaraan pribadi, pemerintah bisa membangun transit oriented city (kota yang ramah pejalan kaki dan transportasi publik) dan menggunakan transportasi umum berbasis listrik.

“Dari pengalaman yang sudah ada, hanya menggunakan framework avoid dan shift tersebut bisa menurunkan emisi antara 40-60%. Untuk itu, transportasi umum perlu disubsidi,” kata Faris.

Selain itu, IESR mendukung pemerintah apabila penyaluran insentif dilakukan untuk proses konversi dari motor konvensional menjadi motor listrik.

Dijelaskan, proses konversi terutama perlu dilakukan pada kendaraan berusia 6-7 tahun dengan kondisi badan motor yang bagus, sehingga yang perlu diganti hanya mesinnya dan pemasangan baterai. Dengan asumsi motor yang dikonversi adalah yang sudah melewati usia 10 tahun, diperkirakan ada 6 juta motor per tahun yang siap di konversi.

Berdasarkan survei yang dilakukan IESR, tarif konversi kendaraan listrik roda dua termurah ada di angka Rp10 juta dan termahal Rp30 juta dengan kisaran rata-rata di rentang Rp15 juta-Rp23 juta.

Survei IESR juga menunjukkan keinginan untuk membayar (willingness to pay) masyarakat Indonesia untuk mengonversi kendaraan konvensional menjadi motor listrik ada di kisaran Rp5 juta-Rp8 juta per unit.

Untuk itu, pemerintah harus memikirkan skema tambahan untuk membuat konversi motor listrik menjadi lebih murah.

“Dengan adanya insentif, anggaplah kita bisa memangkas Rp5 juta sehingga harga rata-rata konversi kendaraan listrik dari Rp15 juta-23 juta menjadi di rentang Rp 10 juta-Rp 18 juta untuk motor listrik yang menggunakan sistem penggantian baterai,” tambahnya.

“Jika pada sistem yang tidak perlu membeli baterai, maka harganya dapat dikurangi lagi sebesar Rp 6 juta-Rp 8 juta. Dengan begitu, harga konversi motor listrik tanpa pembelian baterai bisa menjadi Rp4 juta-Rp10 juta, yang berarti sudah masuk dalam angka willingnes to pay masyarakat,” pungkasnya.

Ning Suparningsih