PACITAN (SUARABARU.ID) – Masyarakat Dusun Tawang, Desa Sidomulyo, Kecamatan Ngadirojo, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur (Jatim), Selasa (28/6), menggelar puncak upacara adat Jangkrik Genggong.
Upacara yang telah mentradisi run-temurun ini, digelar setahun sekali pada Hari Anggara Kasih (Selasa Kliwon), di Bulan Longkang (Dzulqo’dah atau Dzulkaidah).
Prokopim Pemkab Pacitan, semalam megabarkan, Bupati Pacitan Indrata Nur Bayuaji, hadir dalam upacara adat Jangkrik Genggong, yang diselenggarakan di lokasi Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Tawang, Desa Sidomulyo, Kecamatan Ngadirojo, Kabupaten Pacitan.
Para sesepuh Dusun Tawang, menyatakan, penamaan Jangkrik Genggong diambil dari nama salah satu gendhing pada Kesenian Tayub. Yang gendhing tersebut, menjadi klangenan (kesukaan) dari Ki Wonocaki. Yakni salah satu sosok gaib yang dikeramatkan dan dipercaya sebagai Danyang Punden.
Upacara adat ini juga menjadi pertanda perayaan bagi anak laki-laki yang telah beranjak dewasa. Yakni menjadi semacam ‘wisuda’ anak yang setelah usai mengikuti Jangkrik Genggong, kemudian mulai diperbolehkan turun melaut untuk berlayar mencari ikan.
Sebagaimana diketahui, warga Desa Sidomulyo, Kecamatan Ngadirojo, Kabupaten Pacitan, Jatim, mayoritas bekerja sebagai nelayan penangkap ikan di sepanjang pesisir pantai laut selatan (Samudera Indonesia).
Dalam pelaksanaannya, tradisi upacara adat Jangkrik Genggong menyertakan kelengkapan aneka sesaji. Terdiri atas krawon kemadhuk, bothok Iwak Pajung (Kakap Merah), dan tlethong jaran seta (kotoran kuda putih).
Ritual Doa
Serangkaian sesaji ini, menjadi kelengkapan dalam ritual pemanjatan doa yang dilakukan oleh sesepuh adat setempat. Konon, setelah pelaksanaan Janggrik Genggong, Iwak Pajung akan melimpah di laut dna mudah ditangkap oleh para nelayan.
Setelah ritual adat Janggrik Genggong dilakukan, para nelayan akan panen raya ikan, karena jumlah hasil tangkapannya lebih banyak dari hari-hari biasanya. Bagi anak laki-laki yang siap untuk melaut kali pertama, diwajibkan harus mengikuti upacara Jangkrik Genggong terlebih dahulu.
Jangkrik Genggong dilatarbelakangi oleh keberadaan sejumlah Punden (tempat yang dikeramatkan) di Tawang, Sidomulyo. Setiap Punden, memiliki sosok gaib penguasa (Sing Mbahurekso).
Misalnya, Ki Rogo Bahu menguasai Punden di Glandhang Plawangan, Nyai Gadhung Mlathi menguasai di Sumur Gedhe, Ki Mangku Negara berkuasa di Punden Sumur Pinggir dan Ki Wonocaki menguasai di Punden Teren.
Untuk memaknai eksistensi mereka, masyarakat setempat melaksanakan agenda tahunan Bersih Dusun atau Bersih Desa yang dimeriahkan Kesenian Tayub. Yang dalam pentasnya, menyajikan sejumlah gendhing yang menjadi kesukaan para Danyang tersebut.
Upacara adat Jangkrik Genggong secara utuh dimulai satu hari sebelum puncak acara, yaitu Hari Senin Wage (Soma Cemeng). Pada hari Senin Wage tersebut, seluruh warga melakukan kerja bakti membersihkan lokasi Punden.
Pada malam harinya, diadakan tirakatan bersama oleh seluruh warga dusun. Acara dilanjutkan pada Selasa Kliwon pagi, di mana setiap warga membawa nasi tumpeng beserta lauknya yang diwadah dalam Encek.
Sarana Ruwatan
Upacara tradisi Janggrik Genggong, dipercayai pula dapat menjadi sarana ruwatan (membebaskan kesialan) bagi warga yang menyandang Sukerta (dililit aura negatif).
Seluruh sesaji dan tumpeng bawaan warga, dikumpulkan dalam suatu tempat dan selanjutnya dilakukan pemanjatan doa berssama yang dipimpin sesepuh adat setempat. Usai berdoa, sejumlah sesaji kemudian dibawa ke masing-masing lokasi Punden. Sebelum kemudian dilakukan Kembul Bujana (makan bersama) seluruh warga.
Baru kemudian dirangkai dengan pentas KesenianTayub, sekaligus menjadi penutup acara. Awalnya, disajikan jenis Tayub Sakral yang diperankan oleh lima orang penari pria asli Dusun Tawang, Sidomulyo.
Tampilnya lima lelaki ini dimaknai sebagai pengejawantahan sosok penguasa gaib lima Punden di Dusun Tawang. Mereka menari dengan iringan Gending Cakra Negara, Samirah, Godril, Ijo-ijo dan diakhiri dengan Gendhing Jangkrik Genggong.
Sebelumnya, dilakukan prosesi kirab dengan membawa duplikat ikan kakap merah ukuran besar, untuk dibawa ke Balai Desa lalu diteruskan ke Pesanggrahan di pesisir pantai. Pembawanya, adalah para perjaka dan wajib mengenakan pakaian adat Jawa.
Mereka diringi Tarian Minoagung yang dilanjutkan Tari Tayub. Kesemuanya itu, dipersembahkan pada gaib penguasa sumber air yang jumlahnya tujuh. Selain tarian, dalam upacara adat juga menyertakan aneka gendhing yang disukai tujuh gaib penguasa sumber air.
Misal, untuk tokoh gaib Ki Mangku Negara gendingnya Surung Dayung. Gending ini sekaligus sebagai penggambaran nelayan yang tengah mendayung sampannya di laut bebas. Untuk Ki Kethok Jenggot gendingnya Sambiran, dan Ki Rogo Bahu gendingnya Ijo-ijo.
Bambang Pur