blank
Ilustrasi/kompas.com

Oleh: JC Tukiman Tarunasayoga

blank
JC Tukiman Tarunasayoga

MEMODIFIKASI “Setan ora doyan, dhemit ora dulit” (setan tidak mau makan/mengganggu dan dhemit tak mau menempel), topik ini mengingatkan salah satu pengalaman masa kecil dulu (sewaktu Sekolah Rakyat) ketika saya divonis “lara ketempelan dhemit/LKD.”

Konon, ciri-ciri orang LKD itu ada lima, yakni (a) panas, (b) ngomyang/mengigau, (c) keleke mrengkel (di ketiak ada benjolan, (d) kadang-kala mangane akih (banyak makan), dan (e) menghindar bila diajak tatap muka.

Selama berhari-hari saya mengalami gejala seperti itu, dan pada puncak demamku, datanglah kakak ipar sulungku, Kang Kasan Rejo, melakukan exorcisme.

Caranya, ketiak saya yang katanya ada benjolannya dipijit kuat-kuat seraya berkata “Mulih……mulih (pulang-pulang)” dan memaksaku harus menatap wajahnya. Kalau saya tidak mau menatapnya, pipi saya dicablek/ditampar dengan tetap berkata lantang “Mulih….mulih.”

Alhasil, – katanya begitu sih – , tiba-tiba saya tangi gregah (tiba-tiba bangun) terus jenggirat (mendadak berdiri) dan ke luar rumah, berlari ke arah barat sejauh 250 meteran. Di pekarangan belakang rumah Bu Carik (ibu sekretaris desa) ada pohon kepel sedang berbuah dan di sebelahnya ada bangunan bubrah (rusak) bekas kamar mandi.

Di dalam bangunan bubrah itulah tiba-tiba saya ngambruk/roboh, lemas lunglai. Saya digendong pulang oleh Kang Kasan, tidur pulas beberapa saat kemudian… Tamat, happy end.

Menurut Bausastra Jawi dhemit itu lelembut sing dedunung ing papan sing angker (makhluk halus yang bertempat tinggal di lokasi yang seram), seperti wit/pohon dan lainnya. Dan tentang setan diterangkan sebagai roh ala, roh jahat.

Membedakan antara keduanya gampang, kalau gentayangan ke mana-mana itu setan, dan kalau roh jahat itu nempel di suatu barang, itu dhemit.

Kalau dikatakan setan ora doyan, karena gentayangan/mengembaranya tidak “memangsa” siapa pun atau apa pun; sedang kalau dhemitnya dulit itu karena ia menempel pada sesuatu/seseorang. Itulah mengapa ada sebutan LKD, lara ketempelan dhemit.

Saat sekarang ini bukanlah LKD yang jauh lebih menarik untuk dibahas, melainkan LKC  (lara kena covid). Ibaratnya tuh si virus ini gentayangannya banter/cepat dan lahap banget (mengenai siapa pun), bener-bener dulit…

Menghindarkan Diri

Mengapa LKC mewabah dahsyat karena virus corona gentayangannya luar biasa cepat, bahkan dapat mutasi segala. Dan hanya sekedar menganalogikan saja, kencangnya virus corona ini gentayangan kemana mau, jauh lebih banter dan mengalahkan kesiapan banyak pihak, sehingga semakin meningkat jumlah orang LKC.

Baca Juga: Covid-19 Gampang Kena, tapi Banyak yang Tak Percaya; “Togel” Susah Kena, tapi Banyak Orang Percaya

Meskipun begitu, sekencang apa pun virus corona ini gentayangan, apalagi barang lembut ora katon (tak Nampak), kita tetap harus mampu MENGHINDARKAN DIRI.

Inilah kata kunci “terakhir” atau bagaikan senjata pamungkas melawan keganasan Covid 19, yakni pandai-pandailah menghindarkan diri. Seruan agar semua pihak melaksanakan 5 M berintikan pada inilah cara terbaik menghindarkan diri agar ora LKC.

Patut dicatat tebal-tebal, kita berusaha menghindarkan diri dari bertemu banyak orang atau menjauh dari kerumunan, karena gentayangannya virus corona ini bersamai (menempel) pada orang/barang.

Masih banyak orang berpikir gentayangannya itu di udara lepas, maka ketika disarankan jauhi orang lain atau kerumunan, sejumlah orang tersinggung karena menolak bersalaman, bergandengan tangan atau bahkan cium tangan, dll. Seolah-olah tidak ada rasa hormat lagi.

Upaya sembuh dari LKC, atau agar jangan LKC, harap tidak dikaitkan, apalagi dianalogikan, dengan pengalaman saya LKD. Kita sadari bersama, LKC ini sebuah fakta karena memang sedang terjadi pandemi.

Sementara LKD yang saya alami bisa jadi hanya sebuah ilusi spiritual belaka saat itu. Oleh karena itu, marilah kita jadikan gerakan bersama MENGHINDARKAN DIRI dari wabah ini, lewat antusias berburu vaksin dan diikuti gerakan ora lunga-lunga dhisik, tetep ana ngomah sik wae (tidak pergi-pergi, tetap di rumah dulu), ya Bro !!

(JC Tukiman TarunasayogaPengamat Kemasyarakatan)