blank

Oleh : Fahrudin

Pengantar

Dalam buku  Het Hoge Huis aan de Javazee : de geschiedenis van een zeeroverseiland (Rumah Tinggi di Laut Jawa : Sejarah sebuah Pulau Bajak Laut), karya Joop van den Berg yang diterbitkan BZZToH, ‘s-Gravenhage, 1991, dan   disarikan oleh Daniel Frits Maurits Tangkilisan, Karimunjawa pada tahun 1810 bernama Crimon Jawa dan saat itu  dikenal sebagai pulau bajak laut.

Pada tahun 1818 Carel Rudolph von Michalofski telah berdiam di Japara dan  bekerja dikantor residen. Pada tanggal 15 Mei 1818 ia ditunjuk atasannya Mr. J.A. Doornik, Residen Japara sebagai asisten-residen di Crimon Jawa

Bajak laut ini bagaikan kutukan, bukan cuma bagi kapal-kapal pemerintah, kapal-kapal dagang Eropa, dan Amerika tetapi juga kapal milik penduduk Nusantara. Akibatnya perdagangan, kriya dan bahkan pertanian terhambat karena lalu-lintas laut dikuasai oleh para bajak laut.  Pada 1810  kondisi ini tidak bisa dikendalikan lagi. Sepertinya tidak ada lagi kapal yang bisa melayari laut Nusantara dengan aman.

Karena itu saat pendudukan Inggris di Nusantara (1811-1815) Sir Thomas Stamford Raffles mengambil tindakan untuk menghabiskan bajak laut di Crimon Jawa telah lama terkenal sebagai sarang bajak laut.  Pada tahun  1812, angkatan laut Inggris dengan 4 kapal fregat menghancurkan dan menghalau semua armada bajak laut di Crimon Jawa. Lalu ditempatkan seorang pejabat yang mewakili pemerintah pusat di  Batavia guna mencegah kembalinya bajak laut. Ia diperlengkapi dengan beberapa lusin prajurit,  30 senapan, beberapa meriam kecil dan tiga kruisprauw.

Memang sebelum orang Eropa mengarungi laut Nusantara, bajak laut sudah ada. Namun sejak kedatangan orang Eropa, jumlahnya menjadi meningkat secara drastis. Sebab kekerasan, penekanan dan kontrak dagang  VOC dengan raja-raja Nusantara juga menimbulkan kemiskinan gara-gara kewajiban-kewajiban yang dibebankan oleh VOC dan pemerintah Hindia-Belanda sendiri kepada rakyat.

Karena itu setelah pemerintah Hindia Belanda berkuasa kembali  mengangkat Carel Rudolph von Michalofski sebagai assistent-resident atau posthouder di Crimon Jawa. Tugas pertama bangsawan Prusia (sekarang  Jerman)  berdarah Polandia ini adalah mengusir  bajak laut yang kembali ke kepulauan tersebut. Setelah itu bersama 1100 orang hukuman yang dibuang dari Pulau Jawa ia membangun  Crimon Jawa. Para tahanan ini disamping untuk mengisi Crimon Jawa juga  dipekerjakan secara paksa untuk mendirikan pos atau pemukiman dibatas hutan belantara disisi-sisi gunung Paserehan dan di tanjung rawa-rawa diujung selatan pulau Crimon Jawa. Sebuah proyek yang mengundang bencana.

Dihutan belantara disisi gunung Paserehan yang ia coba babat penuh ular-ular berbisa. Sementara dalam rawa-rawa yang menutupi tanjung dipenuhi nyamuk malaria. Dalam waktu yang sangat singkat ratusan pekerja paksa tewas digigit ular atau terkena demam malaria sehingga tidak mampu lagi bekerja.  Namun Residen Japara tetap mengirimkan orang-orang buangan untuk membangun Crimon Jawa.

Para narapidana yang dibuang ke Crimon Jawa untuk menjalani hukuman kerja paksa itu mendapat makanan dan pakaian dari pemerintah. Mereka wajib bekerja selama 8 jam perhari jika sang asisten residen atau pegawainya membutuhkannya. Sebagai imbalan, mereka mendapatkan 2 gulden perbulan (perempuan mendapat 1 gulden), 40 pon beras dan 2 pon garam.

Dua kali setahun mereka mendapat sepotong kerudung biru, hem dan celana berbahan sama serta sarung kotak-kotak. Merekalah yang membuat pulau utama KarimunJawa sejahtera dan teratur. Pada tahun 1826 Karimunjawa  telah  didiami hanya oleh orang bebas. Pada tahun 1827 hasil sensus penduduk Karimunjawa 283 jiwa yang terdiri dari  160 laki-laki dan 123 perempuan.

Dongeng romantis

Sementara catatan kami warga daratan tentang Karimunjawa sebelum tahun 1976 adalah wilayah kepulauan nan eksotis, bagian dari wilayah administratif Kecamatan Mlonggo. Sementara para penjelajah samudra Karimunjawa adalah wilayah strategis, semacam beranda ketika orang mau memasuki wilayah Jawa.

Namun kawasan ini pada tahun 70 an – 90 an menjadi momok bagi para pegawai negeri yang “nakal”. Karimunjawa kala itu dikenal menjadi semacam tempat pembuangan bagi mereka.

Dongeng romantis Karimunjawa dengan eksotisme alam dan kekayaan lautnya kini juga diperhadapkan pada para pembangkang dan pelanggar hukum. Panorama laut, sawah, rawa rawa, kekayaan ikan, kerang, rumput laut, sawah, bukit bukit nan indah.

Cerita anak anak sekolah di sana, setiap lonceng istirahat bendentang mereka berhamburan ke pantai untuk memancing. Begitu juga ketika bel pulang berbunyi lagi, mereka meneruskan memancing.

Baru kemudian mereka pulang dengan serenteng ikan di tangan untuk lauk makan hari itu. Terumbu karang di sana juga sangat indah. Pernah terdengar kabar di tahun tahun itu terumbu karang Karimunjawa tak kalah dengan Bunaken, bahkan lebih kaya jenisnya.

Sampailah awal tahun 90 an. Banyak pengusaha mebel dari manca negera yang tinggal di Jepara. Kecantikan mooi indie Karimunjawa tak bisa disembunyikan lagi. Surga itu seperti ditemukan kembali para pedagang asing itu. Karimunjawa ditata kembali menjadi destinasi wisata. Dan berpotensi memberi keuntungan secara ekonomi.

Pemerintah daerah akhirnya mau tak mau ikut mengambil bagian dalam hal itu. Meski selalu terlambat dan setengah hati. Aturan main yang seharusnya dirancang sungguh sungguh oleh para petinggi Jepara dengan menitikberatkan kepentingan masyarakat juga terasa  kurang padu.

Visi besar  Karimunjawa sebagai destinasi wisata alam dengan banyak sekali agenda pemerintah provinsi maupun pusat yang dirancang tak sepenuhnya berjalan mulus. Tumpang tindih aturan dan konflik kepentingan hingga tak bisa memaksimalkan potensi Karimunjawa. Penatapan Karimunjawa sebagai Kawasan Srategis Pariwisata Nasional dan menjamurnya tambak udah ilegal adalah bukti.

Suatu saat terdengar kabar ada yang  menjual pulau pulau kecil kepada orang asing. Sampai akhirnya berita itu hilang terbawa angin. Investor pariwisata mulai berdatangan membuka hotel, resort, kafe, warung dan sebagainya.

Meski semua belum terencana dan terlaksana dengan baik tetapi sudah memberi dampak ekonomi yang oleh masyarakat setempat dirasakan baik. Tanah tanah di sana menjadi incaran para investor. Investor bermain dengan para makelar tanah  hingga sebagian tanah yang memiliki view laut kini telah beralih kepemilikan. Juga banyak fasilitas periwisata yang dikuasai oleh orang luar Karimunjawa. Bahkan orang asing.

Eksploitasi yang membuat luka

Dalam pada itu ternyata ada ekploitatif yang lebih vulgar,  telanjang yang telah menimbulkan luka. Tambak udang intensif dibangun oleh beberapa orang. Di era pandemi mereka sudah mengeruk banyak keuntungan. Nafsu eksplotatif semakin tak terkendali. Tambak udang masif dibangun dengan merusak alam untuk bangunan tambaknya dan merusak air laut dengan limbah beracun dibuang setiap detik.

Masyarakat menjerit dan tak mampu berbuat apa apa. Tambak tambak tanpa ijin bisa terus beroperasi dan menambah luasannya. Hampir 40 ha telah dibuka, dan sedang mau dibuka lagi kira kira dengan luasan yang sama.

Pemerintah Kabupaten Jepara dalam hal ini Sekda Jepara selaku  Ketua Tim Koordinasi Penataan Ruang Daerah juga pernah digugat lewat jalur hukum PTUN  oleh petambak. Sebab tim yang dipimpin Sekda Edy Sujatmiko tidak menerbitkan Informasi Tata Ruang yang diajukan oleh petambak. Salah satu alasan mengapa tm tidak menerbitkan permohonan ITR adalah sebagai langkah untuk pengendalian tambak intensif di Karimunjawa yang berpotensi merusak lingkungan terumbu karang  karena terjadinya pencemaran yang edisebabkan limbah pembuangan tambak.

Ditingkat PTUN TKPRD   menang, tetapi kalah ditingkat banding dan kasasi. Sebab  Sekda selaku ketua tim dianggap oleh majelishakim   melampaui kewenangannya. Padahal Sekda selaku ketua tim TKPRD memiliki kewenangan yang dijamin oleh peraturan  yang ada. Menurut  majelis hakim, terkait dengan tata ruang merupakan kewenangan atribut bupati.  Dalam persoalan ini ada perbedaan persepsi i antara Sekda dan Bupati Jepara saat itu,  hingga tidak padu dalam menghadapi pelanggar hukum.

Pengusaha tambak semakin merasa di atas angin. Hukum adalah sesuatu yang bisa dibeli. Perjuangan Pemda mereda hingga kini tambak ilegal nampak semakin tidak terbendung. Bahkan konon kabarnya belum lama ini  ada “bintang” yang ikut bermain di bisnis  tambak udang Karimunjawa.

Menunggu dongeng yang lebih baik

Kini masyarakat Karimunjawa yang bersandingan dengan tambak mulai merasakan dampaknya. Utamanya mereka yang mencoba  mengembangkan usaha wisata.  Begitu juga para nelayan, dan  pembudidaya rumput laut menjadi semakin  terpuruk.

Diantara carut marut dunia pariwisata yang belum maksimal tertata, hari ini tambak udang di  Karimunjawa menjadi sumber penderitaan bagi hampir seluruh masyarakat Karimunjawa. Sementara pemodal tambak, banyak berasal dari luar Jepara. Para pekerja dan  para pemilik tanah yang disewa tidak juga sadar, sebenarnya mereka sedang melukai badannya sendiri. Bahkan menghancurkan masa depan anak cucunya.

Kita sedang menunggu dongeng dan cerita yang lebih baik.  Penutupan Tambak Udang di Karimunjawa. Entah kapan. Sangat tergantung pada komitmen para petinggi Jepara dalam menjaga kelestarian alam yang menjadi kekuatan utama Karimunjawa kini, nanti dan berabad mendatang. Atau berdalih demi kondusifitas, dan mengabaikan alam yang semain sering menembangkan deritanya.  Pemerintah seharusnya  tidak membiarkan para petambak ilegal merampas dan membajak hak-hak warga untuk menikmati alam lestari untuk generasi masa kini dan  berabad nanti. Tidak seharusnya para petambak ilegal  meniru sikap para bajak laut yang merampas masa depan  dan hak-hak  warga.

Penulis adalah seorang budayawan yang tinggal di Jepara dan akrab  disapa De Brodin