blank
Ilustrasi

Oleh: Dyah Ayu Sulistyarini dan Ira Alia Maerani

KECANGGIHAN tekhnologi merupakan suatu pertanda terjadinya kemajuan suatu negara. Namun kecanggihan tekhnologi tanpa diimbangi proteksi yang kuat dari pemerintah dapat meimbulkan dampak negatif, salah satunya munculnya berbagai banyak tindak pidana. Yang sangat mengejutkan adalah pelaku tindak pidana tersebut adalah anak-anak di bawah umur.

Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang dimaksud dengan anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana.

Menurut laporan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat terdapat 123 kasus Anak Berhadapan Hukum (ABH) sebagai pelaku hingga Agustus 2020. Kriminalitas terbanyak kekerasan fisik sebanyak 30 kasus dan kekerasan seksual 28 kasus. Selain itu, anak sebagai pelaku kecelakaan lalu lintas dan pencurian menyusul dengan masing-masing 13 dan 12 kasus.

Berbagai tindak pidana yang dilakukan oleh anak di bawah umur ini merupakan akibat kecanggihan teknologi yang tidak diimbangi dengan proteksi dari orang tua sebagai pengawas aktivitas anak. Karena dunia tanpa batas, maka diri kita adalah batasannya, sedangkan anak-anak belum mengerti apapun, apakah hal tersebut melanggar peraturan hukum atau tidak.

Dapat dicontohkan ketika anak-anak menonton atau bermain game yang bertema kekerasan, mereka mengidolakan super hero, dan mereka tidak memahami bahwa itu hanya permainan, sehingga anak mempraktikkan tindak kekerasan tersebut kepada temannya.

Contoh lain, misalnya anak membuka video porno. Karena anak-anak rasa ingin tahunya tinggi, maka anak mempraktikkannya, yang mana anak sendiri tidak mengetahu bahwa tindakannya melanggar peraturan.

Dalam kondisi seperti ini, bahwa anak tidak menyadari tindakannya itu adalah kriminal, pertanyaannya, apakah anak ini juga diproses hukum selayanya orang dewasa?. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyebut soal keadilan restoratif atau restorative justice dalam penyelesaian perkara pidana pada kepolisian. Restorative justice menjadi program yang dicanangkan Kapolri Listyo Sigit.

Menurut Pasal 1 Angka 27 Peraturan Kepala Kepolisian Negara RI Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana menyatakan, keadilan restoratif ini harus melibatkan pelaku, korban dan/atau keluarganya serta pihak terkait. Hal ini bertujuan agar tercapai keadilan bagi seluruh pihak.

Melansir Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020, keadilan restorative justice adalah suatu prinsip penegakan hukum dalam penyelesaian perkara dapat dijadikan sebagai instrumen pemulihan. Metode ini sudah dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dalam bentuk pemberlakukan kebijakan.

Penerapan restorative justice harus memenuhi syarat-syarat, yang diatur dalam Pasal 12 huruf A dan B Peraturan Kepala Kepolisian RI Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana, di antaranya sebagai berikut:
1. Tindak pidana yang diselesaikan adalah tindak pidana yang bersifat ringan atau tindak pidana yang merupakan delik aduan baik bersifat absolut/relatif.
2. Ada keinginan dari pihak-pihak yang berperkara (pelaku dan korban) untuk berdamai dan akibat dari permasalahan tersebut tidak menimbulkan dampak yang luas/negatif terhadap kehidupan masyarakat.
3. Harus dilaksanakan kegiatan yang bersifat rekonsiliasi dengan mempertemukan pihak yang berperkara serta melibatkan pranata sosial seperti tokoh-tokoh masyarakat setempat.
4. Dalam menyelesaikan perkara perlu memperhatikan faktor niat, usia, kondisi sosial ekonomi, tingkat kerugian yang ditimbulkan, hubungan keluarga/kekerabatan serta bukan merupakan perbuatan yang berulang (residivis).
5. Apabila perbuatan tersebut diawali dengan perjanjian/perikatan (mengarah ke perdata).
6. Pihak korban harus mencabut laporan/pengaduan.
7. Apabila terjadi ketidakpuasan para pihak yang berperkara setelah dilakukan di luar mekanisme pengadilan maka dilakukan penyelesaian sesuai prosedur hukum yang berlaku.
8. Apabila terjadi pengulangan tindak pidana yang dilakukan maka harus dilaksanakan proses hukum sesuai peraturan/hukum yang berlaku.

Dalam ketentuan tersebut dapat dilihat bahwa untuk melakukan restorative justice mempertimbangkan usia, sehingga anak di bawah umur yang berhadapan dengan permasalahan hukum dapat diselesaikan dengan restorative justice.

Sebagaimana juga ketentuan ini ditegaskan dalam UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) dalam proses hukum pada anak. Proses peradilannya tidak hanya dimaknai sekadar penanganan anak yang berhadapan dengan hukum semata, namun juga harus mencakup akar permasalahan anak yang melakukan tindak pidana.

Tujuan agar dapat mewujudkan peradilan yang benar-benar menjamin perlindungan kepentingan terbaik terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Adapun substansi yang diatur dalam UU SPPA antara lain mengenai penempatan anak yang menjalani proses peradilan dapat ditempatkan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) serta pengaturan secara tegas mengenai keadilan restoratif.

(Penulis: Dyah Ayu Sulistyarini, mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang, Dr. Ira Alia Maerani, S.H., M.H, dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang)