blank
Forum diskusi budaya "Suluk Mantingan" yang diselenggarakan oleh PC Lesbumi Jepara.

JEPARA (SUARABARU.ID)- Suluk Mantingan yang diselenggarakan rutin oleh Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi NU) Jepara kali ini mengambil tema “Ma’rifat kebudayaan: Jawa dan Islam dalam pertemuan”.

Forum diskusi yang bekerjasama dengan Yayasan Masjid Mantingan ini menghadirkan Budayawan asal Jogjakarta, Irfan Afifi yang juga seorang penulis sekaligus founder langgar.co.

Mohammad Nuruddin, anggota Divisi Riset dan Publikasi PC Lesbumi Jepara melalui sambutannya mengapresiasi forum diskusi Suluk Mantingan yang terus mengalami perkembangan, karena sudah bisa ditayangkan melalui live streaming. Sehingga, khalayak luas bisa ikut berdiskusi secara online.

Memasuki diskusi inti, Irfan menyampaikan bahwa Capaian penerjemahan Islam yang dibawa oleh para wali tanah Jawi dalam penubuhannya dalam realitas kejawaan (bahkan Nusantara) bukan hanya keberislaman masyarakat Jawa yang lahir (dalam bentuk qanun-qanun kodifikasi hukum islam misalnya), melainkan telah sampai pada “kearifan” budaya.

Lebih jauh lagi penulis buku berjudul “Saya, Jawa, dan Islam” ini menguraikan bahwa para wali tanah Jawi beserta pelanjutnya, telah bisa menerjemahkan ajaran universal Islam dalam bentuk capaian tertingginya bernama “kearifan”, sebagai wujud tertinggi dari kebenaran batin-tertinggi Islam, dari tahapan jenjang yang paling lahir bernama (1) syari’at, meningkat menjadi (2) tarikat, terus menaik hingga level terdalam-batinnya bernama (3) hakikat.

Kemudian orang yang telah mengenali hakikat batin-terdalam “kebenaran” Islam (sang realitas) biasanya akan mendapat anugerah pengenalan berjenjang akan lapis-lapis realitas yang terhubung dengan cahaya realitas Ketuhanan, atau yang disebut (4) ma’rifat.

“Tahap terakhir ini dicapai oleh para wali Allah, yang biasanya teranugergerahi “keramat” (kemulyaan) karena telah adil dalam pengetahuan dalam menuntun manusia-manusia Jawa menerjemahkan Islam dengan takaran-takaran kebenaran yang ingin diselenggarkan sesuai jenjang capaian derajat ruhani masyarakatnya”, terang Irfan Afifi.

“Produk Islamisasi para wali bukan pada kanun-kanun ketetapan hukum yang dikeluarkan oleh penguasa atau Sultan, melainkan tata “kearifan” budaya dan adat, yakni sebagai manifestasi penerjemahan Islam dengan dalam bingkai takaran Ma’rifat para penyebarnya”, lanjut Irfan.

Oleh karenanya kata “arif” dan “kearifan” masih berasal dari satu akar kata dengan “ma’rifat”. “Kearifan Budaya” oleh karenanya hasil olah penerjemahan Islam bukan pertama dengan menggunakan metode menyorongkan dalil (bayani), ataupun melalui kekuatan argumen akal (burhani), melaikan lebih mengutamakan teladan dan kearifan (‘irfan/ma’rifat), Tak aneh jika adat, budaya, dan kebiasaan yang dalam bahasa arabnya disebut “urf” masih satu akar kata dengan “arif” dan “ma’rifah”.

Menutup diskusi, Irfan Afifi lantas memberikan closing statement bahwa yang menyebabkan produk ber-Islam masyarakat Jawa, atau Nusantara secara umum, punya ciri khas yang berbeda dengan corak berIslam masyarakat muslim wilayah lain adalah karena corak Ma’rifat kebudayaannya. Artinya, kalau memang ajaran Islam bisa menebar rahmat bagi semesta alam, maka Islam akan membantu proses berkebudayaan masyarakat jawa.

ua/O’ok