Oleh: Gatot Eko Y
KEHIDUPAN masyarakat nampaknya akhir-akhir ini kurang tenang dengan adanya berbagai pembangunan pabrik/tempat produksi berupa CV atau PT yang bertempat di dekat pemukiman masyarakat.
Perihal ketidaktenangan itu dirasakan, bukan hanya karena faktor sosial mereka terganggu. Tetapi lebih dari pada itu menyangkut mengenai hilangnya mata pencaharian masyarakat sekitar yang mungkin sejak awal masyarakat bergantung dengan hutan. Hutan tersebut ditebang tanpa ada penanaman kembali sebagai bentuk penghijauan lingkungan.
Atau jika kita tilik dari sumber mata pencaharian lain seperti sungai misalnya dengan pembuangan limbah sisa hasil produksinya sehingga mencemari ekosistem air secara masif.
Penyebab dari kurang perhatian atas segala tindakan yang berhubungan dengan lingkungan dapat menimbulkan efek kerusakan alam seperti banjir karena kurangnya daerah resapan air, tanah longsor karena sedimen tanah tidak lagi merata antara sisi satu dengan sisi lainnya, pencemaran air karena banyaknya zat kimia yang bercampur di dalam air dan masih banyak lagi kerusakan lingkungan lainnya yang sebagian besarnya disebabkan oleh manusia.
Keadaan ini seakan-akan menjadi momok menakutkan bagi sebagian masyarakat yang keseharian aktivitasnya berdampingan dengan kawasan pabrik/tempat produksi dikarenakan bukan hanya menimbulkan kerusakan lingkungan saja tetapi berdampak pula pada kesehatan tubuh.
Macam-macam penyakit berisiko dapat sili berganti menerpa terhadap lingkungan kurang sehat. Rata-rata penyakit yang sering dialami mulai dari gatal-gatal hingga gangguan saluran pernapasan yang jika dibiarkan berlama-lama bersarang di dalam tubuh manusia dapat mengakibatkan komplikasi penyakit yang semakin hari kian mengkhawatirkan bagi masyarakat bahkan berujung kepada kematian.
Hal-hal mendasar mengenai kesejahteraan sosial sebelum dilakukannya pembukaan pabrik/tempat produksi harus terlebih dahulu memperhatikan kehidupan masyarakat sekitar.
Pertama yang muncul dari pembangunan pabrik/tempat produksi tersebut apakah masyarakat menaruh ketergantungan hidup mereka pada lingkungan yang nantinya akan dijadikan pabrik/tempat produksi terkhusus masyarakat daerah pedesaan/adat.
Kedua apakah setelah berjalannya pabrik/tempat produksi dapat menjamin ruang dalam lingkup sosial hingga lingkungan dapat terjaga dengan baik tempat mereka tinggal.
Dan yang paling penting keselamatan jiwa masyarakat. Jangan sampai mengesampingkan kehidupan yang layak apalagi merugikan karena sesungguhnya masyarakatlah yang harus mendapatkan manfaat lebih dari pembangunan pabrik tersebut.
Jadi bukan hanya ingin membangun pabrik saja lalu meninggalkan kepentingan masyarakat seolah-olah masyarakat yang terlebih dahulu tinggal malah menjadi warga kelas dua yang tidak mempunyai hak suara atas kehidupan dan lingkungan layak bagi mereka bertempat tinggal.
Kasus Nguter Sukoharjo
Kita dapat melihat menggunakan mata kita sebagai contoh seperti yang nampak pada media digital baru-baru ini mengenai pencemaran air. Warga Kecamatan Nguter, Sukoharjo, yang terdampak pencemaran lingkungan akibat buangan limbah pabrik PT Rayon Utama Makmur atau RUM. Warga terus mengawasi perkembangan perbaikan saluran pembuangan limbah yang ditemukan jebol dan patah. Berdasarkan pemantauan warga, hingga Senin (8/11/2021), pipa yang diketahui jebol dan patah di Sungai Gupit, Desa Gupit, Nguter, belum diperbaiki. Hal tersebut diungkapkan salah satu tokoh masyarakat Desa Pengkol, Kecamatan Nguter, Tomo, Sebelumnya diberitakan, jaringan pipa pembuangan limbah PT RUM Sukoharjo di Sungai Gupit patah dan bocor sehingga air limbah langsung masuk dan bercampur dengan air sungai.
Padahal Sungai Gupit langsung mengalir ke Sungai Bengawan Solo. Pipa limbah cair pabrik yang memproduksi serat rayon itu patah di sekitar Jembatan Dukuh, Desa Gupit, Kecamatan Nguter. Air limbah cair dari pabrik membuat air sungai berubah keruh dan berbusa serta berbau tak sedap menyengat hidung di sepanjang aliran Kali Gupit. (Sumber: Solo Pos)
Masyarakat dapat belajar bersama dari peristiwa di atas betapa pentingnya aspek lingkungan bagi kesinambungan hidup manusia. Hal ini tak selaras dengan apa yang diimpi-impikan dalam Undang-Undang 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan juga bertentangan dengan asas kelestarian dan keberlanjutan yang termuat dalam pasal 2 huruf (b) Undang-Undang no.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup itu sendiri.
Regulasi terkait Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) menurut UU no. 32 tahun 2009 pasal 1 ayat (2) adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.
Dalam UU ini tercantum jelas dalam Bab X bagian 3 pasal 69 mengenai larangan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang meliputi larangan melakukan pencemaran, memasukkan benda berbahaya dan beracun (B3), memasukkan limbah ke media lingkungan hidup, melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar, dan lain sebagainya.
Larangan-larangan tersebut diikuti dengan sanksi yang tegas dan jelas tercantum pada Bab XV tentang ketentuan pidana pasal 97-123. Salah satunya adalah dalam pasal 103 yang berbunyi: Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). (Sumber : Elsam)
Penegakan Hukum Administrasi
Pemerintah pusat maupun daerah sebagai pemegang kebijakan untuk melestarian serta menjaga lingkungan dari dampak buruk yang disebabkan oleh pabrik/tempat produksi yang tidak bertanggungjawab dapat melakukan beberapa sanksi administrasi.
Jadi tidak hanya melulu pada tindakan preventif berupa pengawasan tetapi lebih kepada penjatuhkan sanksi tegas bila sudah terlihat pola perusakan lingkungan sebagai efek jera agar tidak mengulangi perbuatannya kembali. Semua orang sudah tau barang kali juga menjadi rahasia umum setiap akan dilakukannya sidak pihak korporasi malah bermain kucing-kucingan dan bahkan ada main mata agar perbuatannya tertutupi. Beberapa sanksi administrasi (pasal 76 s/d 83 Undang-Undang no.32 tahun 2009) guna menjaga kelestarian lingkungan diimplementasikan dengan cara berikut :
Teguran tertulis, tindakan untuk mengingatkan atas ketentuan yang tidak dipenuhi baik persyaratan maupun kewajiban.
Paksaan pemerintah, tindakan untuk menghentikan dan/atau memulihkan keadaan sebagaimana kondisi semula, terkadang paksaan pemerintah tidak didahului dengan teguran tertulis apabila menyangkut ancaman serius bagi lingkungan dan manusia.
Pembekuan izin, sanksi berupa tindakan hukum untuk tidak memberlakukan izin sementara izin lingkungan dan/atau izin terkait perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang berakibat pada berhentinya suatu kegiatan produksi suatu usaha bisa dengan atau tanpa batas waktu.
Pencabutan izin, sanksi berupa tindakan hukum untuk mencabut izin lingkungan dan/atau izin yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang berakibat berhentinya suatu kegiatan produksi suatu usaha yang bersifat seterusnya.
Dari uraian poin 1 sampai dengan 3 sanksi administrasi di atas selalu memberikan ruang untuk memperbaiki kesalahan padahal dalam setiap tingkat sanksi administrasi jika sudah terlihat sinyal bahwa akan terjadi kerusakan lingkungan, maka seharusnya kegiatan produksi tersebut bisa dicegah untuk selanjutnya dilakukan pengkajian. Disalah satu poin menyebutkan bila ingin melanjutkan kegiatan produksi harus melakukan perbaikan terlebih dahulu. Pertanyaan besarnya adalah apakah lingkungan yang setengah rusak atau sepenuhnya rusak bisa dilakukan perbaikan kembali terutama produktifitasnya dan bila iya apakah masih sama dengan yang sebelumnya. Rasanya berbagai peraturan dan segala jenis sanksi akan jauh lebih efisien jika pemerintah membarenginya dengan memilih orang-orang yang memiliki jiwa integritas dan dedikasi tinggi.
Pemerintah Jangan Abai
Dengan demikian pemerintah diminta tidak abai terkait permasalahan masyarakat yang menyangkut tentang isu lingkungan. Tidak selamanya pembangunan pabrik/kegiatan produksi didekat masyarakat bagus untuk kehidupan masyarakat pula bahkan tidak sedikit masyarakat yang merasa terancam jiwa dan masa depannya dengan keberadaannya.
Selain persyaratan dan kewajiban yang harus dipenuhi untuk negara sebuah perusahaan juga harus melihat bagian penting lingkungan yang akan digunakan beserta turunannya termasuk masyarakat yang telah menetap terlebih dahulu.
Hal ini tidak pernah tidak bisa terselesaikan dengan baik dikarenakan tidak tegasnya pemerintah dalam melakukan pengawasan dan pemberian sanksi kepada pabrik/tempat produksi yang melanggar dari apa yang seharusnya mereka taati, ikuti, dan turut serta menjaga lingkungan.
Ini sebagai bentuk kesadaran bahwa lingkunganlah salah satu sumber penyumbang bagi kelanjutan hidup manusia. Jangan sampai ada anggapan pemerintah baru bertindak setelah lingkungan terlanjur rusak.
Gatot Eko Y, mahasiswa Fakultas Hukum UNISSULA, Semarang.