Salah satu acara halal bihalal. Foto : SB/dok

Oleh Dr KH Muchotob Hamzah MM

Sejatinya, Islam Nusantara adalah Islam yang sama dengan Islam sedunia. Tuhannya, sama. Nabinya, sama. Al-Qurannya, sama. Hadisnya, sama. Kiblatnya, sama. Lalu yng beda apanya?

Pertama, Islam bukan agama baru. Ia hadir sejak Nabi terawal sampai Nabi terakhir. Prinsip akidahnya sama, meskipun sebagian syariatnya berbeda. Dalam satu agama pun, ada persamaan tujuan, meski metodenya berbeda. Perbedaan sendiri akibat dari nash, naz’ah atau bi’ah.

Kedua, Islam datang di Nusantara (waktu itu belum ada Indonesia) tanpa peperangan. Dakwahnya bersama komoditi. Di seluruh dunia, watak pedagang umumnya ramah, bukan marah. Ini melahirkan komunitas yang damai, gotong royong, dan saling menghargai.

Ketiga, masyarakat nusantara waktu itu kebanyakan sudah beragama atau memiliki kepercayaan (keyakinan).

Maka para wali penyebar Islam -melanjutkan metode dakwah Nabi Muhammad dengan melanjutkan adat yang tidak bertentangan dengan Islam, seperti kadar tingginya toleransi- Lalu mengubah substansi, tanpa mengubah metode.

Misalnya membakar kemenyan (metode), yang substansinya sebagai sarana berkomunikasi dengan Dewa, diubah dengan membakar kemenyan untuk memberi suasana harum seperti zaman Nabi (An-Nawawi, Syarah Muslim 15:10).

Kemudian, memurnikan substansi dan mengubah metode seperti semedi yang substansi dan metodenya untuk menghubungkan diri dengan Dewa, diganti dengan salat dengan segala syarat-rukun Dan sahnya.

Demikian pula sesaji, yang substansinya merupakan kerelaan mengeluarkan harta untuk menyenangkan Dewa, diubah menjadi sedekah yang diberikan kepada sesama (hidup), dan hakikatnya untuk mencari rida Tuhan juga.

Selanjutnya, yaitu mengubah keyakinan politeis ke monoteis tanpa menyakiti klien. Ya, para wali tahu, kalau umatnya ada yang musyrik, untuk meluruskan cukup dengan kalimat halus: “Aja dilakoni, kuwi ora elok (jangan dilakukan, itu tidak baik)”.

Selain itu, juga menggunakan (media) seni. Kita tahu, bahwa semua bentuk seni adalah bawaan lahir tiap manusia. Nabi Dawud juga menggunakan seruling untuk menarik perhatian “audiens”.
Nabi Muhammad SAW juga menyukai seni sastranya Hissan bin Tsabit, dan senang dengan hal-hal yang indah. (Muslim: 147)

Untuk itu, para wali pun menggunakan (seni) dalam berbagai substansi keislaman. Mengambil substansi dengan ekspresi kearifan lokal seperti mode berpakaian menutup aurat, tanpa harus sama dengan budaya Arab, meskipun juga tidak melarang atau mencelanya.

Halal Bihalal

Rektor Unsiq Jateng di Wonosobo, Dr KH Muchotob Hamzah MM. Foto : SB/Muharno Zarka

Syahadat, salat, zakat, siyam dan haji sebagai ibadah mahdhah. Syariat dan metodenya sudah lengkap. Kalaupun ada perbedaan, karena soal riwayat dan pemahaman saja.

Sedang halal bihalal sebagai ibadah ghairu mahdhah, substansi syariatnya jelas tetapi metode (thariqah)-nya bebas. Dalam sebuah hadis sahih disebutkan, supaya kita saling meminta kehalalan dari setiap kesalahan pada saudaranya sebelum mati. (Bukhari No 2269)

Maka para wali menggunakan cara budaya. Jika hari raya, buatlah makanan krecek (rengginang) sebagai simbol kerenyahan dan wajah sumringah.

Buat makanan satu (bersatu). Buat makanan jenang (lengket) bersaudara. Buat kupat (ngaku lepat/ salah), atau laku papat (lebaran, laburan, liburan dan luberan).

Pasca kemerdekaan RI, ketika terjadi centang perentang pendapat kenegaraan antarelit, Presiden Soekarno (Bung Karno) meminta pendapat KH Abdul Wahab Hasbullah, lalu disepakati metode dan solusinya yaitu dengan “Halal bihalal”.

Di manakah salahnya sebuah metode (thariqah)? Tidak ada! Kecuali jika metode (thariqah) itu didakukan sebagai syariah tetapi bertentangan dengan sumber syariah; al-Quran dan hadis.

Halal bihalal dapat dilakukan kapan saja, siapa saja dan bagaimana saja. Kalaupun dipilih waktu hari raya (Idulfitri), itu karena mengambil momentum saja.

Dalam dunia pendidikan, menjumbuhkan substansi dan metode ini sangat direkomendasikan. Yaitu saat orang lagi gembira, sehingga mudah untuk memberikan maafnya.

Tradisi dengan metode inilah yang dimaksud oleh Prof A Syalabi al-Misri dalam “Qawa’idul Lughat al- ‘Arabiyyah” sebagai khas Indonesia yang dinilainya baik. Wallaahu a’lam bi al-shawaab.

Dr KH Muchotob Hamzah MM, Rektor Universitas Sains Al-Qur’an (Unsiq) Jawa Tengah di Wonosobo.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini