blank
Wakil Rektor III USM, Dr Muhammad Junaidi SHI MH (kiri) menyerahkan surat keputusan (SK) kepada Ketua Satgas PPKS USM, Helen Intania SH MH dalam seminar dan launching satuan tugas (satgas) konseling mahasiswa dan satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) USM, pada Kamis (29/6). (Foto:humas USM)

SEMARANG (SUARABARU.ID) – Universitas Semarang menggelar seminar sekaligus melaunching satuan tugas (satgas) konseling mahasiswa dan satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) USM, pada Kamis (30/6).

Kegiatan ini diselenggarakan secara hybrid yaitu online dengan zoom meeting dan offline di Aula Prof Ir Joetata, Gedung V,Lt VI USM. Kegiatan mengambil tema ”Menciptakan Lingkungan Akademik yang Beradab dan Humanis Melalui Kewenangan Satgas PPKS dan Konseling Mahasiswa”.

Kegiatan dihadiri Kepala LLDIKTI Wilayah VI Jawa Tengah Bhimo Widyo Andoko SH MH secara online melalui via zoom. Selain itu juga beberapa jajaran Universitas Semarang antara lain Wakil Rektor I USM Prof Budi Wahyuningsih MP, Wakil Rektor III USM Dr Muhammad Junaidi SHi MH, Kepala Badan Penjaminan Mutu (BPM) Universitas Semarang Dr Ardiani Ika Sulistyowati SE MM Akt CA CPA, para Dekan, serta delegasi perwakilan Organisasi Mahasiswa (Orma) USM.

Kegiatan dibuka Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan dan Alumni USM, Dr Muhammad Junaidi SHI MH.

”Kegiatan ini adalah tindak lanjut dari Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, Dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan Dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi untuk membentuk satgas konseling mahasiswa dan PPKS USM,” ujar Junaidi.

Menurutnya, pembentukan satgas PPKS tidak bisa berdiri sendiri, namun harus didukung oleh satgas konseling mahasiswa, sehingga ketika ada kasus kekerasan seksual yang terjadi, maka satgas PPKS akan menangani kasus tersebut.

”Saya berharap dengan dilaunchingnya kedua satgas ini, USM menjadi kampus yang aman dan nyaman, serta bebas dari kekerasan seksual, sehingga tidak ada mahasiswa yang diberikan layanan konseling,” tandas Junaidi.

Keynote speaker pada kegiatan ini adalah Kepala LLDikti Wilayah VI Jawa Tengah, Bhimo Widyo Andoko SH MH.

Bhimo mengutip dari Mendikbudristek, Nadiem Makarim bahwa pendidikan tinggi merupakan batu loncatan, maka setiap kampus di Indonesia harus merdeka dari segala bentuk kekerasan dan menjadi lingkungan yang konklusif bagi mahasiswa untuk mengembangkan potensinya. Kutipan tersebut disampaikan karena ternyata di lingkungan Perguruan Tinggi (PT) terdapat kasus di antaranya bullying, intoleransi, korupsi dan kekerasan seksual. Berdasarkan kasus tersebut maka dibentuklah kebijakan 4A, yaitu Antibullying/perudungan, Antiintoleransi, Antikorupsi, dan Antikekerasan seksual.

”Kebijakan 4A khususnya antikekerasan seksual diimplementasikan dengan diterbitkannya Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021. Kekerasan seksual menurut Permendikbud adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi repoduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal,” ungkap Bhimo.

Menurutnya, penerbitan Permendikbudristek disebabkan karena ada situasi darurat kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi dari hasil survei yang telah dilakukan oleh kementerian, yaitu 77% dosen di PT menyatakan kekerasan seksual pernah terjadi di kampus dan 63% dari mereka tidak melaporkan kasus yang diketahuinya kepada pihak kampus.

”Ada empat tujuan diterbitkannya permen kekerasan seksual. Pertama, pemenuhan hak pendidikan setiap WNI bahwa permen PPKS adalah salah satu upaya untuk memenuhi hak setiap WNI atas pendidikan tinggi yang aman. Kedua, penanggulangan KS dengan pendekatan institusional dan berkelanjutan yang berarti substansi Permen PPKS memberi kepastian hukum bagi pemimpin perguruan tinggi untuk mengambil langkah tegas. Ketiga, Peningkatan Pengetahuan tentang kekerasan seksual yaitu seluruh kampus di Indonesia menjadi semakin teredukasi tentang isu dan hak korban kekerasan seksual. Keempat, Penguatan kolaborasi antara Kemendikbudristek dan Perguruan Tinggi yang yaitu semangat kolaboratif antara kementerian dan kampus-kampus dalam menciptakan budaya akademik yang sehat dan aman semakin kuat,”ujarnya.

Implementasi dari permendikbud ini adalah pembentukan satgas di perguruan tinggi di Indonesia. Dia berharap, kegiatan yang dilakukan USM ini dapat memberikan rasa aman bagi mahasiswa untuk mengenyam pendidikan tinggi di USM.

Kegiatan ini menghadirkan narasumber Ketua Satgas PPKS USM, Helen Intania SH MH dan Ketua Satgas Konseling Mahasiswa, Yudi Kurniawan SPsi MPsi Psikolog.

Helen mengatakan, kekerasan seksual adalah perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh dan fungsi reproduksi seseorang. Kekerasan seksual yang dialami seseorang dapat berdampak salah satunya pada hilangnya kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal.

”Ada beberapa strategi pencegahan seksual dan penanganan kasus kekerasan seksual antara lain melakukan penguatan budaya komunitas seperti komunikasi dan edukasi, membentuk satgas PPKS, dan melakukan sosialisasi,” kata Helen.

Helen juga mengenalkan struktur organisasi satgas PPKS dan mekanisme penanganan KS di USM. Struktur organisasi PPKS USM adalah pembina, Ketua, Sekretaris, Bidang Pendampingan dan Pemulihan, Bidang Perlindungan dan Pengenaan Sanksi, dan Bidang Data & Kajian.

”Mekanisme penangangan kekerasan seksual di USM yaitu dimulai dari penerimaan laporan, pemeriksaan, penyusunan kesimpulan dan rekomendasi, pemulihan, dan pencegahan keberulangan kekerasan seksual.

Narasumber kedua, Yudi Kurniawan mengatakan, konseling mahasiswa dibutuhkan karena berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh Azis dkk (2021) 30% mahasiswa terindikasi mengalami kesehatan jiwa.

”Kesehatan jiwa menurut UU 18 Tahun 2014 adalah kondisi dimana individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial, sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya,” ungkapnya.

Menurutnya, ada beberapa faktor risiko yang meningkatkan peluang gangguan mental emosional pada mahasiswa, yaitu memiliki masalah keluarga dalam level sedang hingga berat, memiliki riwayat sebagai korban kekerasan, minim dukungan sosial, memiliki pekerjaan dengan tingkat stres tinggi, koping stres yang maladatif, dan memiliki trait kecemasan yang tinggi (faktor kepribadian).Beberapa faktor ini maka mahasiswa membutuhkan konseling.

”Konseling ini dapat dilakukan salah satunya dengan membentuk satgas konseling mahasiswa, seperti yang dilakukan oleh USM. Prinsip layanan konseling mahasiswa USM adalah promotif/preventif, kuratif, dan rehabilitative. Satgas ini memberikan layanan konseling mahasiswa yang memiliki masalah keluarga, kekerasan seksual, karier, pribadi, perundungan, sosial, dan akademik. Layanan konseling dapat dilakukan dari Senin sampai Jumat, pukul 09.00-12.00 WIB dan 13.00-15.00 WIB,” kata Yudi.

Muhaimin