JEPARA (SUARABARU.ID) – Pelaku wisata Kali Bening, Desa Tanjung, Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Jepara, menggagas upaya pelestarian adat kelan krikil. Jika tidak segera dibangkitkan kembali, kepunahan aktivitas memasak yang unik oleh warga lereng barat gunung Muria tersebut tinggal menunggu waktu.
“Makanya, kini kami sedang merencanakan untuk menggelar festival kelan krikil di sini. Selain untuk melestarikan adat istiadat, kami pikir aktivitas memasak ini justru punya nilai lebih untuk sektor wisata,” kata salah satu pelaku wisata Kali Bening, Amin Ayahudi saat berbicara dengan wartawan di objek wisata tersebut, Senin (28/2/2022).
Dengan festival kelan krikil, warga setempat akan mengingat kembali tradisi nenek moyangnya. Mereka bersama para wisatawan juga bisa tahu seperti apa kesegaran masakan yang dimasak dengan cara itu.
Dalam bahasa Jawa, kelan adalah aktivitas memasak sayur. Sedangkan krikil berarti batu kerikil. Menurut Amin, pada masanya, hasil olahan kelan krikil tidak sekedar menjadi salah satu pilihan masakan bagi warga Dukuh Ngrebu, Desa Tanjung. Warga yang dusunnya dikarunia keindahan alam sehingga kini dikenal dengan objek wisata Kali Bening itu juga menjadikan kelan krikil sebagai metode pengobatan alternatif.
Hal tersebut sebagaimana yang diceritakan warga yang tinggal atas bukit, tepat di sisi objek wisata Kali Bening, Mbah Karsimin (75 tahun). Menurutnya, dalam tradisi kelan krikil, batu kerikil dari sungai yang telah dicuci bersih dimasak bersama sumpil. Sumpil adalah sebutan untuk sejenis siput sungai berukuran kecil, yang mudah dijumpai di banyak aliran air di dukuh tersebut.
“Kerikilnya dari sungai. Hingga zaman PKI sekitar tahun 1965, kami sesekali masih kelan krikil. Kami makan kuahnya saja bersama makanan atau kudapan lain. Sumpil dan batunya tidak. Rasanya, ya, segar. Karena memang dibumbui layaknya masakan yang lain,” kata Karsimin.
Selain salah satu pilihan masakan karena saat itu masih larang pangan atau kesulitan bahan pangan, jelas Karsimin, kelan krikil juga menjadi cara para orang tua di kampung itu untuk melakukan pengobatan.
“Saat itu, kan, belum ada dokter di sini. Suatu ketika kami sekeluarga katisen (menggigil kedinginan -red). Setelah minum kuah kelan krikil, nyatanya semuanya sehat kembali,” kenang Karsimin didampingi istrinya, Solekah.
Seiring perkembangan zaman dan meningkatnya perekonomian masyarakat, kelan krikil mulai ditinggalkan. Jika benar-benar kangen masakan itu saja, Karsimin sesekali memasak sendiri. Hal tersebut sebagaimana yang dia lakukan bersama teman-temannya sesama buruh pembelah kayu saat bekerja di Dukuh Jabung, sebelum tahun 1990. Jabung adalah dukuh terakhir sebelum puncak-puncak Muria dari arah Desa Tanjung.
“Saat itu saya buruh nggraji grok di Jabung. Teman-teman saya masakkan. Lalu beberapa hari lalu ada pengurus wisata yang minta dimasakkan. Komentar mereka sama, rasanya segar,” kenang Karsimin.
Saat diberi tahu adanya rencana menggelar festival kelan krikil di Kali Bening, Karsimin menyambut gembira. “Biar anak-anak sekarang tahu bagaimana nenek moyangnya dahulu akrab dengan alam,” katanya.
Hadepe – aksl