blank
Ilustrasi antara screen reader, huruf braille, dan Louis Braille. Foto: Ist

Oleh: Mohammad Aenul Yaqin dan Meilan Arsanti, M.Pd.

PADA era digital yang semakin maju, semua dimudahkan oleh kecanggihan teknologi. Mulai dari berbelanja, konsultasi kesehatan, memesan makanan, sampai dengan proses berjalannya belajar mengajar semua dapat diakses dengan mudah, bahkan dari satu tempat.

Segala kemudahan di era digital tersebut dapat dirasakan oleh semua kalangan, termasuk penyandang disabilitas tunanetra.

Dengan menggunakan aplikasi khusus pembaca layar (screen reader) yang diinstal di komputer maupun smart phone, penyandang tunanetra dapat mengakses kecanggihan teknologi, mulai dari menulis, mengakses internet, belajar mengajar, bahkan berbelanja online dan berselancar di sosial media dapat dilakukan oleh penyandang tunanetra.

Mengutip dari detikcom, aplikasi pembaca layar (screen reader) adalah piranti lunak yang digunakan tunanetra untuk mengoperasikan komputer. Teks tersebut diubah menjadi suara menggunakan teknologi speech synthesizer, sehingga hasilnya dapat didengar oleh tunanetra.

Aplikasi tersebut sangat membantu penyandang tunanetra didalam mengakses kecanggihan teknologi, meskipun dalam hal mendeskripsikan sebuah gambar. Aplikasi ini kurang berfungsi dengan baik, namun seiring dengan kemajuan teknologi, pembaharuan aplikasi ini pun terus ditingkatkan kualitas maupun fungsinya sehingga semakin memudahkan penyandang tunanetra di dalam mengakses kecanggihan teknologi.

Lalu bagaimanakah kedudukan dan fungsi huruf braille di era teknologi yang semakin canggih ini? Huruf braille merupakan huruf khusus yang digunakan oleh tunanetra didalam belajar mengajar. Huruf beraille ditemukan oleh Louis Braille pada tahun 1824.

Dengan ditemukannya huruf braille oleh Louis Braille yang juga seorang penyandang tunanetra, maka penyandang tunanetra dapat membaca dan menulis dengan menggunakan indra peraba.

Bahkan selain digunakan oleh tunanetra, huruf braille juga digunakan militer untuk membaca sandi, dan membaca tulisan di dalam kegelapan. Sampai dengan saat ini, huruf braille masih digunakan oleh penyandang tunanetra di dalam proses belajar mengajar di sekolah luarbiasa (SLB), maupun sekolah-sekolah inklusi yang terdapat siswa disabilitas tunanetra.

Tetapi di era digital yang semakin maju, kedudukan huruf braille semakin tergeser oleh canggihnya teknologi. Ditemukannya aplikasi pembaca layar (screen reader), membuat penyandang disabilitas tunanetra lebih senang mendengarkan, daripada membaca dengan teknik sentuh (meraba).

Di dalam mencari bahan ajar maupun mengajar kini siswa dan pendidik tunanetra lebih sering menggunakan dokumen PDF yang sangat mudah diakses dan dapat langsung dibaca menggunakan aplikasi screen reader yang terinstal di smart phone, laptop, maupun komputer.

Saya sendiri sebagai mahasiswa penyandang disabilitas tunanetra total blind, lebih sering membaca buku-buku PDF saat saya mencari referensi tugas kuliah. Hal ini karena buku braile sangat sulit didapatkan di perpustakaan terdekat.

Selain itu, mobilitas saya yang terbatas, membuat saya lebih memilih untuk mencari referensi kuliah dari buku PDF yang bisa didapatkan di perpustakaan online melalui google.

Bahkan saat membaca bacaan hiburan seperti novel, cerpen maupun puisi, saya dan sebagian tunanetra kini lebih senang membaca melalui PDF, yang kini semakin mudah didapat, daripada buku-buku braille.

Menurunnya minat penyandang tunanetra dalam membaca buku-buku braille disebabkan buku beraille sangat jarang ditemukan di perpustakaan umum. Selain itu, kecanggihan teknologi seperti aplikasi pembaca layar, membuat penyandang tunanetra lebih cepat mendapatkan informasi, melalui internet, daripada melalui buku-buku atau majalah braille.

Kemudian, sebagian tunanetra berpendapat, membaca dengan menggunakan screen reader lebih cepat menyerap informasi dari bahan bacaan, daripada membaca dengan teknik meraba.

Akan tetapi yang perlu diingat, bahwa cara membaca menggunakan screen reader yang banyak digandrungi oleh kalangan tunanetra saat ini, sebenarnya lebih tepat dikatakan mendengarkan (menyimak).

Hal itu dikarenakan tulisan dikonversi menjadi audio, dengan menggunakan aplikasi screen reader, sehingga penyandang tunanetra hanya tinggal mendengarkan teks yang dibacakan oleh aplikasi screen reader tersebut.

Maka, hal tersebut dapat berpotensi menurunkan keahlian kemampuan tunanetra didalam membaca braille. Hal ini perlu mendapat perhatian dari pemerintah, dan segenap tenaga pendidik yang mengajar di sekolah luar biasa (SLB), maupun yang mengajar di sekolah inklusi.

Penggunaan huruf braille didalam proses belajar mengajar penyandang tunanetra wajib selalu diimplementasikan dalam pelaksanaan belajar mengajar, dengan tujuan terus mempertahankan ketrampilan penyandang tunanetra didalam membaca huruf braille di tengah-tengah kecanggihan teknologi pada era digital seperti saat ini.

Popularitas huruf braille di kalangan penyandang tunanetra perlu dijaga, dan dipertahankan eksistensinya. Sehingga peran pemerintah dan sektor pendidikan luar biasa di dalam menggerakan budaya membaca braille di kalangan tunanetra perlu ditingkatkan, agar huruf braille tak semakin terlupakan dikemajuan zaman.

Mohammad Aenul Yaqin (Mahasiswa Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia, FKIP Universitas Islam Sultan Agung), dan Meilan Arsanti, M.Pd (Dosen FKIP Universitas Islam Sultan Agung).