“Kebijakan tersebut berpotensi menimbulkan konflik horisontal antara pengelola yang sudah eksisting dengan pemegang izin baru. Selain itu kebijakan tersebut juga berpotensi menyebabkan terjadi kerusakan hutan karena hutan dikelola secara kelompok dan individu hanya untuk usaha produktif,” teriak koordinator aksi, Mochamad Ikhsan dari panggung mobil orasi.

Ungkapan kekhawatiran seperti diungkapkan tersebut, ternyata secara faktual sudah terjadi di lapangan. Hal itu dibuktikan dari pengalaman nyata para peserta aksi damai dari unsur Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) yang notabene merupakan mitra kerja lama Perum Perhutani selaku pengelola kawasan hutan yang sudah eksisting di daerah hutan Jawa Tengah, Jawa Timur serta daerah Provinsi Jawa Barat dan Banten.

Rencana perubahan pengelolaan kawasan hutan dari pengelola eksisting Perhutani kepada pengelolaan di tangan kelompok masyarakat maupun individu tersebut, menurut siaran Pers Dewan Pengurus  Pusat (DPP) Sekar Perhutani, adalah bentuk  disorientasi tujuan pengelolaan hutan. Dari yang semula bertujuan utama bagi terjaminnya sistem kelestarian lingkungan hidup, lalu direduksi menjadi hanya untuk tujuan keadilan dan kesejahteraan masyarakat dan mengabaikan keberlanjutan kelestarian sistem ekologi kawasan hutan.

“Untuk itu kami meminta kepada Menteri LHK agar membatalkan Permen P39/2017 dan SK Menteri LHK nomor 287/MENLHK/SETJEN/PLA.2A/4/2022 NO.287/2022,” desak koordinator Aksi Damai Penyelamatan Hutan Jawa, Mochamad Iksan.

Biaya sendiri

Peserta dari unsur organisasi Sekar Perhutani berdatangan dari segenap pelosok daerah kerja Perum Perhutani di Pulau Jawa dan Madura.

“Kami berangkat dari daerah kerja kami masing – masing ini dengan menyewa bus atas biaya sendiri, ” demikian pengakuan sejumlah peserta.

wied