SEMARANG (SUARABARU.ID) – Turunnya jumlah kasus Covid-19 di Kota Semarang memunculkan sebuah pertanyaan, apakah masyarakat sudah diperbolehkan melepas masker terutama saat beraktivitas di luar rumah?
Terkait hal tersebut, Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang, dr Mochamad Abdul Hakam, Sp.PD menampik keras. Menurutnya, belum ada dasar hukum yang diubah.
Protokol Kesehatan (Prokes) harus tetap dipatuhi. Yakni, memakai masker, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, mencuci tangan pakai sabun di air mengalir atau hand sanizer, serta menghindari bepergian kecuali untuk keperluan mendesak.
“Selama pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) belum dicabut, maka masyarakat harus tetap mengikuti protokol kesehatan. Pemberlakuannya masih sama, protokol kesehatan harus,” ungkapnya saat menjadi narasumber dalam Focus Group Discussion (FGD) pada Halaqoh Ulama bertema ‘Mengurai Problematika Ibadah Umat Islam masa PPKM di Kota Semarang, Rabu (10/11/2021).
Menurut dr. Hakam, memang ada yang sudah berubah di Kota Semarang, yakni dalam hal jumlah kasus Covid-19. Saat ini, jumlah pasien kasus Covid-19 di Kota Semarang sudah sedikit, sehingga status PPKM pun berubah menjadi PPKM level 1.
Meski demikian, status tersebut tidak berarti masyarakat kemudian bisa bebas seperti sebelum wabah Covid-19 menyerang.
Narasumber lain Kyai Sa’dullah Shodiq menyampaikan pendapatnya bahwa sebagai hamba Allah, manusia harus menjalankan perintah-perintah sekaligus menjauhi larangan-larangan-Nya, salah satunya adalah perintah menjalankan ibadah mahdhah seperti sholat. “Perintah shalat itu ibadah mahdhah, namun kaifiyah (tata caranya) itu adalah ijtihadi,” tegasnya.
Mengingat tata cara shalat karena bersifat ijtihadi, maka menurutnya ada beberapa hal yang bisa dilakukan sepanjang tidak keluar dari dasar hukum dan kaidah fiqihnya. Contohnya dalam hal memakai masker ketika sedang shalat, ia menyatakan bahwa hal tersebut diperbolehkan.
“Memang dalam keadaan normal, memakai masker dalam shalat adalah makruh, namun karena kondisi darurat maka diperbolehkan,” tegasnya.
Dikatakan bahwa pandemi saat ini termasuk sebuah kedaruratan, sehingga menjadikan hukum memakai masker dalam shalat diperbolehkan.
Kebijakan pemberlakuan pandemi dan kewajiban menjalankan protokol kesehatan termasuk memakai masker ini menurutnya harus ditaati dan tidak boleh disanggah.
Ia merunut kaidah fiqih bahwa pemerintah sebagai penguasa, yang keputusannya selalu final dan tidak bisa diganggu lagi, kecuali memang keputusannya benar-benar menyimpang dari perintah dan larangan Allah.
“Hukmul-Haakim Ilzaamun Yarfa’u Al-Khilaf (keputusan hakim adalah suatu yang harus ditaati sebagai pemutus perbedaan),” sambungnya.
FGD sendiri diselenggarakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Semarang, yang diikuti oleh sejumlah ulama dan kyai yang merupakan utusan dari 16 pengurus MUI kecamatan di Kota Semarang.
Sementara itu Ketua umum MUI Kota Semarang, Prof Dr KH Moh Erfan Soebahar memberikan alasan diselenggarakannya kegiatan selepas maghrib, karena waktu Maghrib adalah waktu yang bermakna, bahkan termasuk waktu yang tidak disia-siakan oleh para ulama dan kyai.
Dr. KH. Ali Imron, M.Ag selaku ketua panitia berharap, hasil dari FGD ini bisa menjadi acuan untuk disampaikan kepada pemerintah, dalam hal ini adalah Pemerintah Kota Semarang. “Harapannya FGD ini mampu menghasilkan rekomendasi yang dapat dikirimkan ke Wali Kota,” ungkapnya.
Ning-mul