Skema jaring pengaman sosial, kata Khalid, perlu menjadi kesadaran masyarakat di level lebih kecil. Bagaimana misalnya patroli RT, RW dan ronda tidak hanya sekadar pengamanan rumah ke rumah. Melainkan diikuti pula dengan antisipasi dan imbauan.
“Agar misalnya, tidak perlu keluar rumah di atas jam 00.00 WIB bila tidak ada keperluan mendesak. Sosialisasi ini perlu dibiasakan sebagai kesadaran preventif bukan hanya reaktif ketika peristiwa terjadi,”kata dia.
Ketiga, akar masalah klitih berawal ketika pelaku yang yang sebagian besar merupakan pelajar tidak mendapatkan akses pendidikan yang memadai. Hingga akhirnya mereka lari pada hal yang kontraproduktif, bahkan sampai melukai pihak lain.
“Harus direspon dengan langkah preventif di level keluarga, sebagai satu komunitas awal pendidikan terhadap anggota keluarga. Termasuk anak, yang rentan hanyut dalam eksistensi sosial kontraproduktif,” ujarnya.
Dia menyebut Pentingnya pendampingan keluarga, sosialisasi dari pemerintah agar anak tidak lari ke hal-hal yang tidak manfaat.
Mencoreng Yogya
Dia juga berpendapat, bahwa klitih adalah ironi besar yang terjadi di Jogja sebagai Kota Pendidikan. Klitih telah mencoreng wajah Jogja, yang harusnya menjadi daerah percontohan pendidikan di Indonesia.