blank
Peserta seminar menyimak penyampaian materi oleh narasumber di kampus USM Jl Soekarno-Hatta Tlogosari. (hm)

PERJANJIAN perkawinan dianggap perlu oleh sebagian orang, namun bagi sebagian yang lain dianggap sebagai sesuatu yang aneh. Lho, menikah kok pakai hitung- hitungan.

Karena itulah menjadi salah satu alasan mengapa hal ini diseminarkan, disebarluaskan oleh Fakultas Hukum Universitas Semarang, belum lama ini.(19/1).

Masyarakat perlu mengetahui pentingnya Perjanjian Perkawinan. Apalagi dalam pergaulan zaman sekarang yang seolah tiada batas kebangsaan, juga kadang ada kepentingan “tersembunyi “ dalam satu pernikahan, dan beberapa alasan lain.

Peserta seminar adalah para mahasiswa yang memang harus mengetahui permasalahan ini sebelum lulus sebagai sarjana, beberapa organisasi sosial, juga masyarakat umum.

Pembicara Dr Supriyadi SH MKn mengupas implemantasi yuridis putusan Mahkamah Konstitusi No 69 /PUU-XII/2015 dalam kaitannya perlindungan perempuan menjelaskan, mengapa perjanjian diperlukan? Menurut notaris itu, perjanjian akan menjamin berlangsungnya harta peninggalan keluarga.

Dalam Pasal 29 UU tentang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 bukan hanya mengatur masalah harta benda dan akibat perkawinan saja melainkan juga meliputi hak-hak/kewajiban yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak, sepanjang perjanjian tidak bertentangan dengan batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.

Sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris. Jika dalam hal ini ada pihak ketiga, isi perjanjian juga berlaku padanya.

Bahasa hukum menyatakan bunyi “perjanjian perkawinan,” meskipun sebenarnya secara pribadi lebih mantap menyebut “perjanjian pernikahan,” kata Supriyadi. Dalam hukum perdata tidak ada definisi tentang perkawinan.

Di situ perkawinan merupakan hubungan perdata (perjanjian). Perkawinan harus diakui negara. Perkawinan bertujuan hidup bersama, mengikuti sistem keluarga bilateral. Demikian rujukan pada hukum Pasal 26 KUHPerdata

Di dalam hukum Islam, perkawinan bersumber pada Alquran. Merupakan aqad (ijab dan kabul) dilakukan oleh wali calon mempelai wanita, memiliki beberapa aspek, hukum, sosial, agama, membentuk rumah tangga.

Dalam hukum adat, perkawinan merupakan tahapan dalam kehidupan, perikatan perdata, adat, kekerabatan dan ketetanggaan sesuai system masyarakatnya, patrilineal, matrilineal, parental. Tujuan perkawinan ada yang berbentuk brayat, ada yang tidak berbentuk brayat.

Undang Undang No 6 Tahun 2019 menyebutkan , perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun.

Sementara itu Muhammad Hafidh, Notaris PPAT Kota Semarang mengutip arti perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang berbahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Menurut Supriyadi, dalam KUH Perdata disebut pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan perjanjian tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan adanya pihak ketiga.

Perjanjian perkawinan akan menjamin berlangsungnya harta peninggalan keluarga. Karena dalam praktiknya, dalam hal pasangan pemilik warisan keluarga meninggal maka peninggalan tersebut akan dimiliki oleh pasangan yang masih hidup.

Jika pasangan tersebut menikah lagi, warisan keluarga akan hilang dan bisa menimbulkan perseteruan.
Perjanjian juga menjamin harta warisan atau pusaka turun – temurun milik keluarga tetap dalam kekuasaan suami atau istri seperti yang tertulis dalam kesepakatan tertulis.

Hak Atas Tanah

Keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi No 69 /PUU-XII/2015 juga merupakan pengujian terhadap UU No 5 Th 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria, UU No 1 Th 1974 tentang Perkawinan untuk memastikan agar WNI yang menikah dengan WNA bisa tetap memiliki hak atas tanah ( HGB, HM, HGU ).

Pasal 26 UU No 12 / 2006 berbunyi perempuan WNI yang kawin dengan laki-laki WNA kehilangan kewarganegaraan RI jika menurut hukum negara asal suaminya, kewarganegaraan istri mengikuti kewarganegaraan suami sebagai akibat perkawinan tersebut.

Putusan Mahkamah Konstitusi No 69 /PUU-XII/2015 keluar mengingat Pasal 21 ayat (3) UUPA percampuran harta akibat perkawinan antara WNI dan WNA menimbulkan kewajiban hukum bagi WNA yang bersangkutan untuk melepaskan HM yang dimilikinya dalam jangka waktu 1 tahun sejak percampuran harta terjadi Mahkamah Konstitusi RI memenuhi kebutuhan, mengakomodasi pihak-pihak yang hendak membuat perjanjian perkawinan.

HM atau HGB
Pasal 21 ayat (3) UUPokok Agraria memberi hak kepada WNA mendapat Hak Milik (HM) atas warisan atau percampuran harta dalam perkawinan. Dalam perkawinan campuran WNI dapat mempunyai HM sejak diperolehnya hak itu setelah atau sebelum pernikahan sesuai kesepakatan.

Selanjutnya, HM itu harus dilepaskan (dijual kembali) dalam waktu satu tahun sejak terjadinya perjanjian. Dalam praktiknya, kata Supriyadi, WNI yang menikah dengan WNA selama mereka tidak punya perjanjian pemisahan harta tidak akan pernah bisa memiliki properti berstatus HM atau Hakn Guna Bangunan (HGB.)

Dampak negatif akan muncul jika pembuatan perjanjian kawin didasari niat buruk dari salah satu pihak. Misalnya jika salah satu pihak dalam posisi terjepit, pasangannya meminta dibuatkan perjanjian kawin. Bisa berdampak negatif apabila kesempatan ini disalahgunakan

Perjanjian juga menjamin harta perolehan dari warisan atau pusaka turun – temurun milik keluarga tetap dalam kekuasaan satu pihak. Perjanjian melindungi istri jika suami melakukan poligami.

Menjamin kondisi finansial pasca perceraian jika perkawinan putus atau berakhir. Menghindari motivasi perkawinan yang tidak sehat ( karena hutang misalnya ) , menjamin biaya kehidupan anak. Menjaga hubungan kemitraan dalam kepentingan bisnis, menjaga nama baik dan martabat, memperluas relasi/jaringan,dan untuk kepentingan politik.

Pelaksanaan diskusi hybrid juga menghadirkan narasumber Wakil Wali Kota Semarang, Ir Hj Hevearita Gunaryanti Rahayu MSi. Kegiatan yang dibuka oleh wakil rektor III USM Dr Muhammad Junaidi SHi MHi itu dipandu oleh B Rini Heryanti SH MH.

Humaini As/Muha