blank
Manganan di Msjid Mbah Kawak ( Foto: Hadepe )

Oleh : Hadi Priyanto

Menurut cerita tutur, pada jaman pemerintahan Ratu Shima abad ke VII, Desa Kawak merupakan kawasan pura atau tempat peribadatan bagi umat Hindu. Oleh sebab itu konon  desa ini oleh Ratu Shima diangkat sebagai desa perdikan dan  dibebaskan dari kewajiban membayar pajak.

Banyak bukti ditemukan di sekitar desa ini yang dapat memperkuat dugaan itu. Di antaranya adalah fragmen arca Syiwa, fragmen arca Durga, dua buah fragmen kaki arca,tiga buah fragmen kepala arca, dua buah lingga, dan beberapa  batu kuno. Benda-benda peninggalan bersejarah tersebut kebanyakan ditemukan di dalam  kompleks  punden yang ada di Dukuh Kawak Wetan.

blank
Petinggi Kawak Eko Heri Purwanto

Masyarakat setempat meyakini bahwa kompleks dimana ditemukan banyak peninggalan sejarah itu semula merupakan tempat peribadatan umat  Hindu sebelum masuknya agama Islam. Ketika Islam datang, pura tempat peribadatan itu tidak terawat lagi sehingga pada akhirnya hancur dimakan usia.

Menurut cerita tutur, walaupun Hindu semakin terpinggirkan, bukan berarti semua pemeluk Hindu berpindah menjadi pemeluk Islam. Sebagian dari mereka masih mempertahankan agama dan tradisi Hindu yang mereka anut berabad-abad. Sisa-sisa masyarakat Hindu yang masih ada tetap menjalankan agama mereka.

Mereka masih diberi kebebasan untuk menjalankan ibadah sesuai dengan kepercayaan mereka. Karenannya tidak jarang ada pemeluk agama Islam masih  mempraktekkan  tradisi dari Hindu di desa ini.

blank
Festival Jondang di Desa Kawak (Foto: Hadepe)

Namun ada versi lain tentang masuknya Islam di Kawak. Ada kemungkinan bahwa para pemeluk Islam di desa Kawak ini berasal dari daerah luar. Kemungkinana berasal dari para prajurit kesultanan Demak yang giat melakukan perluasan agama Islam pada awal abad XVI.

Untuk mengenang para leluhur yang meninggal dalam konflik dan rusaknya tempat ibadah yang mereka miliki, maka umat Hindu melakukan upacara Manganan. Upacara ini sekaligus untuk memohon kepada Yang Maha Kuasa perlindungan dari segala  mara bahaya. Demikian konon  awal upacara atau tradisi Manganan ini dikembangkan oleh umat Hindu yang ada di Desa Kawak.

Kemudian Manganan versi Islam, bermula ketika terjadi peperangan  antara prajurit Sultan Agung dan Belanda. Karena kalah dalam peperangan, maka banyak prajurit Mataram yang melarikan diri ke desa-desa. Salah satu desa tempat prajurit Mataram melarikan diri adalah desa Kawak.

blank
Festival Jondang yang dikembangkan dengan karnaval budaya.

Beberapa tokoh prajurit Mataram yang melarikan diri ke Desa Kawak antara lain Mbah Ronggo Wineh, Mbah Ronggo Wiji dan  Mbah Ronggo Kusumo. Mereka kemudian bersembunyi diantara penduduk setempat untuk menghindarkan diri dari kejaran tentara Belanda.  Dengan demikian mereka harus bergaul dengan masyarakat desa Kawak. Untuk mempererat tali silahturahmi antara prajurit Mataram dengan umat Islam di Kawak, maka diadakan upacara Manganan  agar mereka mendapatkan perlindungan.

Dalam perkembangan selanjutnya, upacara tradisional Manganan ini tidak hanya dilakukan oleh umat Hindu saja tetapi juga dilakukan oleh masyarakat Islam. Untuk selanjutnya Manganan yang dilakukan oleh masyarakat Hindu diadakan di Punden Wetan sedangkan Manganan yang dilakukan oleh masyarakat Islam diadakan di Punden Kulon.

Suatu hal yang menarik adalah bahwa upacara Manganan di kalangan umat Islam sendiri menunjukkan adanya pengaruh  tradisi dan kepercayaan Hindu. Hal itu bisa dilihat dari maksud penyelenggaraan upacara Manganan, doa-doa yang diucapkan, alat-alat yang dibutuhkan, dan sebagainya.

Dua upacara Manganan di Desa Kawak ini  berlangsung hingga sekitar tahun 1970-an. Ketika Soekahar menjadi Petinggi Desa Kawak, dua versi Manganan ini disatukan  waktunya. Senin Pahing.  Setelah  Ashar di depan masjid Mbah Wali Kawak dan setelah Mahrib di depan Punden Mbah Buyut Kawak.

Upacara tradisional Manganan biasa dilakukan mulai senin Pahing. Selasa Pon, Rabu Legi, dan Kamis Kliwon setiap Bulan Besar setahun sekali. Namun kini dilakukan setelah panen besar.  Uba rampe atau piranti yang digunakan dalam tradisi sesaji Manganan ini adalah, Bandrek (air tape), setrup (sirup), sekul (nasi), kerbau, dan rokok siong.  Ubo rampe ini juga dilengkapi  ayam dekem, makanan kecil, jajan pasar, nasi kepel, dan candu.Namun tidak diketahui mengapa peralatan itu yang digunakan.

Mereka menyediakan piranti-piranti itu berdasarkan tradisi turun-temurun dari nenek moyang mereka. Bagi sebagian orang, syarat-syarat diatas haruslah dipenuhi. Sebab kalau tidak, doa atau hajat yang disampaikan  sulit terkabul.

Penulis adalah pegiat budaya Jepara dan penulis buku Legenda Jepara dan Buku Ensiklopedi Toponomi Jepara