PACITAN (SUARABARU.ID) – Gending ‘Pepeling’ mengalun indah. Tembang Pepeling, adalah karya Dalang Kondang Ki Anom Suroto. Awal syairnya: ”Wis wancine tansah dielingake……..” Jumat malam (26/8), itu tersaji merdu dalam Festival Langen Beksan Apel Akbar Pecinta Seni Tayub di Alun-alun Kota Pacitan.
Gemulai tarian Tledhek (wanita penari dan pelantun tembang) meliuk-liuk indah, menawarkan sampur (selendang) untuk mengundang massa pengunjung ikut turun berjoget di arena. Meramaikan pentas kesenian Tayub yang dikemas dalam Festival Langen Beksan.
Prokopim Pemkab Pacitan, mengabarkan, ratusan praktisi langen beksan se Kabupaten Pacitan ikut turun meramaikan festival tersebut. Event ini, digagas oleh Karang Taruna dan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Kabupaten Pacitan.
Didukung para seniman dan seniwati dari Paguyuban Seni Tayub Sedyo Pradonggo, Desa Wonodadi Kulon, Kecamatan Ngadirojo, Kabupaten Pacitan, Jatim. Dengan menghadirkan 3 tledhek lokal serta 3 tledhek bintang tamu asal Kabupaten Trenggalek dan Kabupaten Ponorogo.
Bupati Pacitan, Indrata Nur Bayuaji bersama jajaran Forkompimda dan Sekda Pacitan serta para Kepala Desa (Kades), ikut hadir dalam festival tersebut. Mereka ikut ketiban sampur, memperoleh kehormatan diminta untuk ikut menari.
Gerak Gemulai
Lebih spesial lagi, acara ini juga dihadiri Anggota DPRD RI Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) yang juga berkenan turut mbeksan (menari). Tarian mereka berangsur menjadi luwes mengikuti gerak gemulai Tledhek, meski awalnya terlihat kaku karena belum terbiasa.
”Melalui acara ini, saya berharap masyarakat Pacitan bisa bersatu bisa sayuk dan guyub rukun (bersama membangun kerukunan). Karena dengan bersatu dan kompak, Insha Allah semua bisa kita atasi bersama-sama,” ungkap Bupati.
Ketua Karang Taruna Kabupaten Pacitan, Mulyadi, mengatakan, Festival Langen Beksan ini bertujuan untuk melestarikan budaya Jawa yang mulai ditinggalkan. Mengenalkan Kesenian Tayub kepada masyarakat, utamanya bagi generasi sekarang yang belum mengetahuinya.
Kata Mulyadi, sesuai makna penyebutan Tayub, itu terangkai dari kata ditaTA agar guYUB (diatur biar bersatu). Melalui kesenian ini, harapannya dapat mempersatukan semua elemen masyarakat Kabupaten Pacitan.
Dewa-Dewi
Dalam Buku Bauwarna Adat Tata Cara Jawa, karya Drs R Harmanto Bratasiswara, legenda Tayub berpangkal pada cerita Kadewan (dewa-dewi). Merupakan tarian para bidadari di Kahyangan berjumlah tujuh, bersama-sama Mataya (menari) berjajar-jajar secara tertib, teratur dan guyub, untuk menciptakan keindahan. Dari kata maTAya dan guYUB tersebut, maka kemudian populer disebut Tayub.
Pada pertengahan Abad XI, Raja Kediri berkenan mengangkat Tayub ke dalam lingkungan keraton. Digelar untuk menyambut kedatangan tamu-tamu agung.
Di Abad XV, Tayub digunakan sebagai sarana syiar Islam yang ditokohi oleh Abdul Guyer Bilahi, dikaitkan dengan Tasawuf. Menjadi lambang jati diri manusia, lengkap dengan penggambaran empat nafsu.
Para penari Tayub sanggup menjaga dan mengendalikan hawa nafsunya. Sekalipun pria-wanita menari bersama, ditabukan adanya saling bersentuhan. Di zaman Pangeran Sambernyawa (KGPAA Mangkunegara I), Tayub digelar sebagai hiburan bersama para prajurit.
Bambang Pur