Oleh: Amir Machmud NS
DALAM hampir setiap pertemuan, dan mengawali dengan jabat tangan (sebelum masa-masa pandemi Covid-19), selalu ada yang saya amati dari ekspresi Subroto. Terhadap kolega-kolega tertentu, Ketua Umum KONI 2017-2021 ini suka berakrab-akrab dengan cipika-cipiki, setelah sebelumnya menyampaikan salam hormat khas militer.
Seulas senyum kadang melintas. Dalam raut ramah, senyumnya boleh dibilang agak minimalis. Wajahnya lebih sering menunjukkan keseriusan. Dalam sejumlah rapat pengurus KONI, ketika saya goda dengan guyonan, kadang-kadang dia memperlihatkan senyum lebar. Pun, sebagai ungkapan keakraban karena merasa judheg digoda, tak jarang dia pura-pura memukul pundak saya.
Ya, begitulah Pak Bro — panggilan akrab dari kami — merespons letupan-letupan candaan di sela-sela kesuntukan rapat. Dia memang berlatar belakang militer, dengan pangkat terakhir Brigadir Jenderal TNI Angkatan Darat. Pembawaan tegas sebagai eks tentara sesekali terasa dalam sikapnya.
Senyum minimalis dan sapaan akrab, “Siap. Sehat ya mas?!” itu kini takkan kami temui lagi. Minggu malam 27 Juni 2021 Subroto wafat di Salatiga dalam usia 62 tahun. Pria kelahiran Kendal 22 Februari 1959 itu meninggalkan istri, tiga anak, dan lima cucu. KONI kehilangan pucuk pimpinan di tengah meningkatnya intensitas penyiapan kontingen Jawa Tengah untuk PON Papua.
“Kami kehilangan. Saat dikabari oleh keluarga beliau di Salatiga, saya merasa syok,” cetus Wakil Ketua Umum KONI Bidang Organisasi Bona Ventura Sulistiana.
“Ketika beliau berada di ICU kemarin sore, kami masih berkomunikasi lewat chat WhatsApp. Terakhir beliau menyampaikan, ‘Maaf saya sedang kumat’. Tampaknya ketika itu beliau mengalami sesak napas,” tutur Sekretaris Umum Heny Setyawati.
“Saya sudah menyiapkan diri menjadi donor plasma, apabila memenuhi syarat, tetapi Allah berkehendak lain,” timpal Wakil Ketua Umum Bidang Pembinaan, Sudarsono.
Kenangan Purworejo
Saya termasuk unsur pengurus yang paling sering mencandai Pak Broto, apakah saat bertemu langsung, atau melalui chat-chat WA. Kadang dia menimpali, kadang pula hanya merespons dengan senyum minimalisnya.
Masih terbayang dalam kenangan, ketika saya dan Wakil Sekretaris Umum Ade Oesman menyusul Pak Bro yang akan melantik pengurus KONI Kabupaten Purworejo, November 2020. Dia terlebih dahulu hadir bersama pengurus Bidang Organisasi KONI Uen Hartiwan.
Saat itu saya memerlukan hadir karena ketua umum yang akan dilantik adalah Gunarwan (kini almarhum), yang juga ketua PWI setempat. Sebagai Ketua PWI Provinsi Jateng, saya bermaksud mengapresiasi dan menyampaikan selamat secara langsung.
Dalam perjalanan menuju lokasi pelantikan, saya dan Ade menggunakan google maps. Platform penunjuk jalan canggih itu menuntun kami melewati sejumlah jalan dengan nama-nama tokoh militer. Ada Jenderal Ahmad Yani, Jenderal Gatot Subroto, Jalan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo, dan Jalan Urip Sumoharjo.
Saat bertemu dengan beliau, saya lempar guyon asal-asalan, “Pak, tadi google maps memberi petunjuk khusus. Setelah 300 meter belok kiri ke Jalan Jenderal Ahmad Yani, lalu setelah 700 meter belok kanan ke Jalan Jenderal Gatot Subroto, dan di lokasi pelantikan Anda sudah ditunggu oleh Jenderal Subroto…”
Pak Broto yang rupanya tidak menyangka dengan guyonan seperti itu langsung meletupkan tawa riuh. Inilah untuk kali pertama saya melihat dia merespons candaan dengan ekspresif. Bahkan, yang tidak saya duga, dalam sambutan pelantikan, guyonan itu dijadikan bagian dari selingan pidatonya.
Dalam kebersamaan selama tiga tahun ini, tak jarang para pengurus bersitegang dengan Pak Broto dalam beda prinsip mengenai sejumlah hal, baik organisasi, pembinaan, maupun kehumasan. Sering pula kami saling ngotot dalam rapat-rapat pengurus. Namun silang pendapat itu terasa memperkaya nuansa pengambilan keputusan, tidak sampai menimbulkan konflik dan luka organisasi.
Sekitar dua pekan lalu, saya memosting ungkapan keprihatinan tentang perkembangan pandemi Covid-19 ke WAG Pimpinan KONI dan di WAG Pengurus. Gelombang kedua pandemi ini menciptakan suasana ketidakpastian dalam semua segi persiapan menuju PON Papua. Varian delta dari India itu dinilai berperangai lebih ganas.
Bagaimana kira-kira kepastian penyelenggaraan PON, tetap dilangsungkan atau dimodifikasi menjadi seperti apa? Akan adakah sikap KONI Pusat dan pemerintah untuk memastikan pelaksanaan setelah melihat eskalasi pandemi, termasuk kondisi politik-keamanan di Papua?
Dalam kondisi sakit, Pak Bro masih sempat merespons, dengan meminta Sekum agar kembali berkoordinasi dengan KONI Pusat. Boleh jadi, hingga akhir hayat, Pak Bro ingin menunjukkan loyalitasnya kepada dunia olahraga.
Dalam beberapa segi, Subroto cukup terbuka mendengarkan saran. Pengambilan keputusan organisasi selalu melibatkan pendapat dari unsur pengurus. “yang saya sedihkan, Pak Bro tidak sempat melihat follow up persiapan atlet-atlet dari cabang-cabang olahraga yang beliau ikut terlibat,” tutur Wasekum Ade Oesman.
Dan, yang pasti, kita tak lagi bertemu dengan seulas senyum minimalisnya. Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fu anhu. Selamat beristirahat, Pak Bro…
— Amir Machmud NS, Wakil Ketua Umum Bidang Kerja Sama, dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah