Begini, disadari atau tidak, hubungan antar sesama umat beragama, atau hubungan antar sesama manusia, ibarat pasang surut air laut. Bisa jadi hubungan itu menjadi pasang nan tampak indah dan harmoni di satu waktu. Bisa jadi pula hubungan itu diterpa keadaan yang surut yang perlu disikapi dengan arif dan bijaksana.
Setiap individu dituntut untuk menjaga kerapatan dan keharmonisan hubungan dengan sesama. Dari lingkup keluarga, lingkup lingkungan RT dan RW, lingkup di tempat kerja, hingga lingkup nasional. Kerapatan dan keharmonisan bisa dimulai dari hal terkecil dan hal terdekat dari individu.
Kembali ke saf salat tarawih tadi, Ramadan yang menjadi momentum bagi umat Islam me-recharge keimanan, ketakwaan, dan keislamannya, diharapkan juga menjadi momentum untuk me-recharge hubungan baik antarsesama. Penulis senang sekali dan sepakat saat menjelang Ramadan lalu Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengimbau masyarakat untuk tidak melakukan sweeping pada warung dan tempat makan lainnya yang masih buka di siang bolong.
Kita semua menyadari dan mengetahui kalau yang tinggal dan hidup di bumi pertiwi tidak semuanya beragama Islam. Itu artinya ada warga negara ini yang tidak menjalankan puasa. Tentunya, mereka yang tidak berpuasa kemungkinan besar membutuhkan warung atau tempat makan lainnya untuk kelanjutan hidup sehari-hari.
Bahkan bagi umat Islam sendiri pun, sebagian ada yang tidak berpuasa karena memang diizinkan oleh syar’i. Sebagai contoh perempuan yang sedang datang bulan, ibu hamil yang masih membutuhkan asupan secara normal, juga mereka yang sedang dalam perjalanan jauh (safar).
Dalam bahasa yang berbeda, kawan yang bijak bergurau, kalau biasanya sering dikeluarkan anjuran di banyak platform media untuk menghormati yang berpuasa, sepertinya penting juga untuk disuarakan untuk menghormati yang tidak berpuasa.
Dalam berpuasa, menurut keterangan salah satu hadis, harusnya menjadikan pribadi yang lebih santun dan bisa merasakan kondisi orang lain. Maksudnya, yang diharapkan untuk belajar dan mengasah kepekaan kepada orang lain ya orang yang berpuasa di bulan Ramadan, bukannya orang yang tidak bepuasa.
Oleh karena itu, dalam norma sosial, semua yang menjadi bagian di lingkungan sosial harus memahami dan mengetahui peran masing-masing. Selama bulan Ramadan ini, semua pihak harus menjaga dan merawat keharmonisan tanpa terkecuali. Tentu tidak hanya selesai di bulan Ramadan saja, semua pihak harus berupaya melanggengkan keharmonisan sosial sepanjang waktu dan sepanjang tahun.
Ada satu hadis yang cukup populer di bulan Ramadan, man shaama ramaadhaana imaanan wa ihtisaaban ghufira lahuu maa taqaddama min dzanbihi. Arti hadis tersebut kurang lebih sebagai berikut, “Orang yang berpuasa di bulan Ramadan dengan penuh keimanaan dan introspeksi diri akan diampuni dosa-dosanya yang telah lampu.”
Patut digarisbawihi imbauan untuk introspeksi (ihtisaaban) saat di bulan suci. Imbauan ini dirasa urgen untuk menjadi titik tolak memahami dan menghargai kepada sesama. Bahwa kalau diri pribadi tidak ingin disakiti orang lain, maka harus dimulai dari diri sendiri pula untuk berupaya sekuat tenaga tidak menyakiti orang lain. Semoga berkah Ramadan senantiasa memenuhi hati kita. Amin. Allahu a’lamu bis shawaab.
Ahmad Munif, Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Walisongo Semarang