blank
Silaturahmi Pegiat Sastra Jepara digelar di Gedung Kesenian Jepara, Minggu, 30 Januari 2022

Catatan : Agung Trilaksono, Aminan Basyarie dan Beje Darjo

Sebuah acara bertajuk Silaturahmi Pegiat Sastra Jepara digelar di Gedung Kesenian Jepara, Minggu, 30 Januari 2022.  Acara ini  dihadiri oleh komunitas dan pegiat sastra di Jepara. Lima puluhan orang duduk melingkar untuk silaturahmi, saling sapa  melepas rindu.

Dipandu pembawa acara,   Yovie Samudra, acara mengalir begitu hangat. Nur Komar sebagai koordinator  kegiatan hari itu tidak banyak berkata, selain berterimakasih kepada semua yang berkenan hadir. Sementara  Aminan Basyari koordinator Komite Sastra DKD menyampaikan permohonan maaf mewakili Ketua Dewan Kesenian yang berhalangan hadir.

blank
Lima puluhan orang duduk melingkar untuk silaturahmi, saling sapa melepas rindu.

Sedangkan Alie Emje dan Sunardi Ks., sastrawan sepuh Jepara  didapuk sebagai pemantik untuk  berbagi ilmu. Keduanya masih saja tampil  andhap-asor jauh dari kesan menggurui. Sesekali mereka berdua saling gojlok menandakan keakraban satu sama lain.

Tampak ketika Alie Emje didaulat untuk berbicara, ia  hanya berbicara sesaat  tentang puisi berjudul “Senja Palsu” yang ditulis oleh Den Hasan di Group WA Pegiat Sastra Jepara yang belum genap satu bulan dibentuk. Menurut  Alie Emje pilihan diksi selain estetik juga harus logis.

Kang Alie  langsung melempar microphone kepada Sunardi Ks. dengan menyebut sebagai “kembaran saya”. Tertawa renyah terdengar dari kedua sepuh itu tentu dibarengi dengan semua audience yang hadir menyaksikan adegan mesra dua tokoh  senior sastra Jepara.

Meski sekali lagi ke-andhap asor-an, para senior membuat catatan lebih dalam bagi siapa pun yang dengan “hati” menyaksikannya. Sunardi Ks. kemudian menyampaikan pandangannya tentang kreatifitas sastra. Bagaimana seorang sastrawan menciptakan ruang sunyi bagi dirinya.

blank
Pegiat sastra Jepara, Sunardi Ks, Aminan Bsyarie dan Ali Emje

Sajian kemesraan berikutnya ditampakkan ketika Didid Endro S. hadir. Ia menampakkan suguhan “kemesraan” yang indah dari kesungguhan persahabatan yang mendarah..

Didid Endro S. menyampaikan tentang hal menerobos paradigma lama. Bagaimana sastra bisa  menggerakkan. Hal yang harus dipunyai antara lain basic social yang kuat. Kedua, puisi adalah sebuah pengakuan, ungkapan kejujuran yang dilatarbelakangi moral masing-masing.

Menurutnya ada tiga dimensi yang harus diperhatikan dalam menulis karya sastra ; pertama, dimensi pembaca. Apa yang ditulis oleh seorang penulis seharusnya bisa merubah cara hidup pembaca. Minimal menginspirasi. Kedua, dimensi penulis sendiri. Bagi penulis, bagaimana menemukan momentum puitik. Dan ketiga, dimensi gerakan. Sebuah karya tulis akan menjadi stag, bila tidak didasari oleh motivasi gerakan.

“Meski apa yang disampaikan adalah kebenaran, bahasa yang digunakan harus beretika. Dengan begitu sastra bisa menyelesaikan problem sosial. Di samping hal di atas, ia juga menyampaikan bahwa sastra harus bisa memerdekakan dari fikiran-fikiran sempit,” ujar Didid Endro. Sebelum sesi tanya jawab, suasana kemudian digelorakan dengan spontanitas perform. Puisi “Bulan sepotong semangka” dibawakan.

blank
Silaturahmi Pegiat Sastra Jepara

Sesudahnya  Ki Joko Kacang bergurit “Nglumpuke Bolot” sambil menunjukkan bawaan sehanduk kumal petualang. Asyarie Muhammad pun menjawab puisi Brodin Kawak dengan puisi “Bulan yang kembali utuh”. Tersaji pula Didit Endro S. melantunkan “Gurit Wengi”. Meski spontan terasa kesungguhan ekspresi dan guratan tajam diksinya begitu mendalam.

Setelah perform tersebut kembali pembawa acara kemudian membuka sesi tanya jawab. Melihat peserta yang malu-malu, ada yang dengan sigap langsung mengambil microphone dan memberikan kepada satu orang dari di antara yang melingkar.

Triyono dari Aksamala Cinta Sukodono kemudian bertanya kepada Sunardi Ks. Bagaimana pendidikan hari ini tidak menghasilkan sastrawan, memang menjadi rahasia umum. Tapi bagaimana berbagi ruang antara akademisi dan praktisi. Pantikan ‘paksa tanya’ itu berhasil. Hanya satu korban dipaksa bertanya, lainnya kemudian mengalir.

blank
Pegiat budaya, Fachrudin ” Brodin”

Pertanyaan kedua dari Oki Setiawan yang menyatakan bahwa sastra memang mulia. Dengan mendengar puisi, hati jadi tenang. Meskipun ada banyak puisi yang disampaikan dengan ekspresi yang menakutkan. Oki kemudian menanyakan bagaimana sastra bisa diterima oleh anak muda (kaum millenial).

Pertanyaan yang kedua adalah bagaimana kiat menulis sastra yang menggerakkan. Bagaimana menajamkan kata, biar bisa menusuk orang dengan lembut. Yang ketiga tentang adanya program pendidikan bahwa Jurusan Bahasa Indonesia di tingkat SMA/SMK yang akan ditiadakan.

Penanya ketiga adalah Nurwati Sukodono. Bercerita tentang tulisan anaknya. Bagaimana anaknya yang berkeinginan menjadi pemain sepak bola dan menuangkan dalam bentuk tulisan. Berangkat dari hal itu, Nurwati mempunyai keinginan masuk ke sekolah SD dan mengajarkan tentang menulis dan berharap melalui keberadaan Dewan Kesenian berkenan menjembatani.

Penanya keempat, Kholis J. Irohati – Komunitas Penulis Perempuan Indonesia. Menyebut diri sebagai emak-emak lebay. Meski menyebut diri lebay, Kholis tergolong giat menulis. Dari tahun 2019 telah melahirkan beberapa Antologi Puisi dengan teman-teman komunitas. Meski tetap merendahkan diri dengan menyatakan kesadaran diri bahwa selama menulis masih pada kulit ari, bukan isi. Ia menyatakan bahwa apa yang ditulis masih sebatas ekspresi spontan. Keseriusannya semakin terlihat ketika bertanya tentang  apa  hakekat lisensia puitika itu?.

Dari empat pertanyaan itu kemudian Yovie Samudra si pembawa acara mungil mencoba memoderatori dengan mengembalikan pertanyaan itu kepada para penyaji.  Sunardi Ks. yang pertama menjawab pertanyaan Triyono,  menyatakan bahwa akademisi seringkali terpenjara oleh pagar-pagar. Karena pagar-pagar itulah akhirnya justru terhambat kreatifitasnya.

Sunardi Ks.  membuat contoh perumpamaan persamaan antara preman dan kyai. Tulisan preman bisa jadi jauh lebih bijaksana daripada kyai. Karena preman bebas berekspresi tanpa takut dengan pagar ini-itu.

Seorang Sarjono dari Penerbit Jungpara yang baru berkesempatan hadir masuk ke lingkaran bersama dengan Nana KSSJ. Semakin terlihat lagi pemandangan kemesraan antar ‘sepuh’. Dalam canda Sarjono kepada Alie Emje dan Jomblo Senior (begitu sering ia menjuluki Mas Didid Endro S.) terlihat fresh dan bersemangat muda.

“Tidak salah kata silaturahmi itu, kalau diartikan berhubungan kelamin. Memang kita diawali hubungan kelamin dulu, baru nanti menjadi silaturahim. Kalau tidak ada kelamin bagaimana bisa sampai pada rahim”.  Setelah berkelakar Sarjono langsung melempar microphone ke Nana KSSJ.

Nana KSSJ bercerita tentang perjalanan hidupnya yang tidak lepas dari sastra dan menulis. Sastra itu menyentuh semua jurusan. Melanjutkan keterangannya, tentang hari ini di mana seharusnya anak-anak yang lahir itu pertama yang dikenal adalah bahasa ibu. Sebagai orang Jawa, ia  tidak percaya anak-anak mengenal itu. Banyak anak yang tidak kenal dengan Bahasa Jawa. Kemudian lagi ia menguatkan apa yang disampaikan  Alie Emje tentang bangun dari tidur dan tidur lagi membangun mimpi bagun lagi dan seterusnya. Sehingga harapan akan lahirnya buku berjudul “Dongeng Bangun Tidur” –kumpulan cermi (cerita mini) semoga terwujud, bukan sekedar mimpi.

Sekaligus membenarkan bahwa sastra adalah hal yang ilmiah. Tentang rencana program pendidikan menghapus Jurusan Bahasa di sekolah, Nana KSSJ secara pribadi hanya bisa prihatin, mungkin ada maksud baik lain dari kebiasaan adanya kebijakan baru penjabat baru.

Sambil menyungging simpul senyum, perempuan pendidik di sekolah swasta itu mengajak semua yang hadir untuk ikut bersama-sama membakar semangat yang lebih lagi bergeliat di Jepara, kumpulkan karya para pemuda sebanyak-banyaknya. Tapi sebelum keluar ke publik yang lebih luas harus digodog bersama.

Tentang unsur lisensia puitika Nana KSSJ menjelaskan sastra akan selalu berkaitan dengan lainnya. Artinya setiap karya sastra tidak cacat logika. Cerita tentang perjuangannya sejak tahun 2005 pernah ikut mengusulkan di depan Bupati, bahwa Jepara harus ada Dewan Kesenian dan memiliki Gedung Kesenian untuk berkegiatan. Alhamdulillah sekarang terwujud dan sedemikian bergairah kembali.

Sunardi Ks. pun menyambung lagi apa yang disampaikan Nana KSSJ tentang sastrawan. Menurutnya akademisi, sarjana, intelektual, termasuk kritikus itu sendiri adalah sastrawan. Lisensia puitika itu hak seorang penyair untuk merubah diksi, kata dengan ketentuan umum. Lalu tentang karya yang bisa menggerakkan anak muda, mungkin banyak yang berpikiran ketika sudah menjadi sastrawan terus ngapa ?.

Sunardi Ks. bercerita tentang seorang Pri Sandi, salah satu sastrawan yang bisa kuliah S2 dari karyanya. Bagaimana karya sastra bisa merubah kebijakan perundangan, menurutnya juga banyak catatan. Untuk menulis puisi, seorang penulis harus melakukan pendekatan riset, sehingga tidak hanya mengejar keindahan. Ada dua pilihan ; tulisan bagus tapi tidak bermanfaat untuk hari ini,  atau bermanfaat hari ini tapi tidak bagus secara teknis. Pentingnya proses dalam ber-puisi.

Berpindah kembali ke Alie Emje kemudian yang mengungkapkan,  bagaimana pun seorang penulis harus belajar ejaan dan membaca dengan serius. Karena setiap karya tulis mencerminkan penulisnya. Gelak tawa menjadi jeda dari setiap paparan dan pertanyaan. Memasuki waktu dzuhur suara adzan menjedai semua kemudian hening, menghormati waktu.

Acara kemudian dilanjutkan dengan perform kentrung progresif  Adamifa. Suasana yang hening menjadi syahdu. Dari syahdu perlahan-lahan menggelora ketika Aan Zahroni ikut berkolaborasi berpuisi dengan iringan Adamifa.

Lebih bergelora lagi ketika Yadi Donk, seorang penyandang difable membaca puisi “Rindu Cahaya” karya Didid Endro  yang    kemudian ditemani oleh Aminan Basyarie menuliskan puisi di sela obrolan nan kian menghangat.

Penulis adalah Pegiat Sastra Jepara