blank
Warga masyarakat Desa Pidekso, Kecamatan Giriwoyo, Kabupaten Wonogiri, berkumpul membawa serta sesaji kenduri ke rumah Sekdes, untuk melaksanakan Ruwat Gumbregan bersama.(Ist.SB/Bambang Pur)

WONOGIRI (SUARABARU.ID) – Pada lazimnya, di jagad pakeliran wayang kulit, ritual ruwatan mengambil Lakon Murwakala. Tapi ruwatan yang digelar masyarakat Desa Pidekso, Kecamatan Giriwoyo, Kabupaten Wonogiri, Kamis malam (1/12), mengambil Lakon Gumbreg.

Kabid Kebudayaan Dinas Pendidikan Kebudayaan (Dikbud) Kabupaten Wonogiri, Eko Sunarsono SSn, mengatakan, ritual Ruwat Gumbregan pertamakalinya digelar di Desa Pidekso. Eko yang seniman dalang dan juga pengrawit, mengatakan, ini erat kaitannya dengan Wuku Gumbreg, yang oleh kaum tani dipilih sebagai waktu baik untuk memohonkan anugerah keselamatan bagi hewan piaraannya.

Dalam Pawukon Penanggalan Jawa ada 30 wuku. Setiap wuku memiliki masa rentang waktu sepekan. Salah satu diantaranya adalah Wuku Gumbreg, yang siklusnya berlangsung Minggu Pahing (27/12) sampai Sabtu Pon (3/12) besok.

Ruwatan Gumbregan digelar di rumah Sekretaris Desa (Sekdes) Pidekso, Dwiyanto. Masyarakat berdatangan membawa sesaji kenduri, untuk dijadikan sarana berdoa memohon anugerah kepada Gusti Murbeng Dumadi (Tuhan Maha Kuasa).

”Biasanya kenduri Gumbregan dilaksanakan di masing-masing rumah warga, dan baru untuk pertamakalinya sekarang ini digelar bersama di rumah Pak Sekdes,” jelas Budayawan Jawa Eko Sunarsono.

Lauk yang menjadi pelengkap nasi sesaji kenduri, pantang memakai segala daging ternak. Diganti menggunakan lauk ikan tangkapan dari kali, sungai, kolam atau laut. Pada hari H digelarnya Ritual Gumbregan, warga menghindari menyembelih sapi, kerbau, kambing, domba dan juga ayam.

Usai kenduri, sesaji selamatan Gumbregan kemudian dibagi untuk dimakan bersama. Setelah sebelumnya, pada masing-masing leher hewan piaraan dikalungi ketupat.

Wisata Budaya

Malam itu, dipentaskan wayang kulit Lakon Ruwat Gumbreg, dimainkan Dalang Senior Ki Suyati dari Eromoko, Wonogiri, didampingi seniwati Waranggana Nyi Woro Widowati.

blank
Sekdes Pidekso, Dwiyanto, memimpin penyampaian ikrar dilangsungkannya ritual Ruwat Gumbregan. Sebelum kemudian dirangkai pementasan wayang kulit ruwatan Lakon Gumbreg. (Ist.SB/Bambang Pur)

Eko Sunarsono, mengatakan, Gumbregan di Pidekso sekaligus untuk penjajagan terhadap kemungkinannya diangkat sebagai event wisata budaya dalam mendukung pengembangan wisata Waduk Pidekso. Waduk yang dibangun di aliran Sungai Bengawan Solo hulu itu, 3 tahun lalu diresmikan Presiden Jokowi.

Harapannya, Ritual Gumbregan di Pidekso, dapat dijadikan event wisata budaya seperti Kirab dan Jamasan Pusaka Mangkunegara serta Ruwatan massal Bulan Sura, yang digelar tahunan di objek wisata Waduk Gajahmungkur Wonogiri.

Budayawan Jawa peraih anugerah Bintang Budaya yang juga Abdi Dalem Keraton Surakarta, KRAT Drs Pranoto Adiningrat MM, mengatakan, Gumbregan menjadi salah satu tradisi kaum agraris Jawa.

Dalam Buku Bauwarna Adat Tata Cara (Karya Drs R Harmanto Bratasiswara), setiap datang Wuku Gumbreg, petani menggelar kenduri selamatan. Juga membuat kupat untuk dikalungkan pada leher sapi, kerbau, domba, kambing yang dipelihara.

Hewan piaraan ini, populer disebut sebagai Rajakaya. Kepemilikan Rajakaya yang ndrebala (beranak-pinak) menjadi banyak, ikut menjadi simbol prestise petani mampu. Gumbregan menjadi ritual ikhtiar secara spiritual, agar Rajakaya sehat saat dipelihara atau ketika dipakai untuk membajak sawah.

Dalam pemahaman Kejawen, ritual ruwat menjadi salah satu upaya untuk membuang sukerta atau aura sebel sial. Menjadi sarana membebaskan lilitan aura negatif dan gangguan gaib, agar mendapatkan anugerah keselamatan, kesehatan, ketenteraman, kedamaian, kebahagiaan dan kesuksesan.

Bambang Pur