blank
Prof. Dr. Ir. R. Siti Rukayah MT dan Prof Dr. Ing. Ir Gagoek serta rombongan saat berada di situs Sumur Watu ( Foto: DPUPR)

JEPARA (SUARABARU.ID) – Ada yang menarik ketika mengunjungi Desa Tempur, Kecamatan Keling bersama Prof. Dr. Ir. R. Siti Rukayah MT ( Pakar Sejarah Urban Undip ) dan Prof Dr. Ing. Ir Gagoek ( Pakar Building Science Undip), Kamis (17/11-2022). Ikut dalam kunjungan tersebut Kabid Cipta Karya DPUPR, Hanif Kurniawan.

Kedua pakar arsitektur dari Universitas Diponegro ini menyebut Tempur sebagai desa yang eksotis dan memiliki prospek sebagai daerah tujuan wisata pegunungan jika dapat dikelola dengan baik dan benar. “Tidak banyak daerah yang memiliki potensi seperti ini,” ujar Prof. Dr. Ir. R. Siti Rukayah MT. Karena itu harus disusun perencanaan yang matang untuk mengembangkannya, tambahnya saat ngobrol di Cafe Kebon yang menurutnya konsep arsitekturnya  sangat tepat.

blank
Prof. Dr. Ir. R. Siti Rukayah MT ( Pakar Sejarah Urban Undip ) dan Prof Dr. Ing. Ir Gagoek (Foto: Hadepe)

Secara topografis, Desa Tempur  dibagi dalam dua wilayah, yaitu wilayah  dataran tinggi yang melingkari desa. Ini terdiri dari tebing gunung yang  membentuk pegunungan serta  wilayah daratan rendah di bagian tengah yang merupakan bagian bekas kawah purba Gunung Muria. Bekas kaldera inilah yang kini menjadi tempat pemukiman.

Desa yang memiliki luas 2.416,500 ha ini  dikelilingi 7 gunung yaitu  gunung Tumpuk,  Tremulus,   Palu Ombo, Sapto Argo,   Candi Angin,   Gajah Mungkur dan gunung Tugel. Desa Tempur memiliki variasi ketinggian antara 850 m sampai dengan 1.700 m dari permukaan laut. Juga ada sungai Gelis yang  bersumber dari Kali Jambu, Kali Watu Tatar, Kali Trembelang, Kali Pondok Ruyung, Kali Duplak, Kali Gondang , Kali Kadalan dan Kali Ruyung membuat air sungai ini mengalir sepanjang tahun. Tentu menambah eksotika kawasan ini. Konon nama desa  Tempur berasal dari nama Tempuran, tempat bertemunya Kali Gelis dan Kali Pondok Ruyung.

Belum lagi keberadaan situs Candi Angin yang berada pada ketinggian 1420 meter dpal dan Candi Bubrah yang berada pada ketinggian 1317 meter dpal. Dari tempat itu pengunjung dapat  menikmati pemandangan landskap Muria dengan beberapa puncaknya seperti Puncak Saron, Puncak Kukusan, Puncak Sapta Argo, dan Puncak Rahtawu.

“Karena  itu perjalanan  menuju  dan kembali dari desa ini sangat indah dan alami. Juga perjalanan antar padukuhan dan juga obyek wisata,”  ujar  Prof Dr. Ing. Ir Gagoek yang lebih suka dipanggil Mbah Gagoek. Apa yang bisa dilihat di jalan oleh para wisatawan ini sangat penting untuk dijaga, tambahnya.

Salah satu hal penting lainnya menurut Mbah Gagoek adalah mempertahankan dan bahkan mengembangkan kebersihan, keindahan dan kerapian wilayah. “Ini tidak mudah karena budaya masyarakat, baik pengunjung maupun warga setempat belum terbangun,” ujarnya. Akibatnya sampah menjadi persoalan serius. Karena itu harus dilakukan penguatan budaya serta ada  petugas khusus yang memang bertugas menjaga kebersihan desa.

Kuliner juga dapat menjadi kekuatan jika dikelola dengan baik. “Konsep makanan tradisional yang berasal dari potensi lokal akan menambah  daya tarik desa ini dari pada resep- resep modern,” tambah  Mbah Gagoek.

Sementara Prof. Dr. Ir. R. Siti Rukayah MT menyarankan agar karakter lokal yang menjadi keunggulan Desa Tempur tidak dengan serta merta diubah dengan bangunan-bangunan modern yang kemudian menghilangkan keindahan alami yang dimiliki oleh wilayah ini. “View keindahan alam jangan sampai ditutup dengan bangunan-bangunan,”  ujarnya.

Kalau saja situs sejarah Candi Angin dan Candi Bubrah dapat diperbaiki kembali tentu akan menjadi daya tarik wisatawan yang luar biasa. “Termasuk akses menuju kawasan tersebut,” tuturnya.

Hadepe