KOTA MUNGKID(SUARABARU.ID)-Belakangan ini hawa dingin dirasakan warga di banyak tempat. Ada alternatif penghangat badan yang bisa dinikmati warga sekitar Desa Wringinputih, Borobudur, Kabupaten Magelang. Tepatnya di Dusun Bojong ada penjual bubur sayur yang cocok dinikmati di pagi hari berhawa dingin.
Ya, di sana ada mbok Suwarni (60) yang menjajakan makanan bubur beras dengan jangan tahu (sayur tahu) dan menyediakan aneka makanan gorengan. Ada tempe kedelai goreng, tempe gembus goreng, bakwan, rolade, pisang goreng, getuk goreng, juga getuk singkong. Getuk singkongnya setiap hari berganti rasa. Kalau hari ini getuk rasa manis yang dilengkapi parutan kelapa, esok hari getuk dengan sambal cabe.
Aneka makanan itu dijajakan di ruang dapur sederhana dengan pagar anyaman bambu. Sarana masaknya menggunakan tungku dengan bahan bakar ranting kayu yang telah kering. Dengan demikian pembelinya bisa merasakan kehangatan tungku dapur alami.
Meski kondisinya sangat sederhana, ternyata pembelinya cukup banyak. Ada yang dengan berjalan kaki, banyak juga yang mengendarai sepeda motor. Itu lantaran selain masakannya enak, juga karena harganya murah. Bayangkan, sepiring atau sebungkus bubur sayur hanya seharga Rp 2 ribu. Itupun banyak konsumen yang membeli seribu atau seribu lima ratus rupiah. “Kulo Sewu mawon ditum (saya beli seribu saja, dibungkus),” pinta salah satu pembeli, tadi pagi.
Padahal, kata pedagangnya, untuk saat ini penjualan dengan harga seperti itu hanya impas dengan modalnya. Sebab dia gunakan beras berkualitas baik. Untuk menaikkan harga dia pun khawatir ditinggalkan pelanggannya.
Sementara untuk menyiapkan barang dagangan di pagi hari itu dia harus bangun sejak pukul dua pagi. Karena selain harus memasak bubur, juga sayur. Selain itu menyediakan aneka gorengan. Belum lagi harus menumbuk singkong untuk membuat getuk.
“Sejak Subuh sudah ada pembeli yang datang,” katanya.
Biasanya menu bubur sudah habis di pagi hari. Sedangkan makanan aneka gorengan yang belum habis biasanya dijajakan keliling kampung dengan berjalan kaki. Rata-rata pukul sembilan atau sepuluh pagi dagangannya sudah habis.
Bisa dibayangkan perjuangan yang dilakukan Mbok Suwrni setiap hari. Dia bekerja sejak pukul dua hingga sembilan pagi, dengan peralatan tradisional dan berjalan kaki.
Untuk memperbaiki rumahnya, janda dengan dua anak dan empat cucu itu mengaku belum punya modal biaya pembangunan rumah. Sedangkan material bahan bangunan sudah dia miliki, yang dibeli sedikit demi sedikit. Tentu dia amat senang kalau ada uluran tangan dari pemerintah atau donatur.
Eko Priyono