JEPARA (SUARABARU.ID)- Kursi Rafles sempat mengalami masa keemasan di Jepara pada tahun 90-an. Saat itu, permintaan kursi Rafles, terutama untuk ekspor mencapai masa puncaknya. Namun, kursi yang diambil dari nama Gubernur Hindia Belanda, Thomas Stamford Raffles yang berkuasa pada tahun 1811-1816 mempunyai sejarah panjang yang tidak diketahui banyak orang.
Tidak diketahui secara pasti kapan tepatnya kursi Raffles ini mulai dikenal publik. Dalam salah satu artikel yang ditulis seorang peneliti dari Yogyakarta, Andi Setiono Mangoenprasojo, ditulis bahwa Kursi Raffles termasuk jenis yang paling terkenal dari perabot kolonial abad ke- 19.
Gaya perabot kursi Raffles adalah jenis kursi yang berkembang di Inggris. Ciri kursi Raffles terutama dapat dilihat dalam profiling kaki, mahkota sandaran kepala, dan anyaman rotan sebagai alas duduk.
“Kursi Raffles yang ada di Jawa justru populer ketika Sir Thomas Stamford Raffles berkuasa di Singapura. Bukan saat menjadi Gubernur Hindia Belanda”, ungkap Andi ketika berhasil kami hubungi.
“Jadi, awal penamaan kursi raffles tidak bisa dipastikan apakah saat Thomas Stamford Raffles mejabat sebagai Gubernur Hindia Belanda atau saat menjadi penguasa di Singapura”, ungkapnya.
Kursi Raffles dulunya salah satu primadona para pengrajin kursi di Jepara. Khususnya di Dukuh Tendoksari, Desa Tahunan Kabupaten Jepara. Karena pada waktu itu permintaan ekspornya sangat tinggi. Namun saat ini mulai surut seiring perkembangan zaman. Salah satu generasi pengrajin kursi Raffles di Jepara yang masih bisa ditemukan saat ini adalah generasi pengrajin tahun 1959.
Kursi Raffles hadir dalam budaya Bangsawan Jawa yang kemudian diproduksi secara massal sampai dengan hari ini tidak lepas dari pengaruh kebijakan Jendral Raffles. Di mana disebutkan Jendral Raffles membuat kebijakan dengan memberlakukan Land Rent System atau sistem sewa tanah bagi penduduk Jawa. Kebijakan kolonial seperti ini tentu sangat memberatkan masyarakat Jawa karena pajak yang sangat tinggi. Pungutan pajak dilakukan secara kolektif di tiap desa.
Namun, karena kesulitan dalam memungut pajak, pihak Kolonial akhirnya bekerjasama dengan para Bupati untuk menarik pajak dari masyarakat. Ada semacam “hadiah” yang dibagi-bagikan kepada para bupati atas usahanya menarik pajak dari masyarakat. Hadiah itu diberikan dalam bentuk ‘kursi’. Akhirnya, kursi tersebut dikenal dengan sebutan “Kursi Raffles”. (Mengacu pada kebijakan yang dibuat oleh Jendral Raffles).
Dalam sebuah lukisan yang cukup terkenal karya Auguste van Pers (1815-1871) yang berjudul “Raden Adi Pati” menggambarkan seorang Bangsawan Jawa atau seorang Bupati sedang duduk di kursi. Kelak kusi tersebut populer dengan sebutan Kursi Raffles.
Lalu, siapa pencipta Kursi Raffles? Ini yang menarik, karena pada saat itu ada tiga orang Inggris Raya yang menjadi master dalam industri furniture. Ketiga nama desainer furniture tersebut juga diabadikan sebagai salah satu nama kursi di Jepara.
Ketiga nama itu adalah, Thomas Chippendale (1718-1719), George Heppelwhite (1727-1786), terakhir Thomas Sheraton (1751-1806).
Thomas Chipendeale, lebih bergaya klasik. karyanya dipengaruhi oleh selera Perancis dengan bentuk yang sangat rumit. Di Jepara, nama Thomas Chipendael diabadikan menjadi nama “Kursi Cipendel”. Sedangkan perdebatan siapa pencipta Kursi Raffles sebenarnya, ada di dua versi yang berbeda apakah George Happelwhite atau Thomas Sheraton.
Andi Setiono Mangoenprasojo sebagai seorang yang pernah bekerja sebagai kurator di Museum Sejarah Jakarta (MSJ) mengemukakan pendapatnya. Kursi Raffles lebih dipengaruhi dari desainnya Thomas Sheraton. Berdasarkan koleksi bukunya Furniture from the Netherlands East Indies 1600-1900- A Historical Perpective Based on The Collection op Troppenmuseum, karya Dave van Gompel. Uniknya, nama “Sheraton” pun menjadi salah satu nama kursi yang populer di Jepara.
Ulil Abshor