MAS Mulyanto Utomo. Mengenalnya pertama kali saat kami sama-sama menang lomba penulisan tentang pariwisata, yang diselenggarakan Pemprov Jateng tahun 1995. Kemudian bertemu lagi ketika sama-sama testing saat Solopos mau terbit. Dia diterima, tetapi aku tidak. Dan, dalam perkembangannya dia menjadi Pemimpin Redaksi Solopos.
Lalu kami menjadi erat bersahabat. Dalam berbagai kegiatan kami saling bertemu. Kemudian kami mendengar dia mengalami kecelakaan yang mengakibatkan kelumpuhan. Tetapi meskipun harus berkursi roda, dia tidak menjadi lemah. Dia tetap berkarya, baik dalam dunia jurnalistik, akademik, maupun sosial.
Dia mengajar, dia melayani masyarakat lewat yayasan sosial, dia tetap menulis, bahkan menerbitkan sebuah buku yang berjudul Dua Detik Mengubah Hidup. Ini kisah sejatinya, saat dia tertabrak oleh mobil Innovanya yang mendadak melaju. Kejadian dua detik itulah yang memgubah hidupnya, menjadi seorang tunadaksa, dan harus berkursi roda.
Saya sempat bertemu saat dia memaparkan buku karyanya itu di Toko Buku Gramedia Semarang. Itu pertemuan pertama semenjak kecelakaan yang menimpa dirinya. Dia yang duduk di kursi roda, aku datangi, aku peluk sambil menangis.
Aku menangis bukan karena kasihan padanya. Tetapi justru keterharuan dan penghormatanku padanya. Karena dia tidak ingin dikasihani, tetapi saya merasa dia seorang sahabat. Dia yang kukenal bertutur kata lembut, dan memanggilku “Mas Wied”. Begitu pula aku memanggilnya “Mas Mul”.
Selain buku Dua Detik Mengubah Hidup” dia juga menulis buku Orang Lumpuh Naik Haji. Dalam kelumpuhannya, karena punya semangat dan penuh rasa syukur, maka Tuhan pun memanggilnya untuk datang ke Tanah Suci, menunaikan ibadah haji. Kalau ada ungkapan Jawa lempoh ngideri bumi, sebagai sesuatu yang musykil dilakukan, nyatanya Mas Mul bisa melakukannya.
“Rival” yang Jadi Sahabat
Persahabatan saya dengan Mas Mul memang bermula dari “rivalitas”. Dia pesaing saya ketika sama-sama mengikuti lomba penulisan paiwisata tingkat provinsi Jawa Tengah.
Saat itu dia masih berstatus wartawan Bernas, Yogya. Kebetulan saya juara I dia juara III. Dia pesaing saya juga ketika sama-sama melamar di Solopos. Dia diterima sedangkan saya tidak. Dan, akhirnya dia mencapai puncaknya sebagai Pemimpin Redaksi Solopos.
Meski saya memilih kata “rivalitas”, bukan bermaksud untuk kami bersaing secara keras. Sama sekali tidak. Soal diksi, kadang saya memang mungkin berlebihan. Sebagai contoh, saya punya seorang teman, bahkan sahabat, yang saya menyebut dan selalu menyampaikan kepada teman-teman bahwa dia dulu adalah “musuh”.
Ya, saat kami masih di Wonosono, saya menjadi utusan SMA Negeri 1 Wonosobo untuk mengikuti lomba cerdas tangkas tingkat kabupaten. Lawannya teman-teman dari SPG, SMEA, dan STM. Musuh terberat adalah grup SPG, salah satu anggotanya seorang perempuan, yang sekarang tinggal di Solo.
Sampai saat ini saya masih bersahabat erat dengannya, dan setiap kali bertemu, saya selalu bilang, “Iki biyen mungsuhku.” Musuh dalam pengertian “teman belajar, teman bermain, teman diskusi”. Dan, dalam perkembangannya menjadi sahabat yang menyenangkan sampai berpuluh tahun. Demikian halnya saya dengan Mas Mul.
Dalam sebuah acara di Semarang, tepatnya di Balai Kota Semarang, Mas Mul mendatangi kursi tempat duduk saya, begitu tahu saya ada di sana. Begitu pula ketika mengikuti training for trainer untuk asesor Uji Kompetensi Wartawan di Hotel Inna Garuda di Yogya. Kami pun bereuni kecil, lalu berfoto-foto bersama Mas Octo Lampito, Pemimpin Redaksi Kedaulatan Rakyat.
Ketika acara di Solo, dalam sebuah seminar di Monumen Pers, kami pun asyik berbincang setelah seminar selesai. Berbicara tentang banyak hal, terutama terkait dengan pekerjaan kami sebagai wartawan, dan pengalaman-pengalaman kerja kami.
Ketika kami jarang bertemu, tetapi masih sering bersapa di media sosial, karena kami sama-sama anggota “Jamaah Al Fesbuqiyah”. Sehingga dari FB kami tahu bagaimana keadaan Mas Mul. Bagaimana dia berkegiatan sosial, mengajar, mantu, punya cucu, dan sebagainya.
Mas Mul, lelaki yang sangat menginspirasi. Dalam keterbatasannya, dia tidak mengeluh apalagi putus asa. Justru, dia menunjukkan kualitasnya sebagai manusia. Dia memberikan inspirasi kepada orang banyak, bahwa keterbatasan tidak untuk disesali, tidak untuk menjadi alasan berputus asa kemudin tidak berbuat sesuatu.
Ketika tiba-tiba aku mendengar Mas Mul telah berpulang, kembali ke dalam pangkuan Illahi, saya kaget. Begitu cepat Tuhan memanggilnya. Tetapi siapa yang kuasa, ketika Yang Empunya sudah menetapkan harinya.
Selamat jalan Mas Mul, engkau orang baik, sangat baik. Tuhan sangat menyayangimu. Semoga surgalah tempatmu.
RIP – Rahayu ing Palereman, Mas Mulyanto Utomo.
Widiyartobo R