blank
Ilustrasi. Foto: pixa

Oleh: Catur Pramudito Damarjati

PADA malam itu, suara derap langkah memberisiki sunyi. Tak ada yang tahu, kalau Parjo sedang berjalan sendirian di sepanjang jalan setapak. Ia melangkah tak seperti biasanya, tanpa dian.

Meskipun tiada penerangan, Parjo hapal kemana kaki musti berpijak, mantap menapak titian hutan perbukitan yang landai. Sementara kedua tangannya sibuk menyibak dedaunan yang menjuntai ke jalanan.

Sebentar-sebentar ia terhenti, didengarnya dengan samar deru gerigi mesin yang serupa dengan desing senso. Ia tahu betul tempo suara itu, sebab akhir-akhir ini penebangan makin marak terjadi di sepanjang batas desa. Parjo menangkap kecurigaan. Kemudian ia melangkah kembali, menuju suara samar yang makin jelas dan terang dalam dugaanya.

Di kaki langit bulan masih saja sembunyi dari permukaan, di balik awan-awan gelap yang diam. Bulan seperti menanti, tak kunjung menyisir gulita. Si Parjo itu, hanya petani biasa. Jangan harap ada seorang akuntan atau pegawai pemerintah yang bernyali sendirian menyusuri hutan. Apalagi pejabat. Hanya manusia semacam Parjo yang nekat hidup di belantara.

Selain memang tak memungkinkan hidup di kota, baginya kota adalah gambaran belantara yang tak ada duanya, dimana orang bisa teramat kejam terhadap orang lain, disanalah barangkali satu-satunya tempat dimana manusia merampok harga dirinya sendiri.

Parjo memang benar-benar hidup sendirian dalam hutan, tepatnya di batas pagar hidup pedesaan. Pada pondok seadanya yang ia bangun cukup beberapa hari saja. Hari-harinya adalah keheningan dan ketenangan, membersamai alam dan burung pagi yang saling bersahutan.

Ketika malam datang, ia kerap bersenandung di teras pondok di atas lincak bambu, alunan tembang megatruh mesra berselaras dalam jagat yang kosong.

Dalam dirinya, menyala dian kauripan, lilin jiwa yang menerangi hamparan padang sepi yang sebegitu jauh. Urip tan urup, sebuah pepatah jawa yang demikian melekat dalam diri Parjo.

Maka gelap dan kesendirianya justru menjadi jalan menuju sejatining diri, manunggal dalam Sang Hyang Widhi. Baginya, hidup tak lebih dari seteguk air yang membasuh jiwa. Dalam kedahagaan yang sangat, tugas manusia ialah menemukan lakon dalam kisahnya sendiri.

Sedang kematian merupakan gerbang pergantian, tak hanya melebur dalam keabadian, namun juga menyingkap kesadaran dan kebenaran, bahwa hidup tak lain merupakan bunga tidur, dan kematian membangunkan manusia dari mimpi-mimpi.

* * * * *

Parjo yang sedari tadi meniti langkah, tiba-tiba terhenti, sayup-sayup terdengar deru mesin-mesin besar. Ia khidmat sejenak dalam hening yang mulai memudar. Dilihatnya langit-langit beserta rimbun dedaunan yang sebentar-sebentar ditimpa angin, Parjo termangu.

Tak lama berselang, ia melangkah kembali, didepannya terang lampu menerobos dari balik semak belukar. Lantas perlahan namun pasti, Parjo meringkuk masuk ke dalam belukar, menyisakan bola matanya untuk menelisik : Mengeja keadaan.

Ditatapnya dengan sungguh-sungguh tenda-tenda raksasa, lampu putih yang menyilap pandangan dan alat-alat berat yang mengeruk dan meratakan hutan dalam sekejapan mata.

Alat-alat itu bahkan lebih besar dari pondoknya sendiri. Lantas kedua lututnya gemetar, gagap memandang segalanya itu. Antara jatuh dalam kekaguman, kengerian atau kebrutalan, ia tak sepenuhnya mengerti bagaimana menyerap keramaian dan kebisingan di tengah malam yang tak pernah hadir dalam kamus keseharianya itu. Perlahan, parjo mulai merangkai kejadian di hadapannya dalam sederet pemahaman baru, dimana wajah dan aroma kekotaan lambat laun mulai merasuk dalam alam pedesaan.

Sebentar lagi jagat akan berubah, tercerabutnya pohon-pohon besar seperti randu dan beringin, pertanda akan alam yang kehilangan ruh dan keagungannya, lenyap dalam kepongahan manusia. Sesuatu yang lama dinanti-nantikannya tiba, manusia tak hanya merampok harga dirinya sendiri, namun juga harga alam yang tak terbayarkan.

Parjo teringat sepekan lalu, Kamitua mengadakan pertemuan diam-diam di rumahnya, tak ada yang tahu siapa yang ia ajak bicara. Orang cuma mengira Mercedes yang terparkir di halaman rumahnya merupakan kerabat yang datang dari kota, setidaknya begitulah pengakuan Kamitua itu sendiri.

Beberapa hari setelahnya, tiba-tiba beberapa alat berat merangsek membelah hutan. Persis melintasi pondok sederhana milik Parjo. Ia yang kebetulan melintas pada malam rahasia itu, sengaja ikut andil menangkap pembicaraan, sepanjang kelakar dan omong kosong, diselingi dengan bermacam janji-janji, kemudian di tutup dengan jabat tangan.

Parjo cepat menyadari, ia sama sekali bukan kerabat yang datang dari jauh, tapi entah siapa. Parjo yang telah bertahun-tahun melebur dalam lelaku alam, merasa menerima sebuah firasat ; peristiwa besar akan datang.

Benar, peristiwa telah datang. Dan dari dalam belukar, ia meraba kembali ingatan tentang tanah, desa dan segala yang hidup didalamnya. Cepat atau lambat, pikirnya. Hutan akan jadi belantara manusia, dengan derap napas yang gelisah dan tergesa-gesa. Ketika deru asap kota mulai menyelimuti suasana desa, hutan seketika itu berhenti bernapas, juga burung, serangga, dan penghuni lainnya.

Hutan sebagai rumah bagi ribuan satwa dan manusia desa, diratakan tanpa kompromi dan penuh ambisi. Semua lenyap, juga angan-angan dan impian sederhana penduduk desa ; Lestari.

* * * * *

Parjo linglung memandang angan dan kenyataan, di tengah hamparan padang jiwa, ia coba menatap dirinya sendiri, nasib dan suratan takdir yang telah bertahun-tahun ia jalani, menghadapi tantangan besar yang memaksa ia untuk menjawab keresahan yang mulai mencengkeram ; Inikah goro-goro dalam pewayangan manusia?

Dimana letak dirinya dalam alam yang mulai berubah? Bagaimana seharusnya ia menjadi lakon? Atau benarkah piweling kakeknya tentang “titi wanci”? Sebuah masa ketika jagat akan berubah?

Parjo beranjak setelah lama terdiam, ketika bulan menyembul dari balik awan hitam, berpendar menerangi seisi hutan yang buta. Lama ia termenung sendirian, sebab dihadapannya seperti telah tiba “titi wanci” yang seakan telah digariskan sejak dahulu kala.

Dan ia masih saja terpaku. Jiwanya merasa berontak terhadap keadaan. Amarahnya seakan terbakar dalam rentetan deru mesin raksasa itu. Tetapi dalam semak belukar, Parjo merasa tak dapat melakukan apa-apa. Lututnya masih gemetar. Kemudian ia meringkuk dan perlahan-lahan mundur. Pulang ke pondoknya dengan perasaan yang tak tuntas.

Beberapa hari berlalu selepas kejadian itu, Parjo tetap menjalani hari seperti biasanya, namun dalam benaknya, ia selalu dihinggapi perasaan yang ganjil. Parjo merasa perlu menemui Kamitua, walau sebetulnya ia sudah menduga jawaban apa yang akan diterimanya.

Ia cuma merasa wajib memastikan apa ia lihat malam itu, sebab mau bagaimana pun Parjo adalah bagian dari warga desa. Dimana tampuk kekuasaan dipegang oleh Kamitua, selain itu seorang Kamitua pun adalah orang yang dituakan, segala persoalan masyarakat hingga keluh kesah rumah tangga bermuara di sana.

Ketika petang datang, selepas Shalat Maghrib, Parjo melangkah dengan tenang menyambangi orang yang dituakan itu. Setelah dipersilakan, Parjo yang tak biasa dengan lantai marmer dan dinding berhias lukisan kuno, kikuk.

Ia duduk di sofa empuk dekat patung seorang penari bali. Parjo sempat menatapnya lama-lama. Gumun dengan lekuk pahatan yang amat sedap dipandang mata.

Setelah menyeruput teh panas di atas meja yang berserat jati asli, Kamitua membuka percakapan sembari menyulut sebatang rokok.

“Ahh Parjo, jarang-jarang main kesini. Kebetulan sekali.”

“Iyaa Abah, sudah beberapa hari ada yang ingin saya tanyakan sama Abah.”

Dalam suasana ruangan yang berbau kota dan banyak benda-benda antik disekelilingnya, Parjo merasa asing. Ia segera menyampaikan maksud tujuanya.

“Begini Bah, beberapa hari lalu saya sempat mendengar suara senso dari tengah hutan.”

“Owalah masalah itu.”

“Iyaa, Bah”

Kepulan asap rokok Kamitua yang akrab dipanggil Abah itu mulai menyebar dan memenuhi seisi ruangan.

“Memang dari pemerintah setempat sudah memberi pengumuman resmi Jo, kemarin lusa juga sudah Abah umumkan ke warga. Kamu belum tahu?”

“Iyaa Bah, kalau soal keboisasi itu saya sudah tahu Bah.”

“Reboisasi Jo.”

“Ohh iyaa Bah reboisasi, itu katanya soal penanaman hutan kembali kan, Bah?”

“Iyaa Jo, kira-kira ada masalah apa dengan program pemerintah itu?”

“Begini Bah, memang kalau program itu saya tahu dan menyaksikan sendiri bagaimana pohon ditebang dan ditanam kembali.”

“Terus?”

“Penebangan kebo, eh, reboisasi itu kan dilaksanakan siang Bah. Yang saya dengar kemarin malam-malam. Apa ada program malam juga, Bah?”

Sekejap pandangan Abah menatap mata Parjo dengan tajam lantas berpindah pada lukisan harimau di punggungnya. Kemudian kembali menghisap rokok dengan wibawa tak
berkurang sedikit pun.

“Begini Jo, reboisasi itu penting dilakukan supaya program pemerintah berjalan dengan lancar dan baik. Cuma ada program lain yang dijalankan juga.”

“Program apa, Bah?”

“Nah, nantinya tengah hutan itu bakal dibangun pabrik Jo, pabrik besar. Kata orang pemerintah, tempat itu strategis dan cocok buat dijadikan kawasan industri.”

“Tepat di tengah hutan itu, Bah?”

“Betul. Nanti untuk berita ini Abah sampaikan ke warga minggu depan. Masih ada urusan surat menyurat dari dinas setempat.”

“Bah, ngapunten. Kok tidak rembugan dulu dengan warga? Apalagi menyangkut hutan tengah.”

Parjo mulai menatap Abah dalam tatapan yang menyelidik, tapi hanya sesaat.

“Begini Jo, hutan itu milik negara. Kita ini tak punya hak sejengkal pun di hutan itu. Pembangunan pabrik itu pun buat kepentingan masyarakat, menyangkut kesejahteraan hajat hidup orang banyak.”

Parjo diam. Menghela napas. Membuka tutup gelas dan menyeruput teh panas di hadapannya. Setelah ia memastikan bahwa dugaanya selama ini benar. Ia merasa perlu mengingatkan Kamitua itu tentang tradisi yang harus dijaga. Lantas gelas diletakkan kembali ditempatnya, Parjo yang tenang mulai mengurai keganjilan dalam hati.

“Abah, panjenengan apa lupa soal hutan tengah yang pantang di tebang?”

* * * * *

Untuk kedua kalinya Kamitua itu menatap mata parjo dengan sungguh-sungguh, seakan tahu pertanyaan semacam itu akan datang. Cuma ia tak habis pikir mengapa si Parjo. Si anak itu. Lelaki kurus yang menghabiskan seluruh waktunya di hutan.

Dalam benaknya barangkali juga warga desa, memandang sosok Parjo sebagai lelaki yang rendah hati dan hanyut dalam pembawaan yang meneduhkan. Apalagi muncul desas desus bahwa Parjo akan menerima tongkat estafet Imamuddin.

Bukan orang sembarangan yang bisa menyandang gelar tersebut. Ada lelaku hidup yang musti dijalani dan biasanya dorongan itu timbul sejak masih belia. Dan agaknya semua orang setuju, Parjo merupakan kandidat satu-satunya.

Kamitua itu berusaha keras untuk menjawab keraguan dalam alam pikirannya, apakah Parjo sudah mendapat sasmita? Bagi masyarakat tradisional, seorang Imamuddin diyakini memiliki kedekataan khusus dengan Sang Maha Mengetahui, sehingga Imamuddin atau Mudin selain memimpin berbagai acara keagamaan kerap pula dijadikan tempat untuk meminta nasihat dan wejangan.

Kamitua itu termenung. Ia menyadari perkataan seorang yang dekat dengan Tuhan memiliki pesan tertentu, maka ia terkesiap dengan pertanyaan terakhir yang dilontarkan parjo.

Ia menyadari pertanyaan itu menagih dirinya sebagai pengemban kewajiban. Tetapi soal hutan tengah. Ah. Parjo memang tak sekolah. Tak banyak tahu soal serba serbi administrasi atau wajah kekotaan. Namun laku tirakat membuat dirinya peka terhadap ketidakberesan. Dan Kamitua paham betul perkara ini. Maka ia lebih berhati-hati.

“Begini Parjo, soal hutan tengah itu saya kira kamu juga memahami dengan baik. Bahwa tradisi memang harus dijaga dan dilestarikan. Abah pun tahu persis kesakralan tempat itu. Tetapi begini.”

Ia terhenti sejenak dan menghempaskan asap rokok ke ruang kosong. Memenuhi udara.

“Zaman telah berubah, dan perubahan itu suatu keniscayaan. Dalam hidup kita pun juga terjadi perubahan. Betulkah jo?”

“Betul, Bah. Perubahan itu sudah pasti terjadi.”

“Lhaa, kita ini sebagai orang desa tak bisa menahan laju perubahan itu. Kau pun tahu, pemerintah punya gagasan besar soal pemerataan kesejahteraan masyarakat. Gagasan itu salah satunya lewat program industrialisasi. Tujuannya tak lain agar meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat.”

Parjo berpikir keras akan jawaban yang sukar dirabanya itu.

“Lhaa kalau hutan tengah itu, Abah sendiri sebetulnya menyayangkan kebijakan pemerintah soal pendirian pabrik di atas tanah adat, tetapi mau bagaimana pun Jo, imbas yang dirasakan warga desa nantinya juga besar. Contohnya lapangan pekerjaan yang terbuka bagi warga desa, akses dari desa ke kota jadi lebih mudah. Kalau warga desa punya penghasilan tetap dengan standar UMK daerah. Abah rasa masyarakat jadi lebih makmur dan sejahtera.”

“Coba kamu bayangkan, kalau akses desa ke kota mudah. Nanti pembangunan juga serba mudah. Dengan meningkatnya kesejahteraan. Rumah-rumah warga bisa direnovasi jadi berdinding dan berlantai. Orang bisa membeli kendaraan sendiri. Dan tak susah payah berjalan kaki lagi.”

Mendengar penjelasan Kamitua itu, Parjo merasa dirinya amat kecil. Ia yang tak sekolah, merasa tak cukup sampai membicarakan hal-hal besar semacam itu. Sementara Kamitua itu lega melihat lawan bicaranya membeku. Keraguannya sedikit berkurang.

“Bagaimana Jo? Kok diam saja.”

* * * * *

Parjo melesat dalam alam ingatan tentang masa kecilnya. Dimana saban sore ia melihat Kamitua itu pulang dari kota mengenakan seragam sekolah, kemudian selang beberapa waktu, ia mendengar kabar Kamitua itu menginjak bangku universitas. Tempat yang jauh di kota Y.

Dan sejauh Parjo remaja berpikir, ia menganggap kampus merupakan tempat orang-orang besar menimba ilmu, sama seperti penuturan ibunya ketika ia bertanya apa itu universitas. Meski bertaut hanya 12 tahun dari usia Parjo, bukan suatu hal yang mengejutkan seorang Kamitua disebut Abah. Sebab tradisi mengharuskannya demikian.

Suatu bentuk penghormatan terhadap seseorang dengan kemampuan, sikap, pengetahuan dan keputusannya mengelola sebuah desa dan segala yang hidup didalamnya. Parjo kagum.

Lantas tiba-tiba lembar ingatan berganti, Parjo melihat dirinya duduk sendirian di atas lincak bambu, pada puncak malam melarungkan puji-pujian kepada Sang Hyang Widhi. Sang Maha Satu.

Lama ia menatap dirinya sendiri, tiba-tiba detik jatuh dan memecah di atas telaga yang teramat tenang. Suara desir angin meliuk-liuk melewati rerimbunan pohon. Ranting-ranting bergoyang dan cahaya purnama silih berganti menyisir gulita. Lengang.

Parjo terseret dalam bingkai jagat yang mengalun lamban namun pasti. Dalam keharmonian semesta sunyi dan bunyi, ia memuji keagungan hidup. Ia adalah bagian dari alam. Dan alam pun bagian dari dirinya. Mereka lebur menjelma kidung malam yang melambungkan doa dan harapan ke langit tinggi.

Pada saat itu tirai tabir perlahan tersingkap, bahwa ke-ada-an alam dan manusia adalah keseimbangan yang mutlak. Keseimbangan itu menciptakan harmoni, keselarasan
dan kedamaian bagi manusia maupun alam. Kemudian ia tersadar. Tak cuma dari ingatan, namun juga menyadari kesadaran yang datang. Parjo menerima sasmita.

Lama ia memandang jagatnya, kemudian dengan senyum simpul ia memberi aba-aba untuk mengutarakan pesan.

“Bah, saya memang tak banyak mengerti soal program pemerintah itu. Cuma hutan tengah itu sejak dahulu sudah dijaga kesucianya. Saya kira Abah juga tahu, embah-embah saya lah juru kekuncen dari tempat itu. Dan sebentar lagi amanat itu akan jatuh ke saya.”

“Sudah sepatutnya, seorang juru kunci memberikan piweling. Kepada siapa pun yang mulai merusak hutan tengah itu. Bahwa “titi wanci” ternyata sudah tiba. Dan manusia akan hidup dalam kesusahan. Embah saya pernah berpesan, aja lali, alam iku sejatining guru. Dan meski telanjur, segalanya telah digariskan. Manusia hanya nerima ing pandum. Saya hanya mau mengingatkan Abah saja. Bah… Becik tan ketitik ala bakal e kethara.”

* * * * *

Kamitua terkejut, seketika tubuhnya terpaku dengan kalimat terakhir yang diucapkan Parjo. Matanya menatap Parjo dalam-dalam. Seakan ada rahasia yang terbongkar. Ia tak berkutik. Runtuhlah wibawa dalam dirinya. Perkataan Parjo seakan menjadi hakim bagi nurani Kamitua itu. Mengetok palu dalam sekali hentak ucapan kata. Ia telah bersalah.

Lantas dipandangnya seseorang lelaki kurus dihadapanya. Tampak tenang dan meneduhkan seperti biasa. Hanya kali ini ia datang dengan sebuah peringatan yang keras. sangat keras. Kemudian tangannya yang terasa berat itu meletakan rokok di tepian aspak. Ia berusaha menguasai keadaan.

“Jadi kamu sudah tahu, Jo?” Tanya kamitua itu dengan pandangan yang entah kemana. Tak berani menatap lawan bicaranya. Parjo menukas, “Bah, semua orang bakal ngunduh wohing pakarti. Kalau perbuatan baik akan berakibat baik. Kalau perbuatan buruk juga akan berakibat buruk.”

Parjo duduk dengan amat tenang. Ia sendiri tak tahu mengapa ia demikian. Ia seperti lepas mengutarakan itu semua, beban pikiranya serasa runtuh seketika. Dan ia masih tak tahu mengapa ia tampak tenang dan menguasai keadaan.

Sebetulnya sesaat sebelum datang ke rumah Kamitua itu, selepas dzikir Shalat Maghrib, Ia memohon kepada Gusti akan petunjuk jalan. Memohon agar segala kejadian yang mulai menimpa desa dapat dipahami dengan seterang-terangnya. Supaya dirinya dapat menemukan peran dalam jagat yang mulai berubah.

Barangkali Tuhan telah menjabah doaku, pikir parjo. Sebab sesaat sebelum ia benar-benar tersadar dari lamunan tentang dirinya sendiri itu.

Terlintas ia melihat, Kamitua sedang berkumpul dengan orang-orang berjas hitam dengan mobil Mercedes terparkir di depan rumah. Membicarakan perihal bagi hasil keuntungan pembangunan industri di hutan tengah.

Tepat di tempat yang Parjo duduki, sebuah koper berpindah tangan dari pemilik berjas hitam ke tangan Kamitua. Ia buka dan mengintip sedikit, memastikan sesuatu didalamnya serupa dengan keinginannya. Kemudian ia tertawa lepas sembari menjabat tangan beberapa orang berjas hitam.

Antara angan dan kenyataan tersebut, serupa dengan kejadian malam rahasia yang diam-diam si Parjo menguping pembicaraan. Hanya kali ini ia begitu terang melihat kejadian itu. Sebagai seorang lelaku ia mudah memaknai arti di balik penglihatan.
Maka barangkali karena itulah ia dapat berlaku sebegitu tenang menghadapi raut Kamitua yang mulai gelisah tak karuan.

Kamitua itu tiba-tiba beranjak, tangannya memberi semacam kode untuk menunggu sebentar. Menyibak gorden pintu menuju ruang tengah. Selang beberapa saat, ia kembali dengan sebuah amplop di tangan kiri.

Setelah duduk kembali, Kamitua meletakkan amplop putih itu di atas meja sedekat mungkin dengan Parjo. Parjo termangu, ia tak mengerti maksud orang yang dituakan itu.

“Silakan Jo dilihat dulu isinya.”

Lantas Parjo mengambil dan membukanya. Begitu terkejut ia mendapati lembaran Rp 100.000 dalam jumlah yang tak sedikit. Bola matanya seketika terbelalak. Memandang wajah Kamitua itu yang berhias senyum yang terpaksa. Sebuah makna tentang
kesepakatan dan kompromi untuk bungkam. Parjo tersentak.

“Bukan apa-apa, Jo. Saya cuma minta supaya kamu diam.”

Jauh dalam benak Parjo, ia tersenyum kecut. Harga dirinya sedang diinjak oleh orang yang begitu dihormati di desanya. Dadanya menyesak. Parjo tersinggung. Dan rautnya tak dapat membohongi ketersinggungan itu. Seketika amplop itu ia letakkan kembali ke meja. Dan menatap Kamitua itu dengan mata yang memerah.

“Bah, matur nuwun. Saya bukan bajingan.”

Kemudian Parjo beranjak. Meninggalkan kediaman Kamitua itu dalam amarah yang terpendam.

* * * * *

Sekitar pukul lima sore, ramai orang berduyun-duyun keluar dari gerbang pabrik. Orang-orang itu seperti kawanan bebek yang saling menerobos dan berdesakan ketika pagar bambu seketika dibuka. Hanya saja, orang-orang pabrik selalu keluar dengan raut yang kusut. Saling berhimpitan badan dan membuat nyengat keringat merebak di udara.

Namun mau bagaimana pun, mereka telah terbiasa dengan rutinitas hari semacam itu. Meski pada awalnya, mereka terasa sumpek dan tak betah hidup di bawah atap-atap berasap, tapi ketika pundi-pundi uang dapat membangun kembali rumah mereka, dengan dinding dan lantai marmer, juga membeli sebuah motor bebek. Hidup jadi lebih lengkap dan sempurna.

Selain itu, pipa-pipa mulai ditanam di bawah bahu jalan yang mulai beraspal, petugas-petugas dari kota silih berganti berdatangan, membawa truk-truk besar dan menciptakan hiruk pikuk baru di desa : Pembangunan.

Sementara sosialisasi pembangunan mulai digencarkan. Semua warga agaknya setuju, Kamitua adalah sosok dibalik kemajuan yang signifikan di desa mereka. Maka kediaman Kamitua yang sudah bertingkat dua itu ramai di kunjungi warga, ada yang sekadar sowan sampai ada juga yang ingin dekat dengan keluarga kaya itu.

Wajar saja, sebab pembangunan tak cuma menciptakan rumah berdinding dan lantai marmer, namun juga membawa sikap hidup kota yang dengan cepat dianut oleh warga. Dan di atas pentas besar pembangunan itu, Kamitua menjadi figur besar bagi masyarakat. Menjadi panutan anak-anak muda yang mulai membanting tulang demi angan tentang rumah megah, mobil dan segala aksesoris mewah.

Selepas orang-orang pabrik melepas lelah, petang terperangkap dalam alur waktu yang memaksa ia meredup ke ufuk barat. Siluet terakhirnya menguning di pucuk menara masjid berbentuk kubah, setelah gelap lengkap menyelimuti, suara adzan mulai mengumandang ke penjuru desa.

Disamping muadzin tersebut, Parjo bersimpuh tepat di depan mimbar khatib. Orang yang dituakan itu tanpa diminta seketika berdiri dan memimpin shalat. Walau suaranya yang pelan dan serak, orang-orang tetap memiliki kesan yang dalam
dengan Parjo.

Pembawaanya tak berubah, dengan jambang yang telah lebat dan memutih, ia selalu tenang dan meneduhkan. Setelah takbir terangkat, surat pembuka dibacakan, kemudian lantunan Qulhu berirama dalam kedamaian yang khusyuk terhadap sang pencipta.

Saat-saat hening di antara ayat, ruangan masjid digaungi sunyi, meruangkan lengang yang khidmat mengeja diri. Parjo menitikkan air mata. Dalam beberapa kesempatan, orang sering mendapati Parjo terisak selama memimpin shalat. Saat-saat seperti itu, mereka betul-betul dapat menggapai perasaan Parjo. Maka beberapa di antara mereka pun ikut lirih menahan isak tangis.

Sejak peristiwa lampau ketika ia tanpa pamit meninggalkan kediaman Kamitua itu, selama bertahun-tahun Parjo menepikan diri di hutan, tak ada yang tahu dimana Parjo tinggal. Hanya kadang kala ia menghampiri petani yang masih bertahan di ladang-ladang tepat di punggung pabrik.

* * * * *

Baru setelah beberapa bulan terakhir, ia kerap terlihat memimpin shalat di masjid tengah desa, selang beberapa rumah dari kediaman Kamitua. Parjo yang telah renta dikenal jarang sekali berbicara, ia lebih suka mendengarkan orang lain bercerita
ketika usai Shalat Maghrib. Hanya sepatah atau dua patah kata ia menimpali percakapan. Orang tahu saja Parjo memang demikian, sebab usia atau barangkali terlalu lama hidup di hutan.

Pada hari Jumat yang baik, diderap mesin pabrik, suara adzan memecah jam-jam sibuk kerja. Para buruh melepas mesin-mesin besar di hadapannya, beranjak membersihkan diri dan melangkah menuju masjid di tengah desa.

Entah karena matahari yang bersembunyi di balik awan-awan atau angin bukit yang menyisir permukiman. Siang itu tampak berbeda, cuaca tak panas juga tak mendung.

Dan suasana desa terasa lain, terlihat sepi dari biasanya. Orang-orang pun yang sebelumnya menggunakan motor ke masjid, hampir seluruh jamaah berjalan kaki. Meski begitu, orang menganggapnya wajar saja, apalagi suasana yang sejuk, membikin orang enggan memakai kendaraan.

Lantas seusai adzan berkumandang, orang-orang memenuhi seisi masjid, duduk dengan amat tenang dan menunggu khatib berdiri di mimbar. Seseorang dengan tubuh kurus berdiri tepat di depan mimbar, mengenakan pakaian putih dengan sarung bercorak batik kuno serta songkok di kepalanya. Jambangnya yang putih membuat orang mudah mengenalinya. Ya, Parjo melangkah perlahan ke mimbar.

Wajahnya tampak berkeriput, arah matanya kuyu memandang ke bawah. Setelah mukadimah dibacanya dengan suara yang serak, ia diam sejenak dan mengangkat pandanganya ke arah jamaah, lantas lambat laun nadanya berubah. Menjadi kian parau dan lemah. Jamaah terdepan yang menyadari itu segera berdiri menghampiri Parjo lantas berbisik pelan, “Mbah Jo, jangan dipaksakan.”

Namun Parjo tak menggubris dan tetap melanjutkan khotbahnya. Sebentar kemudian, jamaah tersebut sigap menangkap tubuh tua kurus itu yang terhuyung ke belakang. Parjo tak sadarkan diri. Dalam kegelapan itu ia masih sempat mendengar beberapa orang mengatakan untuk membawanya ke rumah megah di dekat masjid, rumah Kamitua.

Ruang tamu Kamitua itu telah jauh berbeda dari terakhir kali Parjo memasukinya, terdapat lampu raksasa serupa air mancur yang berkilauan di tengah ruangan. Lampu itu tergantung di atap paling atas dan menjuntai hingga ke lantai pertama. Mengisi penuh ruangan dengan pendar kuning yang tampak megah.

Sementara di dinding yang langsung menatap pintu depan, lukisan harimau yang sama seperti dahulu terpajang. Di bawahnya patung penari bali seakan menyambut setiap tamu yang datang. Menyita pandangan untuk mengeja setiap lekuk tubuhnya yang dipahat dengan sempurna.

Sementara itu, Parjo terbaring di kamar tamu, dengan beberapa jamaah yang masih menungguinya sedari tadi. Kamar yang luas itu, di tiap sisinya berhias tanaman buatan. Tepat disamping tempat tidur, terdapat meja cermin yang terbuat dari kayu jati dengan pola serat yang melingkar-lingkar.

Siapa pun yang memasukinya sudah pasti terbuai dengan segala kemewahan yang menyilap mata, tetapi tidak bagi Parjo yang mulai siuman. Setelah meminum air hangat, ia dibaringkan kembali. Kamitua yang sedari tadi menunggu di luar, setelah diberitahu Parjo telah siuman, segera menemuinya.

“Jo.” Panggil Kamitua

“Bah, maaf merepotkan.”

Parjo melihati Kamitua itu tampak segar dan terisi. Meski terpaut usia yang cukup jauh diatasnya, wajahnya tak jauh berbeda dari terakhir kali ia bertemu. Hanya rambutnya telah beruban dan keriput mulai menggantung di tiap sudut muka.

“Sudah, Jo. Kamu istirahat saja di sini, nanti biar anak-anak yang menunggui.”

“Terima kasih, Bah. Tapi sebaiknya saya pulang.”

“Sudah, Jo. Jangan memaksakan diri. Tidak baik.”

* * * * *

Dalam lubuk Kamitua itu, ia tetap segan terhadap Parjo. Setelah ia pergi ke hutan dan tak pernah kembali ke desa. Rasa bersalah kerap bersarang dalam hatinya. Namun apa daya, segalanya telah terjadi.

Dan ia tahu betul, apa yang selama ini ia nikmati merupakan hasil dari malam rahasia dengan beberapa orang berjas itu. Dan satu-satunya jalan adalah menepis ingatan tentangnya, bahkan melupakanya.

Hingga suatu saat ketika Parjo yang telah berjambang lebat dan memakai tongkat tiba-tiba datang dan memimpin Shalat Maghrib, ingatan lama merangkak kembali dari gua-gua yang telah tertimbun. Menagih pengakuan dalam nuraninya. Bahwa segala kehormatan dan kekayaan yang telah didapatkanya, tak lain dari hasil suap para pejabat dan pengusaha daerah.

Dahulu ia sadar hutan tengah itu adalah mata air besar yang mengairi beberapa desa hingga ke daerah luar kabupaten. Ia telah bersumpah untuk menjaga hutan tengah yang telah dikeramatkan dari generasi ke generasi itu. Sampai suatu saat ia didatangi pejabat dan pengusaha yang menawarkan kekayaan tujuh turunan dalam koper-koper yang disodorkan tepat dihadapanya, ia pun terlena.

Kemudian tak berselang lama datanglah si Parjo, memberi peringatan keras kepadanya. Jika hutan tengah telah lenyap, akan terjadi bencana besar di masa mendatang. Ah, Kamitua itu menghela napas mengingat kejadian itu. Kemudian ia termenung memandang Parjo yang terbaring lemah, ia tatap wajahnya yang tenang dalam-dalam, matanya memejam dan sesekali menghembuskan napas panjang. Parjo mulai tenggelam.

“Jo, Parjo.” Bisik Kamitua itu.

Parjo membuka matanya yang berat, ia segera memahami masanya telah tiba, maka ia menyadari bahwa mata air juga akan turut menghilang. Lantas ia menatap Kamitua itu.

“Bah, sejatinya kekuncen tak akan pernah putus. Ia hidup dari generasi ke generasi.”

Suaranya melemah diiringi napas yang kian memberat.

“Apabila kekuncen telah terputus. Itu merupakan pertanda. Mata air telah berhenti mengalir dan jagat akan berubah.”

“Bah, sebagai kekuncen yang terakhir, saya berpesan kepada seluruh warga untuk tetep eling lan waspada.”

Dan Parjo pun terhenti pada detik terakhir tarikan napas. Semua yang hadir di ruangan itu berduka, juga Kamitua yang masih dibayangi sesal masa silam.

Parjo yang sudah tua dan tak punya siapa-siapa, terasa mudah dilupakan oleh penduduk desa. Meski pada saat-saat tertentu, beberapa orang mengingatnya kembali dalam bingkai kenangan tentang keteduhan dan kesederhanaan yang mulai jarang dijumpai.

Memang dalam derap langkah pekerja pabrik, orang tak lagi mengenal kamus masa lalu. Berderet kejadian besar cepat menyebar dan menjadi topik santer di penjuru desa, namun juga cepat berlalu dan dilupakan orang. Sebab di bawah jejak kaki mereka yang selalu tergesa-gesa, kenangan tak banyak hadir di sela-sela langkah.

* * * * *

Kemajuan pesat di desa juga membawa serta nilai dan prinsip masyarakat yang harus maju ke depan. Tak peduli kemana arahnya. Hidup harus selalu maju, mengikut pembangunan. Selama pabrik masih berdiri dan pemerintah senang dengan laju pertumbuhan, semua orang ikut berbahagia.

Orang tak benar-benar punya kekhawatiran tentang apa pun selain seragam pabrik mereka yang belum kering karena hujan atau izin kerja yang melampui tenggat waktu karena demam yang tak kunjung mereda. Atau yang lebih buruknya lagi, tentang kebijakan pengurangan pegawai.

Lain dengan warga, setelah beberapa bulan lamanya, Kamitua masih dihinggapi perasaan gelisah selepas kepergian Parjo. Ia jadi lebih banyak menghabiskan waktu di balkon lantai dua dan memandang hamparan rumah yang memadat. Apalagi setelah
mengetahui bahwa mata air yang berhenti mengalir tak hanya di desanya, namun juga beberapa desa lainnya. Membuat ia jadi tak banyak bicara dan suka menyendiri.

Sebagai orang yang dekat dengan pemerintah daerah, sebenarnya ia sudah lama mengantisipasi hal ini terjadi. Dan sebetulnya aliran air di desa tak pernah benar- benar putus. Mata air yang telah mengering, telah dialihkan dari pipa-pipa kota yang panjangnya tak main-main.

Dengan begitu, kebutuhan air tetap terpenuhi, meski masyarakat harus dibebani tagihan harga yang mencekik leher. Sebab air yang dahulu gratis dan milik mereka, kini harus dibeli dengan harga yang mahal.

Lama-lama Kamitua itu memandangi rumah-rumah dan awan yang lamban bergerak ke selatan, dadanya tiba-tiba terasa sesak, seperti dihujani rentetan peluru tetapi tak kunjung menjemput ajal. Ia tersiksa dalam rasa sesal. Tentang Parjo, hutan
tengah dan jagat yang telah berubah. Ia teringat ketika dahulu mengatakan kepada Parjo bahwa segalanya pasti berubah, dan perubahan itu suatu keniscayaan.

Ah, kini perubahan itu telah meninggalkannya sendirian dalam ingatan masa silam, ketika hutan masih terhampar di perbukitan, burung warna warni lintang pukang di atas langit desa dan air jernih yang mengarus di sepanjang kaki bukit, menciptakan suara ketenangan alam di malam sunyi.

Kini hutan di punggung bukit itu mulai mengering, burung warna warni tiba-tiba lenyap dan menyisakan sekumpulan burung gereja yang memenuhi genting dan kabel-kabel listrik, sementara malam adalah kesepian yang sesungguhnya, kesepian dari jiwa seorang Kamitua yang merindukan gemericik alam dan masa kecilnya.

Lama ia jatuh dalam perenungan, makin membuatnya menyadari. Bahwa segala yang ia lakukan untuk mengairi desa dari kota bukanlah untuk mengatasi bencana, namun hanya menahannya. Sebab pada akhirnya bencana itu tetap akan datang, ketika hutan
sudah benar-benar hilang dan mata air telah sepenuhnya mengering, karena air kota pun dipasok dari sepanjang garis perbukitan yang mengelilinginya.

Sedang perusahaan kian merambah jauh di kaki-kaki bukit. Membentangkan kumpulan asap yang tampak dari balkon lantai dua rumah Kamitua. Atau sebetulnya bencana itu sudah datang, ketika manusia dijerat oleh nominal-nominal uang untuk membeli tanah, air dan hasil hutan dengan harga tinggi.

* * * * *

Keringat penduduk desa diperas setiap hari dalam gerigi roda mesin pabrik, dan hasil dari keringat itu mereka gunakan untuk membeli alam yang dahulu milik mereka sendiri. Manusia lama-lama melukis takdir dengan cara yang amat ironi, kemudian menyalahkan Tuhan atas segala kemalangan yang terjadi.

Lalu Kamitua itu seketika tersadar, bahwa selama ini dirinyalah yang telah menjual air, tanah dan hutan kepada orang-orang kota.

Ia lunglai tak berdaya. Lantas perlahan-lahan ia memahami, bahwa bencana sejatinya bukan kejadian alam yang membuat manusia menderita, bukan gunung-gunung meletus atau gempa bumi, sebab kejadian tersebut merupakan proses alam untuk menciptakan keseimbangan dan keselarasan, bahkan manfaat besar bagi manusia. Tetapi bencana merupakan hasil dari tangan-tangan mereka sendiri yang telah melenyapkan alam di atas janji dan jabat tangan. Mematikan sumber utama bagi kehidupan : Air.

Mata air kini tak lagi mengalir di desa Kamitua dan beberapa desa lainnya. Begitu kemarau panjang tiba, sebagian hutan mengering dan mulai tersiar kabar kobaran api membumihanguskan sebagian punggung bukit di daerah selatan. Sementara di desa
Kamitua, lahan-lahan pertanian mulai ditinggalkan akibat paceklik, para petani muda yang tak kerja di pabrik mulai mencari peruntungan di perantauan.

Beberapa pekan berselang, beberapa helikopter lalu lalang di langit desa, menghujani kobaran api yang melahap hutan terakhir. Kamitua yang telah senja pun tak lagi mampu mengangkat badannya dari kursi reot di balkon lantai dua. Ia hanya dapat melihat asap kebakaran membumbung tinggi dan menyelimuti seluruh penjuru langit.

Kamitua itu menitikkan air mata. Ia tak menyangka, diujung hayat hidup menjadi begitu suram, seakan-akan alam menuding dirinya sebagai biang kehancuran. Walau pada kenyataanya, Kamitua itu tetap pahlawan bagi masyarakat, tak berkurang sedikitpun kewibawaanya sebagai seorang Kamitua.

Apalagi ketika musim kekeringan tiba, desanya mampu bertahan dengan pasokan air dari kota, membuat ia dihujani pujian dari seantero kabupaten. Langkahnya pun mulai diikuti beberapa kepala desa lainnya.

Namun tidak bagi dirinya sendiri, segala kemewahan tak lagi mampu mengembalikanya pada kenangan masa kecil. Ketika gemericik air mengalir dari sela-sela perbukitan, turun menuju kaki bukit kemudian mengairi puluhan petak sawah dan pedesaan.

Sesaat sebelum segalanya memudar, dipandangnya dalam angan untuk terakhir kali, tentang Parjo, hutan tengah dan jagat yang telah berubah.

Catur Pramudito Damarjati, Mahasiswa Fiskom UKSW Salatiga