Oleh: JC Tukiman Tarunasayoga
Barangkali terlalu vulgar menyebut seseorang (atau bahkan kelompok?) yang karena setiap saat muncul dengan ungkapan-ungkapannya yang serba ngiwi-iwi, ngewak-ewakake lan umuk-umukan sebagai “pekerjaan utama.”
Aktivitas seseorang dapat disebut sebagai pekerjaan (utama bahkan) manakala hal itu dilakukannya setiap hari secara rutin; namun batasan itu harus dilengkapi dengan kata-kata “membawaserta upah/hasil.”
Kata kuncinya ada dua, yaitu rutin, dan sudah barangtentu membuahkan rutinitas; serta upah/hasil sebagai sumber kehidupannya. Mana mungkin setiap saat siap dengan sibuk mencari ungkapan ngiwi-iwi, ngewak-ewakake lan umuk-umukan (dan ungkapannya itu sangat boleh jadi membahayakan dirinya) namun tidak menjamin asap dapurnya ngebul? Serba gratiskah?
Jawaban saya entahlah, karena betul-betul tidak tahu dan awal tulisan ini telah menyebut “barangkali terlalu vulgar” berhubung ketidaktahuan itu. Maaf dan siap mendapatkan pencerahan terkait hal ini.
Antara ngiwi-iwi, ngewak-ewakake lan umuk-umukan memang ada makna yang nuansanya beda-beda tipis, namun kandungan utamanya ialah “mengata-katai orang lain” atau bahkan memberinya label sebagai orang yang serba jelek, serba kurang, serba bodoh, plonga-plongo, serba salah (langkah), dst. dst. ; lalu orang dengan label seperti itu dipandang wajar kalau “dihina” atau direndahkan, atau bahkan dijadikan bahan olok-olok.
Dengan kata lain, segala sesuatu yang dipandangnya serba kurang tadi kemudian dijadikan sebagai bahan untuk ngiwi-iwi, ngewak-ewakake, lan umuk-umukan.secara ad hominem (bahasa Latin: artinya menyebut langsung orangnya/ [pribadinya). Jika kadar ngiwi-iwi, dan ngewak-ewakake semakin tajam, ad hominem tadi bisa-bisa berkembang menjadi pembunuhan karakter seseorang.
Ngiwi-iwi
Ngiwi-iwi itu terkait dengan si pelakunya, yaitu dia/mereka yang suka ngisin-isin liyan, mengolok-olok, membuka-buka rahasia orang lain; sedang bagi pihak “korban” ia disebut diiwi-iwi. Persis seperti anak cucu kita jika sedang saling mengejek, orang ngiwi-iwi itu bahkan sering mengejeknya itu seraya mencongake lambe yaitu menggerak-gerakkan bibirnya ke kiri atau ke kanan. Dan itu dilakukan berulangkali; nah …di sinilah letak persisnya betapa si korban itu diiwi-iwi.
Baca: Naga Dina, Apes, Lalu Nglemprak: Mimpi Buruk Apa Ya?
Sementara itu, seseorang disebut ewa (bacalah seperti Anda mengucapkan sewa) manakala ia nampak sekali baik lewat sikap maupun uapannya ora seneng marang liyan, tidak suka kepada seseorang; dan karena itu ngewak-ewakake berarti solah tingkahe gawe ewa, gawe ora seneng; segala tingkah lakunya tidak menyenangkan. Dan si korban akan disebut diewani, karena dia dijadikan objek untuk ora disenengi, objek untuk tidak disenangi, bahkan bisa jadi lalu dibenci.
Siapa orang/pihak yang suka ngiwi-iwi dan ngewak-ewakake seperti itu? Salah satu jawabannya, ialah dia atau mereka yang suka umuk-umukan, suka meninggikan dirinya sendiri (dan itu berarti cenderung merendahkan orang lain, apalagi yang diiwi-iwi tadi). Orang bergaya umuk-umukan biasanya dia memandang dirinya paling pinter, paling bener, paling unggul; sehingga yang lain itu dikepreti saja.
Baca Juga: Ini Dia: Jarag, Ngawur, Waton (Part 5)
Percermatan ini sebenarnya masih terbatas melihat yang di atas permukaan saja, belum sangat mendalam. Supaya lebih mendalam, biasanya dipandu dengan pertanyaan “mengapa.” Maksudnya, mari kita bertanya, menagapa ada saja orang yang menjadikan ngiwi-iwi, ngewak-ewakake, lan umuk-umukan sebagai “pekerjaan pokok” dalam fase kehidupannya?
Mencoba menjawab pertanyaan ini, saya inign mengajukan satu argumentasi saja, yaitu siapa pun apabila hatinya belum tersentuh oleh belas kasihan, orang itu masih sangat mungkin bergaya “aku paling bener”, aku paling pinter dan paling tahu; lalu orang seperti ini tergoda untuk bersikap ngiwi-iwi, ngewak-ewakake lan umuk-umukan tadi.
Akan tetapi, bila pada suatu saat orang atau mereka itu hatinya tersentuh oleh belas kasihan; percayalah, ia/mereka pasti akan berbalik. Di dunia ini, sejak zaman sangat kuna sampai sekarang, ada sangat banyak contoh betapa tersentuh hatinya oleh belas kasihan itu akan mengubah orang yang dulunya serba berfikiran dan berpandangan negatif, menjadi berangsur-angsur positif dan positif. Kita tunggu saja sambil terus berproses.
(Tukiman Tarunasayoga, Pengajar Pascasarjana di UNIKA Soegijapranata, Semarang dan UNS)