Oleh Teguh Hindarto SSos MTh
KEBUMEN (SUARABARU.ID)- Menyusuri sepanjang Jalan Pemuda kemudian berbelok ke kiri dari Tugu Lawet (Walet) menuju Jalan Pahlawan Kebumen, kita akan menemukan sejumlah kawasan pertokoan yang menjajakan aneka macam barang dagangan.
Mulai dari barang elektronik hingga makanan di sisi kiri dan kanan jalan. Namun jika kita perhatikan dengan seksama, sejumlah fasad bangunan memperlihatkan karakteristik kekunoan dan keetnisan, dalam hal ini etnis Tionghoa. Di balik kesan lusuh warna-warna pada bangunan karena dimakan usia, namun fasad bangunan memperlihatkan karakteristik etnis Tionghoa yang telah melintasi rentangan zaman.
Sejak era kolonial, struktur sosial penyangga kota di Kebumen terdiri dari beberapa lapisan etnis. Yaitu Eropa (Belanda), Jawa, Timur Asing (Tionghoa dan Arab dsb). Dalam ilmu Sosiologi pembedaan dan pengelompokan masyarakat berdasarkan etnis ini disebut dengan diferensiasi sosial. Istilah ini dibedakan dengan stratifikasi sosial di mana pengelompokan masyarakat dibagi berdasarkan perbedaan status dan peran serta pendapat.
Jika kita melihat foto peta Kebumen tahun 1905 nampak sebuah lokasi di simpang empat – yang kelak pasca kemerdekaan didirikan Tugu Lawet – di sisi sebelah selatan hingga berbelok ke arah barat tertulis sebutan Chin Kamp alias Perkampungan Tionghoa atau Pecinan. Dengan melihat peta di masa lalu kita dapat melihat wajah kota dalam konteks historis. Keberadaan pertokoan dengan fasad khas etnis Tionghoa di sepanjang Jalan pemuda dan Jalan Pahlawan ternyata telah memiliki akar historisnya sejak era kolonial.
Dalam sebuah laporan paling awal yang dapat dilacak dari sebuah artikel berjudul Fragmenten Eener Reis Over Java (Door Dr. P. Bleeker): Reis door de Binnenlanden van Midden-Java, Van Poerworedjo Naar Banjoemas yang dimuat dalam Tijdschrift voor Nederland’s Indië jrg 12, 1850 kita mendapatkan keterangan berharga mengenai keberadaan etnis Tionghoa sbb:
“Keboemen terletak di Looeloh dan merupakan ibu kota dari asisten residen Keboemen (yang juga merupakan Kabupaten Karang-anjar), dan yang disebut kabupaten dan distrik. Keboemen tidak banyak bicara tentang itu. Rumah asisten residen, rumah bupati, masjid, gudang dan rumah penjara tidak ada yang istimewa. Ada 50 Prajurit. Distrik Keboemen berpenduduk sekitar 37.000 jiwa, termasuk sebagian orang Eropa dan hampir 200 orang Tionghoa”
Dalam tulisan tersebut terlacak data yang memperlihatkan jumlah etnis Tionghoa yang telah berjumlah ratusan. Tentu keberadaannya di wilayah Kebumen telah ada sebelum tahun 1850, apalagi jika dihubungkan dengan keberadaan pendekar wanita Tan Peng Nio yang turut berjuang bersama Sulaiman Kertowongso alias Kolopaking III saat terjadi Geger Pacinan pada 1740-an di Batavia yang merambat ke Jawa Tengah.
Perkembangan etnis Tionghoa di Kebumen kembali terlacak dalam Tijdschrift voor het Nederlandsch Aardrijskundige Genootschap (Majalah untuk Masyarakat Geografi Belanda) 1891 sbb: Orang Eropa (54), Pribumi Jawa (3015), Orang Tionghoa dan Timur Asing lainnya (541). Total jumlah penduduk sebanyak 3.610 (Teguh Hindarto, Dinamika Sosial Ekonomi Kebumen Era Kolonial, Historical Study Trips, 22 Maret 2020)
Ketika Hindia Belanda telah memasuki era Politik Etis di mana terjadi perbaikan di bidang edukasi, imigrasi dan emigrasi, termasuk di Kebumen perkembangan etnis Tionghoa semakin pesat meskipun etnis Jawa yang lebih banyak.
Toko Roti dan Makanan
Menurut laporan Volksteeling 1930: Deel II, Inheemsche Bevolking van Midden Java en de Vorstenlanden yang dikeluarkan Departement van Economische Tahun 1934 didapati data jumlah penduduk Kabupaten Kebumen di Distrik Alian, Distrik Kebumen, Distrik Kutowinangun, Distrik Prembun adalah 335.180 (Tahun 1920 sebanyak 324.605).
Dari jumlah 335.180 tersebut terdiri dari komposisi etnis sbb: Pribumi Jawa: (Tahun 1920 sebanyak 322.854), Eropa: 331 (Tahun 1920 sbanyak 253), Tionghoa: 2.167 (Tahun 1920 sebanyak 1.489), Timur Asing lainnya: 42 (Tahun 1920 sebanyak 9).
Di perempatan jalan menuju Pegadaian dari arah Jalan Kolonel Sugiono sampai JalanLetjen Suprapto kita melihat fasad toko bertuliskan Toko Lezad. Di tahun 1930-anlebih dikenal dengan sebutan Toko Bati. Dalam sebuah berita dengan judul Chinesche Camp yang dimuat harian De Locomotief (24 Februari 1930) menyebutkan nama-nama sejumlah toko Tionghoa dengan nama Toko Kong Long yang semula berada di Karanganyar telah membuka cabang di Kebumen.
Ada pula Toko Lo atau Piet serta Toko Bati. Mengenai Toko Bati, surat kabar ini menyebutkan, “yang telah memegang kendali tunggal di Keboemen sejak kepergian Bollemeyer” (die sedert het heengaan van den heer Bollemeyer de alleenheerschappij te Keboemen voerde). Toko Kong Long nampaknya menjadi saingan baru dengan menjual lebih murah (goedkoopere prijzen). Toko Bati rupanya tidak hanya menjual makanan sehari-hari tetapi terutama pada ekspor ribuan telur (maar voornamelijk van den uitvoer van duizenden eieren).
Menurut keterangan dr Paula Iin Yuliastuti, pemilik Toko Lezad, generasi ketiga dari Toko Bati bahwa pemilik Toko Bati bernama Ong Tjoe Ik dan Nyo Mei Hwa. Toko ini melayani pembuatan roti. Sampai sekitar tahun 1960-an, toko dibagi menjadi dua yaitu Toko Bati yang dikelola oleh Ong An Kok dan Toko Lezad yang dikelola oleh Ong An Pang.
Berkaca dari perspektif historis di atas, maka kawasan pecinan Kebumen yang saat ini masih tersisa dalam bentuk bangunan toko dengan sejumlah fasad bangunan yang mulai rapuh dan berwarna lusuh selayaknya mendapat perhatian khusus dari pemangku kepentingan terkait dan menjadi sebuah pertimbangan dalam mengerjakan city planning maupun cultural tourism.
Keberadaan sejumlah bangunan kuno di kawasan pecinan menjadi salah satu penanda identitas struktur penyangga kota bersama etnis lainnya. Pembangunan yang baik bukanlah pembangunan yang meniadakan jejak historis melainkan merawat warisan historis bagi generasi masa kini. Ini berlaku bukan hanya yang ada di kawasan sekitar Tugu Lawet Kebumen, melainkan di tepian Jalan Nasional di Gombong di mana ada sejumlah bangunan kuno bercorak Tionghoa yang dahulunya dikenal sebagai pabrik rokok yang belum mendapatkan sentuhan sama sekali.
Kota yang baik – menurut Wijanarka dalam bukunya, Semarang Tempo Dulu: teori Desain Kawasan Bersejarah – adalah kota yang memiliki kenangan tahapan pembangunan. Dengan kenangan tahapan pembangunan tersebut, sejarah pembentukan kota dapat dinikmati. Tahapan pembangunan tersebut pada dasarnya berupa kawasan-kawasan bersejarah yang pembentukannya cenderung selalu berurutan. Adanya pembentukan kawasan yang terbentuk secara berurutan tersebut akan menjadikan kota sebagai lintasan cerita yang dapat dilihat” (2007:1).
Pembangunan dan penataan kota bukan sekedar sebuah upaya melakukan economic planning melainkan social planning dan cultural planning sekaligus menjadikan setiap landskap ekonomi yang memiliki akar historis dapat menjadi “lintasan cerita yang dapat dilihat”. Kebumen menjadi lebih menarik dan unik manaka akar sejarah ekonomi dan sosial kota ini mampu dirangkai dalam penataan kota masa kini.
Penulis penggiat wisata sejarah di Historical Study Trips dan peneliti di Braindilog Sosiologi Indonesia