blank
Para seniman ukir tempo dulu (Dok. Google).

JEPARA (SUARABARU.ID)- Keberadaan seni ukir di Jepara sering dikaitkan dengan legenda Sungging Prabangkara. Seorang abdi dalem istanan sekaligus seniman serba bisa pada masa kerajaan Majapahit. Sungging Prabangkara adalah seorang pematung, pemahat, sekaligus pelukis.

blank
Motif ukiran yang terdapat di Masjid Mantingan

Alkisah, Sungging Prabangkara diperintah raja untuk melukis permaisuri dalam keadaan telanjang. Tanpa sengaja, cat yang berwarna hitam menetes di lukisan, tepat di sekitar daerah terlarang permaisuri hingga menyerupai tahi lalat.

Ketika lukisan tersebut diberikan kepada raja, seketika raja murka melihat tahi lalat yang persis seperti aslinya. Padahal, Sungging Prabangkara melukis menggunakan keahliannya tanpa adanya permaisuri berada di depannya. Raja menganggap Sungging Prabangkara telah menghianatinya dengan melihat permaisuri dalam keadaan telanjang. Sungging Prabangkara menerima hukuman dari raja dan diusir dari kerajaan dengan cara diterbangkan menggunakan layang-layang yang sangat besar.

blank
Model ukiran “stilir” yang menyamarkan motif hewan sesuai ajaran Islam

Sungging Prabangkara terbang bersama layang-layang tersebut dan jatuh tepat di daerah Belakang Gunung, yang sekarang menjadi Desa Mulyoharjo Jepara. Peralatan Sungging Prabangkara yang berupa tatah, atau alat pahat yang terbuat dari besi terbawa. Sehingga masyarakat Jepara, khususnya warga Desa Mulyoharjo mewarisi keahlian mengukir dan memahat. Sampai sekarang Desa Mulyoharjo menjadi salah satu sentra pengrajin patung dan ukiran.

Selain Sungging Prabangkara, asal-usul seni ukir Jepara juga sering dikaitkan dengan Sungging Badar Duwung. Seseorang yang berasal dari Cina salah satu pembantu Sultan Hadlirin, suami Ratu Kalinyamat, yang mempunyai keahlian mengukir. Dalam sejarah, konon, ukiran yang tertempel di Masjid Mantingan yang masih ada hingga saat ini merupakan hasil karya dari Sungging Badar Duwung.

Jauh sebelum seni ukir dikenal dunia, RA. Kartini sering menceritakan melalui suratnya, bagaimana kemiskinan yang dahsyat akibat kolonialisme menyebabkan para pengukir di Belakang Gunung hidup dalam penderitaan akibat kemiskinan. Kartini adalah seorang yang sangat peka terhadap seni dan budaya. Ketika dia mengetahui bahwa di Belakang Gunung (saat ini Desa Mulyoharjo, Kabupaten Jepara) banyak seniman ukir yang hidup dalam kemiskinan, dia menjadi seorang Maecenas (pelindung dan pengembang seni ukir Jepara).

Jalan yang ditempuhnya untuk mempublikasikan hasil karya ukir dari seniman-seniman yang tersembunyi ini di antaranya dengan menulis sebuah prosa tentang tanah kelahirannya Jepara yang ditunggalkannya dengan seni ukirnya yang abadi.

Judul dari prosa tersebut adalah Van een Vergeten Uithoekje atau Pojok yang Dilupakan.

“….Setengah telanjang menggelesot di atas tanah telanjang, dengan kedua belah kaki menyelonjor, yang sampai lututnya hanya tertutup celana katok, yang mungkin dahulu putih…” ( Surat, 20 Agustus 1902, kepada Nyonya Nelly van Kol. Tentang para pengukir yang hidup dalam kemiskinan).

Dan di samping itu, Kartini juga mengirimkan hadiah kepada Sri Ratu sebuah kotak perhiasan yang diukir oleh Singo (Singo adalah seniman ukir paling berpengaruh di Belakang Gunung, dan menjadi penghubung antara Kartini dengan para seniman ukir lainya).

“Seseorang yang telah menghadap Sri Ratu memberi jaminan kepadaku, juga bahwa ibu Suri mempunyai perhatian yang hangat terhadap Hindia dan bahwa juga Sri Ratu mengetahui dengan sama baiknya tentang banyak hal di Hindia ini”.

Dalam kumpulan catatannya (Kartini, Door duisternis) telah bercerita tentang kunjungannya ke tempat permakaman Mantingan. la diberitahu bahwa “Sultan Mantingan” pernah pergi ke Cina, dan bahwa ukir-ukiran dalam rumah-rumahan di situ agaknya juga berasal dari Cina (H.J. de Graaf dan TH. Pigeaud,  1985 : 120).

Masih perlu diberitakan bahwa Jepara dalam abad ke-19 dan ke-20 telah menjadi terkenal berkat pembuatan perabot-perabot dan barang-barang keperluan rumah tangga lainnya dari kayu yang dihiasi ukir-ukiran yang penuh bergaya seni. Rumah-rumah Jawa kuno di Kudus sekarang (atau dahulu) sering juga mempunyai dinding depan dari kayu dengan pintu dan jendela-jendela, yang semuanya diberi bingkai kayu dengan ukir-ukiran indah. Penduduknya, pedagang-pedagang dan pengusaha-pengusaha kayu, yang tergolong lapisan menengah “yang saleh”, dengan hiasan-hiasan ini ingin menyatakan kemakmuran mereka dalam kehidupan masyarakat. Orang boleh bertanya-tanya dalam hati apakah kesenian mengukir kayu, yang telah mencapai tingkat perkembangan tinggi di Kudus dan Jepara mungkin juga berasal dari kalangan orang-orang Cina pendatang, yang pada abad ke-15 dan ke-16 (dan mungkin sudah sebelumnya) sudah banyak terdapat di daerah-daerah ini. Dalam legenda Jawa mengenai penduduk asli di daerah itu, tempat didirikannya “kota suci” Kudus kemudian, tampil juga seorang utas pengukir kayu (H.J. de Graaf dan TH. Pigeaud, 1985 : 122).

Ulil Abshor