Oleh: Amir Machmud NS
MINGGU nanti, ujung perhelatan akbar di Qatar akan mengetengahkan sebuah “jalan takdir”: kenyataan yang akan dan harus diterima oleh seorang anak manusia bernama Lionel Andres Messi.
Hampir di sepanjang hidupnya, hingga usia ke-35, dia telah mendedikasikan anugerah bakat sepak bola kepada semesta olahraga paling populer itu.
Messi menjelma menjadi bagian dari pesepak bola langka, berjajar dengan nama besar Pele, Alfredo Di Stefano, Ferenc Puskas, Johan Cruyff, Michael Platini, Diego Maradona, Ronaldo Luis Nazario, Zinedine Zidane, Ronaldinho, hingga Cristiano Ronaldo.
Keajaiban-keajaiban yang dipertontonkan membuat Messi acap disebut berasal dari “maqam” alien, bukan manusia biasa.
Minus Piala Dunia
Jika ukurannya trofi, apa pun Messi punya, dari ranah individual maupun klub dan tim nasional. Tetapi tidak untuk trofi Coppa del Mundo.
Piala Dunia telah dimiliki Pele, Maradona, Zidane, Ronaldo, dan Ronaldinho, dan lantaran itulah dia selalu dibandingkan: pencapaian apa pun akan terus bernilai minus bila belum berselebrasi mengangkat Piala Dunia.
Pada 2014, Messi “hampir juara” bersama Argentina, namun kalah 0-1 dari Jerman. Empat tahun kemudian dia gagal total, dan kini La Pulga mengulang hadir di partai puncak. Nah, akankah “tancep kayon” Qatar 2022 menghadirkan “jalan Tuhan” yang berpihak? Artinya, tahun ini dia betul-betul berhak mendapatkannya?
Atau, “takdir” mengetengahkan repetisi sejarah, yang lagi-lagi tak memihak perjalanan pamungkasnya? Dan, dia harus menghapus mimpi, seperti Cristiano Ronaldo yang bersedu sedan meninggalkan arena?
Potret Nasib
Perjalanan Leo Messi, hingga sejauh ini adalah potret jatuh-bangun perjuangan pemain bola, sekaligus potret nasib anak manusia.
Dia mencari pengakuan dengan bukti trofi.
Secara kuantitatif, hanya dengan cara itulah publik akan mengukur kinerjanya: apakah pantas berjajar dengan Maradona, lebih baik dari Sang Dewa, atau dia hanya pengekor yang tak mampu meraih level itu.
Rekor tujuh kali Ballon d’Or pasti hanya Messi yang mengantongi. Dalam jumlah gol dia melejit jauh dari Maradona. Aksi-aksinya pun tak kalah fenomenal dari El Pibe de Oro.
Sekali lagi urusannya hanya soal Piala Dunia. Dan, satu faktor itu rupanya membutuhkan keberpihakan takdir yang tak bisa ditawar-tawar.
Setiap kali kesempatan itu tiba, seperti pada 2014, betapa miris menyaksikan getar hati seorang pejuang yang terbayangkan digelayuti beban pembuktian.
Mampukah dia, berhasilkah dia? Inikah saatnya? Atau dia harus kembali membumikan impian, bahkan selamanya akan kehilangan peluang?
— Amir Machmud NS; wartawan suarabaru.id, kolumnis sepak bola, dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah —