blank
Khoirul Muslimin, M.I.Kom.

Oleh: Khoirul Muslimin, M.I.Kom.

JEPARA (SUARABARU.ID)- Independensi media tak pernah habis dikunyah-kunyah. Pencemaran para pengamat media dan organisasi-organisasi profesi kewartawanan seperti tak mampu meluluhkan untuk ditelan agar menjadi sari makanan di dalam perut kemerdekaan pers. Kunyah sana, kunyah sini, lalu dimuntahkan kembali. Banyak beda persepsi: apakah akan saya telan, apakah terus saya kunyah, atau apakah saya muntahkan saja? Demikian Amir Machmud NS menuliskan dalam judul Mengunyah Independensi Media.  (SM,8/3).

Dalam kehidupan politik, independensi media akan diuji keberadaannya, apakah bisa menjadi penyambung lidah politisi, secara netral dalam menyuarakan kepentingannya. Tahun 2024 adalah tahun politik. Kiprah dan sepak terjang para politisi untuk menyuarakana visi dan misinya  membutuhkan media, baik media cetak maupun media sosial sebagai corong penyambung lidah.

Pemilu serentak   akan digelar tanggal 14 Februari 2024  untuk memilih presiden dan wakil presiden, lalu anggota dewan perwakilan rakyat (DPR) RI, dewan perwakilan daerah (DPD) RI, serta dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) provinsi dan kabupaten/kota. Sedangkan untuk pelaksanaan Pilkada serentak bakal digelar 27 November 2024. Melalui gelaran pilkada, akan dipilih gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota di seluruh Indonesia (Kompas.com – 02/06/2022).

Pada kegiatan pemilihan umum kepala daerah, atau pada pesta demokrasi ini, para calon peserta pilkada tentu menggunakan media sebagai alat untuk strategi pemenangan. Dengan demikian keberadaan media, menjadi sangat penting. Namun di sisi lain, netralitas media akan diuji dalam memberikan dukungan dari salah satu calon kepala daerah.

Netralitas ini sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Pers yang telah dinyatakan secara tegas dalam pasal 36  butir 4 UU penyiaran bahwa isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu. Oleh karena itu, pemerintahlah yang berwenang dalam menegakkan hukum tersebut.

Media diharapkan mampu menjadi bagian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, media menjadi penentu kebijakan strategis, oleh karena itu idependensi media menjadi taruhan dalam sistem demokrasi.

Menurut Gayatri (2000) dalam sistem demokrasi, media massa memiliki kemerdekaan sehingga dapat bersikap netral, independen, dan jika didukung profesionalisme dapat menjadi kekuatan kontrol sosial.

Walaupun secara teoritis sistem politik yang dianut Indonesia saat ini sudah demokrasi, tetapi praktik penyelenggaraan media massa saat ini masih jauh dari kondisi ideal dan dapat mengancam kelangsungan demokrasi yang telah kita pilih. Fakta empirik menunjukkan bahwa demokrasi dan kemerdekaan pers tidak dapat dipisahkan.

Demikian pula, untuk media penyiaran walau pun sampai kini tetap ada kontrol yang ketat dari negara atas dasar pertimbangan teknis teknologi maupun pertimbangan lain seperti kepentingan negara, ekonomi dan politik (McQuaill, 2011), tetapi pada dasarnya kemerdekaan pers sudah terwujud di Indonesia.

Kekhawatiran itu didasarkan pada keyakinan bahwa sistem demokratisasi akan dapat hidup subur jika ditopang oleh media massa yang profesional dan independen. Dengan kata lain, jika media massa makin terkooptasi oleh kepentingan kelompok tertentu seperti pebisnis dan penguasa, hal itu dapat menjadi ancaman bagi kehidupan demokratis.

Keterlibatan media penyiaran dalam pemilian umum seharusnya dapat meningkatkan kualitas pemilihan umum serta semakin membuktikan peran dalam fungsi media sebagai garda demokrasi perilaku pada pengelola media yang mengambil keuntungan karena kepemilikan.

Jika media telah kehilangan kepercayaan maka sesungguhnya media tidak dapat lagi dinilai sebagai pilar ke-empat demokrasi media bahkan dapat dipandang sebagai alat perdagangan bagi pemilik dan kelompoknya.

Maka upaya untuk menegakkan independensi media harus dilakukan melalui perubahan kebijakan. Bentuk perubahan kebijakan yang ada dapat dibedakan antara media cetak dengan media penyiaran. Untuk mendukung terwujudnya independensi media cetak, perubahan dapat dilakukan secara inkremental, yakni menambahkan pasal-pasal baru yang sesuai pada peraturan perundangan yang sudah ada.

Saat ini, media menjadi sarana yang efektif untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat agar pasangan calon kepala daerah mendapat dukungan dari masayarakat. Untuk mendapatkan dukungan, seorang calon kepala daerah dan tim sukses harus mampu merancang pesan dengan ‘Apik’ dengan mengedepankan etika dan sopan santun.

Oleh karena itu, melakukan kampanye yang santun menggunakan media merupakan hal yang wajib dilakukan bagi setiap warga negara. Kesantunan dalam menggunakan media, bisa menjadi strategi yang baru bagaimana menggunakan media yang bijak dan beretika. Penggunaan media yang santun dan beretika bagian dari karakter budaya bangsa yang harus dikedepankan.

(Khoirul Muslimin, M.I.Kom, Dosen Unisnu Jepara, Ketua Lakpesdam PCNU Jepara)