blank
Sulismanto

Oleh Sulismanto

Penetapan upah minimum kabupaten/kota (UMK) selalu menghiasi pemberitaan media massa menjelang tutup tahun. Namun berita ini selalu didahului dengan kabar demonstrasi serikat pekerja. Tuntutannya selalu sama, kenaikan UMK. Serikat pekerja punya formulasi penghitungan yang jumlahnya selalu di atas jumlah kenaikan berdasar formulasi pemerintah.

Berlangsung di era media sosial (medsos), respons warga terhadap demonstrasi kenaikan UMK ini bisa dibaca dari apa yang dituangkan oleh warganet di medsosnya. Entah melalui status pribadi atau melalui komentar pada unggahan di grup-grup media sosial.

Di Jepara, sikap masyarakat terhadap aksi demonstrasi kenaikan UMK menyajikan fenomena menarik. Unggahan kabar ini  selalu ditanggapi negatif oleh warganet.

Tentu ada sejumlah teori yang bisa dikemukakan untuk memahami respons ini, tergantung dari sudut mana ingin dikupas. Salah satunya dari sisi sosiokultural, yang ternyata bisa memberi gambaran latar belakang untuk memahami fenomena ini.

Dari sisi sosiokultural, warga Jepara secara turun-temurun ditempa oleh sikap arif dalam mengelola warisan budaya leluhurnya, yaitu mengukir. Produk budaya ini telah begitu lama bertransformasi dari sekedar produk seni dan kerajinan, menjadi produk industri bernilai ekonomi tinggi. Mebel ukir Jepara adalah motor sektor industri pengolahan menjadi soko guru perekonomian daerah.

Kondisi ini terus bertahan, bahkan hingga industri PMA dan PMDN “raksasa” banyak berdiri di Jepara, lalu serikat pekerjanya sesekali memperjuangkann perbaikan nasibnya melalui demonstrasi UMK.  Buktinya adalah data Badan Pusat Statistik (BPS). Pada Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku tahun 2020, di Jepara, Industri Pengolahan berkontribusi hingga 34,86 persen, diikuti sektor Perdagangan 16,21 persen, serta sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perkebunan sebesar 13,82 persen.

Ada juga Indikator Ekonomi Kabupaten Jepara 2019, yang merupakan publikasi indikator ekonomi termutakhir BPS, Publikasi ini menegaskan dominasi mebel ukir. Volume dan nilai ekspor UMKM komoditas mebel, belum tergeser oleh perusahaan-perusahaan besar PMA dan PMDN di bidang garmen dan sepatu.

Sepanjang 2019, nilai ekspor komoditas mebel dari kayu yang dilakukan ke 112 negara, mencapai  US $ 186 juta. Sedangkan nilai ekspor produk garmen dan sepatu baru mencapai  US $ 178 juta.

 Sosiokultural masyarakat

Besarnya dominasi ini boleh kita yakini berbanding lurus dengan lapangan pekerjaan yang digeluti warga Jepara. Siapa yang akan membantah jika mayoritas warga Jepara bekerja di sektor ini? Mayoritas kaum pria bekerja sebagai tukang kayu dan pengukir, sementara mayoritas kaum perempuan bekerja sebagai tukang amplas, dan tentu juga pengukir.

Latar belakang sosiokultural seperti itulah yang menempa warga Jepara, sebagaimana tercermin dari sikap warganetnya. Mereka cenderung berada di sisi berseberangan dengan serikat pekerja dalam memandang UMK. Sejak kecil, sejak belajar bekerja, warga Jepara tidak pernah mengenal apa yang sekarang disebut UMK. Pola hubungan kerja mereka kekeluargaan, bukan hubungan industrial. Upah yang diterima, baik harian maupun borongan, sama sekali tidak berhubungan dengan rumus-rumus yang sekarang ada dalam formulasi penghitungan UMK.

Pekerja mahir tahu benar berapa upah untuk setiap pekerjaan. Jika cocok dikerjakan, jika tak cocok, pindah ke tempat lain. Hanya seperti itu. Tidak ada demonstrasi. Mereka tak memiliki serikat pekerja untuk merumuskan nilai tawar di depan pemberi kerja.

Lalu pola pewarisan keterampilan pekerja mebel dan ukir. Pada masa lalu, ketika belum ada tema pekerja anak, pemuda bahkan anak-anak yang ingin belajar bekerja, sukarela menjadi kenek tukang yang sudah mahir. Nyantrik bentuknya, meski istilah itu hampir tak dikenal di kalangan tukang kayu Jepara. Entah nyantrik kepada sudaranya, tetangganya, atau bahkan orang lain yang bekerja di sekitarnya. Kenek atau cantrik diajari bekerja dari bagian pekerjaan paling ringan. Lalu seiring waktu, ke bagian yang sulit. Pada akhirnya bisa bekerja nukang sendiri.

Dalam masa itu, kenek belajar, tukang ahli terbantu pekerjaannya. Saat menerima upah, tukang ahli sukarela membaginya kepada kenek. Berapapun yang diterima, kenek bersyukur karena bisa belajar, namun tetap dibayar, meski sekadarnya.

Dalam jenis pekerjaan berbeda, latar belakang sosiokultural semacam ini terjadi juga di sentra-sentra UMKM lain di Jepara. Ada sentra roti di Bugo (Welahan), industri monel di Kriyan (Kalinyamtan), tenun di Troso (Pecangaan), sentra relief Senenan (Tahunan), hingga sentra patung Mulyoharjo (Jepara).

Kepatuhan terhadap konstruksi sosial juga berkontribusi dengan sikap ini. Agar tetap bisa merawat anak-anak atau keluarganya, agar tetap menyiapkan masakan untuk keluarga sekaligus tetap bekerja, mayoritas perempuan Jepara memilih bekerja di sekitar rumah meski dengan upah seadanya. Di lingkungan masyarakat agamais, keyakinan terhadap “hitungan di luar kalkulator” terbangun dari ajaran agama untuk menyukuri berapapun yang diterima.

Demikian juga dengan banyak suami yang notabene tulang punggung keluarga. Di Jepara tidak sulit menemukan tukang serabutan laki-laki di sektor mebel yang upah hariannya  Rp80 ribu per hari, bahkan di bawahnya. Jika sebulan bekerja 25 hari, total upahnya Rp2 juta. Masih di bawah UMK Jepara tahun 2022 yang baru saja ditetapkan Gubernur Ganjar Pranowo sebesar Rp2.108.403,11.

Sikap nrima ing pandum dan kondisi-kondisi seperti itulah yang menjadikan banyak warga Jepara sulit memahami aksi serikat pekerja berdemonstrasi menuntut kenaikan UMK. Apalagi jika nominalnya jauh di atas formulasi yang digunakan pemerintah. Apalagi jika aksi itu kemudian mengganggu kepentingan umum. Menyebabkan kemacetan misalnya.

Namun tetap kita syukuri bahwa semuanya berjalan dalam koridor yang semestinya. Penyampaian pendapat di muka umum yang dilakukan pekerja adalah hak konstitusional. Kebebasan memperjuangkan hak itu diatur dalam UUD 1945. Mereka menjalankan kewajiban sebagai pekerja, lalu memperjuangkan haknya seiring keinginan untuk hidup lebih sejahtera.

Sedangkan dari sisi warganet, sikap mereka tetap berada dalam bingkai pernghormatan terhadap konstitusi, meski bisa jadi banyak yang tidak paham amanat konstitusi itu. Mereka pun menyampaikan pendapat di media sosial, tanpa mengganggu serikat pekerja saat menyampaikan pendapat di muka umum. Dalam kadarnya sendiri, mereka tetap saling menghormati.

Di lingkungan masyarakat Jawa, sikap saling menghormati menjadikan nilai-nalai Jawa tak tercerabut dari akarnya. Sebab, sebagaimana pandangan Suwardi Endraswara dalam Etika Hidup Orang Jawa (2010), masyarakat Jawa mengatur interaksi-interaksinya melalui dua prinsip, yakni kerukunan dan hormat. Dua prinsip itu menuntut bahwa dalam segala bentuk interaksi, konflik-konflik terbuka harus dicegah.

Penulis adalah peminat masalah sosial, bekerja di Diskominfo Kabupaten Jepara dan sebelumnya pernah bekerja sebagai tukang kayu selama 4 tahun