Oleh: Amir Machmud NS
QATAR 2022, bagi Brazil adalah ekspresi rasa yang kontras. Baru saja mereka menari-nari riang merayakan kemenangan atas Korea Selatan di fase 16 besar. Selang tiga hari kemudian, ruang ganti pemain menjadi lembah air mata.
Potret seperti ini mewarnai penampilan Selecao di sejumlah Piala Dunia, kecuali ketika berjaya pada 1958, 1962, 1970, 1994, dan 2002.
Dalam wajah budaya sepak bola, boleh jadi Pasukan Samba mewakili ingar bingar karnaval yang — rupanya — rentan petaka. Bukankah realitasnya, dalam wajah permainan sepak bola, Brazil adalah pesona yang tak jarang merana sedalam-dalamnya?
Apa yang kita simpulkan dari Brazil 1978, 1982, 1986, 1998, 2014, dan 2018? Dan, kini bahkan mereka seperti menggarami luka di tengah buncah kegempitaan yang semula dibayangkan tak tertahan, ruap keyakinan yang bagai tak tersentuh oleh kenyataan.
Brazil datang ke Qatar sebagai tim mewah racikan Abdenor Leonardo Bacchi alias Tite. Mereka sekumpulan pesepak bola pilihan yang tak sembarang negara memiliki; para penari yang dalam budaya karnaval sulit untuk tidak “intrance” dalam riuh rendah genderang Samba.
Para artis bola Brazil tak hanya mahir mengelola si kulit bundar dan mengombinasikannya dengan tradisi keindahan gerak, yang tak henti menyetiai filosofi jogo bonito. Mereka sigap bersikap, “Menang dengan cara tidak indah, apalah artinya?”.
Apakah hanya persoalan “musim” atau siklus yang membuat Brazil lagi-lagi diterpa “penderitaan sepak bola” dalam Piala Dunia kali ini?
Sungguh, kawan. Cobalah kaurasakan di ujung laga perempat final itu: betapa Neymar Junior dkk diselimuti nestapa di balik sukacita Kroasia.
Tak kaubayangkankah: mendominasi pertandingan, tetapi “kesaktian” Dominik Livakovic mereduksi semua bentuk ikhtiar eksekusi Richarlison dkk. Dia menjadi pementah semua rasa. Pori-pori kulitnya mengendus, mendeteksi semua arah tendangan Neymar, Casemiro, Paqueta, Richarlison, Raphinha, Vinicus Junior, Rodrygo, dan semua penari Brazil.
Kebahagiaan Bersepak Bola
Tite sang arsitek adalah titik waktu bagi Selecao, yang seperti “berubah-ubah” aura dalam menyikapi filosofi. Dialah yang oleh Cesar Luis Menotti, empat tahun silam, sempat dipuji memberi keleluasaan bagi kembalinya ekspresi naluri kebahagiaan bersepak bola.
Dalam buku Sepotong Mimpi dari Rusia (2018) saya menulis, Menotti menyebut Tite menerapkan cara bertahan yang berbeda, dengan mengorganisasinya secara kolektif. Dengan memberi keleluasaan kepada para pemain untuk berekspresi, apakah itu berarti tutup buku bagi perdebatan tentang urgensi sepak bola indah jogo bonito?
Tim nasional Negeri Samba, terutama menjelang Piala Dunia, nyaris selalu diantar dengan perdebatan: bagaimana seharusnya Brazil bermain?
Harus berindah-indah karena itu mengalir sebagai kultur dan “ideologi”, atau memilih pragmatis demi pemenangan trofi?
Brazil punya sederet tokoh yang memihak jogo bonito: dari Mario Zagallo, Tele Santana, Claudio Coutinho, Carlos Alberto Parreira, lalu kini Tite.
Mereka berbeda filosofi dari Sebastiao Lazaroni, atau Carlos Dunga. Luis Felipe Scolari memilih moderat dengan akar pragmatis, dan nyatanya dia mampu mengantar Ronaldo Luis Nazario dkk juara pada 2002.
Scolari tegas menyatakan, jogo bonito telah mati. Namun nyatanya, dengan artis-artis Samba seperti Ronaldo, Ronaldinho, Rivaldo, Cafu, Kleberson, dan Kaka, Big Phil tak mampu “membunuh” sepak bola indah. Tim karyanya tetaplah elok, karena naluri “futebolarte” yang bermakna pembebasan. Sepak bola, di negeri penghasil kopi terbesar di dunia itu, adalah jalan pembebasan dari ketertekanan sosial – politik – ekonomi.
Bagaimana mungkin mengikat para aktor sepak bola Samba yang dijiwai kultur jeitinho?
Jeitinho adalah budaya yang membentuk naluri orang Brazil dalam memperjuangkan survivalitas. Ketika menghadapi kondisi tak terduga, sulit, atau pelik, mereka dituntut kreatif, inovatif, imajinatif, dan fleksibel. Atau yang digambarkan oleh legenda Socrates, “Kami tidak pernah tahu apa yang akan kami lakukan 15 menit ke depan…”
Cara berpikir itukah yang melahirkan sejumlah genius dengan imajinasi petualangannya?
Tele Santana mengkreasi Tim Samba yang cantik “merak ati” pada 1982 dan 1986, walaupun tim itu gagal memuncaki Piala Dunia. Media banyak menyebut Santana sebagai “romantik terakhir dalam sepak bola nasional Brazil”.
Tite, Kurang Apa?
Lalu, kurang apakah Tite? Tak cukupkah kemewahan yang dia dapatkan dengan pasukan yang sarat pemain “sakti” dan “seni”?
Faktanya, kesaktian Neymar dkk luruh di hadapan Dominik Livakovic, dan keindahan Brazil terhenti di 8 besar, persis tragedi 1986 yang juga kalah dalam drama penalti.
Adu penalti membuat Selecao merana dalam magnet pesona, justru pada saat orang-orang masih meyakini Brazil sebagai pusat segalanya dalam sepak bola.
Kali ini, Pasukan Samba harus mengemas mimpi menjadi juara kali keenam. Bagaimanapun, ada catatan yang mereka tinggalkan. Semuram apa pun, sepedih apa pun…
— Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id, kolumnis sepak bola, dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah —