blank
Presiden Direktur PPLI, Yoshiaki Chida, dan Managing Director DESI, Takanobu Tachikawa, didampingi General Manager PPLI, Yurnalisdel, Kepala Seksi Pencemaran dan Pengendalian Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup Jateng, Marnang Haryoto, Direktur Eksekutif WALHI Jateng, Fahmi Bastian, dan Marketing Division Head KIW, Agus Santosa, berfoto bersama usai dialog interaktif disela-sela acara peresmian kantor representatif PPLI di Kawasan Industri Wijayakusuma (KIW) Semarang, Kamis (30/6/2022).

SEMARANG (SUARABARU.ID) – PT. Prasadha Pamunah Limbah Industri (PPLi) melebarkan ekspansi perusahaan dengan membuka kantor representatif di Kawasan Industri Wijayakusuma, Semarang, Kamis (30/6/2022).

Perusahaan yang fokus dalam bidang pengolahan limbah ini mentargetkan pangsa pasar di Jawa Tengah tersebut sebagai pangsa pasar yang masih luas potensinya, sehingga berani membangun kantor perwakilan di ibukota Jawa Tengah.

“Potensi pengolah limbah di Jawa Tengah, khususnya di Semarang cukup besar, kami masuk ke sini itu untuk peningkatkan market share di Jawa Tengah. Sehingga dengan adanya kantor perwakilan ini diharapkan bisa double peningkatannya,” kata GM PPLI, Yurnalisdel, saat peresmian kantor baru.

Dirinya mengungkapkan, untuk di Jawa Tengah sendiri setidaknya PPLi sudah menangani sekira 30 perusahaan terkait pengolahan limbah B3 (Bahan Berbahaya Beracun), dimana dalam pengolahan semua limbah tersebut dilakukan di Cileungsi dan Lamongan.

PPLI sendiri merupakan perusahaan pengolah limbah B3 yang sudah berkiprah selama 28 tahun di Indonesia. Saham perusahaan dimiliki oleh Dowa Eco System Co.Ltd asal Jepang sebanyak 95 persen, dan memberikan pelayanan satu atap mulai dari pengangkutan, pengolahan, hingga penimbunan.

Menurut Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor 6 Tahun 2021 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), pengkategorian limbah B3 dilihat dari sifat, konsentrasi kandungan bahan, serta jumlahnya.

“Penanganan limbah industri yang tergolong dalam kategori B3 memerlukan pemahaman yang sama antara penghasil limbah, pelaku industri, dan regulator. Dari sisi industri, perusahaan pengolah limbah harus memiliki komitmen yang kuat dalam melakukan pengolahan secara benar dan tidak mencemari lingkungan,” katanya.

Karena berbahaya dan beracun, pengelolaan limbah B3 perlu melewati serangkaian proses, mulai dari tata cara penyimpanannya, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan, hingga penimbunan.

Oleh karena itu, Yurnalisdel menambahkan, agar dalam pengelolaan limbah B3 tersebut bisa berjalan baik, dirinya mendorong regulator memperketat pengawasan dan enforcement kepada industri pengolah limbah. Tujuannya tak lain agar industri benar-benar bisa mengelola limbahnya secara baik.

Terpisah, Marketing PT Kawasan Industri Wijayakusuma (KIW), Agus Santosa, menuturkan, sesuai dengan tugas dari pemerintah, kawasan industri akan terus melakukan pengawasan pengelolaan dan pengolahan limbah pelaku industri di wilayahnya. Disamping itu juga memastikan masing-masing pelaku industri menyediakan fasilitas IPAL.

“Di KIW Semarang ini sekarang ada sebanyak 88 perusahaan, dimana 25 di antaranya menghasilkan limbah dan limbah tersebut sudah dibawa ke tempat pengolahan,” katanya saat sesi diskusi NGOPLING (Ngobrol Peduli Lingkungan) yang diadakan Aliansi Jurnalis Peduli Lingkungan Indonesia (AJPLI) usai acara peresmian kantor perwakilan PPLi.

Sementara itu, Sub Koodinator Seksi Pengendalian Lingkungan Hidup Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Jawa Tengah, Marnang Haryoto, mengatakan potensi limbah B3 di Jateng cukup banyak dari disumbangkan dari beberapa sektor.

“Dalam setahun ada banyak sektor yang memiliki potensi limbah B3, bahkan sektor manufaktur mencapai 116.000 ton, agroindustri 55.600 ton, pertambangan energi/migas 959.000 ton, prasarana 29.600 ton, jasa, 354.900 ton dari fasilitas kesehatan 1.000,” ujar Marnang.

Dikatakan, saat ini ada sebanyak 5 perusahaan pengolah limbah B3 di Jawa Tengah. Bersamaan dengan itu semakin banyak perusahaan yang masuk ke Jawa Tengah, seperti ke Brebes, Jepara, Boyolali, dan lainnya

Menurutnya, pengawasan pengelolaan limbah di kawasan industri lebih mudah dibandingkan dengan industri kecil yang tidak tersentralisasi. Adapun bagi perusahaan yang melanggar aturan pengelolaan limbah tetap akan dikenakan sangsi administratif.

Berdasarkan data Dinas Lingkungan Provinsi Jawa Tengah, dari 7 kawasan industri yang ada di Jawa Tengah tercatat limbah B3 yang dihasilkan sebanyak 616.000 ton per tahun untuk limbah manufaktur, 55.000 ton limbah agroindustri, limbah pertambangan energy 959.000 ton, 354.000 ton limbah jasa, limbah jasa sebanyak 354.000 ton, dan limbah fasyankes sebanyak 1.000 ton.

Melihat banyaknya perusahaan yang diawasi DLHK Jateng, GM Wahana lingkunan Hidup (Walhi), Fahmi, mengatakan jumlah itu sebenarnya akan jauh lebih banyak jika menyangkut Jawa Tengah secara umum.

Seperti di Pekalongan ada pimpinan perusahaan tekstil yang di jatuhi sangsi karena terbukti melanggar pengelolaan limbah perusahana tekstilnya.

“Sebenarnya ada banyak yang kita pantau, seperti tambang, dan industry tekstil. Dari pantauannya, dalam kontek industry ini pengelolaan limbah B3 mereka buang saja di sungai atau yang padat di kubur. Ini persoalannya. Apalagi jateng akan menjadi provinsi yang banyak industry masuk,” katanya.

Oleh karenanya, tutur Fahmi, perlu ada kebijakan pengetatan soal limbah. Hal itu karena banyak industri yang ada di Jawa Tengah. Bahkan di Kota Semarang sudah banyak laporan yang masuk ke Walhi terkait dengan dugaan pencemaran limbah di sungai dan bibir pantai.

“Kalau lihat di Jateng pasti banyak lagi dugaan pencemaran lingkungan dari limbah. Apalagi kalau di Kota Semarang ada banyak kawasan industri, wilayah lautnya sangat parah. Banyak laporan soal pohon mangrove mati kuat dugaan itu karena limbah,” katanya.

Fahmi menyebutkan, persoalan lingkungan memiliki banyak tantangan sehingga perlu banyak pihak untuk ikut menyorotinya. Apalagi persoalan pengelolaan limbah industry yang harus disoroti bersama.

(hery priyono)