Oleh: Hisyam Zamroni
JEPARA (SUARABARU.ID)- Jepara merupakan wilayah yang memiliki “lumbung” pendekar pendekar perempuan yang cerdas, tangguh, dan bijaksana yang memberikan inspirasi pergerakan “emansipasi wanita” yang tidak hanya sebatas memperjuangkan kesetaraan “gender” tapi sejarah nyata kedudukan perempuan sebagai “subyek” dalam realitas kehidupan bukan sebagai “obyek” yang selama ini disematkan kepadanya.
Jepara bisa jadi simbol “keperkasaan perempuan” Nusantara dengan menepis anggapan dan anggitan masyarakat bahwa perempuan adalah hanya sebagai konco wingking seperti halnya kita bisa membaca peran Ratu Shima yang menjadi Ratu di Kerajaan Kalingga, Ratu Kamala Warna Dewi Dyah Sudayita yang menjadi Ratu Kerajaan Kalinggapura, Ratu Kalinyamat dan RA Kartini.
Kemasyhuran Ratu Shima memimpin Kerajaan Kalingga menjadikan rakyat Kalingga hidup sejahtera sehingga membuat decak kagum penguasa negara tetangga. Kondisi rakyat Kalingga yang multi-etnik, — terdiri dari penduduk asli, China, India, Arab dll, — dan multikultural dijadikan modal dasar Ratu Shima membangun ekonomi dan perdagangan internasional melalui kerjasama lintas bangsa, negara dan agama sehingga menjadikan kondisi Kerajaan Kalingga rakyatnya aman, tentram, makmur dan sejahtera disebabkan kebijakan kebijakan Ratu Shima yang adil, pro rakyat, pro multietnik, pro multibudaya dan adil bijaksana.
Pada tahun 1440 M – 1447 M, Jepara di bawah kekuasaan Majapahit melanjutkan Kerajaan Kalingga yang dipimpin oleh seorang Breh yang bernama Ratu Kamala Warna Dewi Dyah Sudayita yang merubah nama kerajaannya menjadi Kerajaan Kalingga Pura dengan kekuasaan Pelabuhan Maritim Internasional yang dipimpin oleh syahbandar terkenal yaitu Abdul Kholiqul Idrus.
Keberhasilan Ratu Kamala membangun Pelabuhan Maritim Internasional ini diwariskan kepada menantunya yaitu Muhammad Yunus, –putra dari Syahbandar Abdul Kholiqul Idrus– yang kemudian dicatat oleh pengelana portugis Tome pires sebagai Raja Kalingga Pura dengan nama Pate Unus.
Pada masa ini Tome Pires mencatat bahwa di Jepara ada dua kerajaan yaitu Kerajaan Kalinggapura di bawah pimpinan Pate Unus dan Kerajaan Tidunan di bawah pimpinan Pate Orob yang merupakan kakak dari Abdul Kholiqul Idrus. Setelah masa berakhirnya pemerintahan Pate Unus, diserahkanlah kekuasaannya kepada putranya Abdul Qodir yang terkenal dengan julukan Pangeran Sabrang Lor.
Dari beberapa pendapat para ahli sejarah, ada dua pendapat tentang Pangeran Sabrang Lor ini, pertama; Pangeran Sabrang Lor adalah Putra dari Pate Unus atau Mumahammad Yunus yang berarti menantu Raden Fatah. Kedua; Pangeran Sabrang Lor adalah putra Raden Fatah penguasa Kerajaan Demak Bintoro.
Pada fase berikutnya, saat Jepara menjadi bagian dari Kerajaan Demak, Kerajaan Jepara berubah nama menjadi Kerajaan Kalinyamat Jepara yang dipimpin oleh seorang raja yaitu Sultan Hadlirin yang merupakan suami dari Retno Kencono putri dari Sultan Trenggono yang kelak menggantikan Sultan Hadlirin dengan sebutan yang sangat terkenal Ratu Kalinyamat.
Sultan Hadlirin adalah salah satu santri Sunan Kudus yang cerdas, alim dan sangat wira’i sehingga di dalam dunia tashawwuf, beliau memiliki maqam/station yang tinggi yaitu sebagai Wali Abdal.
Setelah Sultan Hadlirin wafat, tampuk pemerintahan Kerajaan Kalinyamat dipimpin oleh Putra Sultan Trenggono yaitu Retno Kencono yang bergelar Ratu Kalinyamat.
Ratu Kalinyamat Jepara adalah pemimpin perempuan yang cerdas, trengginas dan memiliki strategi pergerakan membangun wilayah kekuasaannya yang multietnik –penduduk asli Jepara, etnis China, Arab, Malaka dll, — dalam rangka mengangkat ekonomi dan perdagangan yang maju dan mengglobal sehingga Ratu Kalinyamat Jepara terkenal di seantero dunia.
Moderasi nasionalisme berbasis realitas kearifan sosial dan budaya ternyata sudah muncul sejak dahulu di bumi Nusantara. Lalu bagaimana pergerakan Moderasi Nasionalisme Perempuan Nusantara yang secara khusus ada pada Ratu Kalinyamat Jepara? (Bersambung)
(Hisyam Zamroni, Wakil Ketua Tanfidziyah PCNU Jepara)