blank
Sesaji kepala kerbau beserta ubo rampe sesaji dalam larungan tahun 2021. ( Foto : Sunarso )

blank

Oleh : M. Iskak Wijaya

Dalam khazanah tradisi budaya di Kabupaten Jepara, terdapat agenda rutin tahunan yang diselenggarakan seminggu setelah Hari Raya Idul Fitri atau Hari Lebaran. Tradisi bakda kupat atau bakda lomba ini berupa sedekah laut yang diadakan masyarakat Jepara. Pesertanya tidak hanya para nelayan melainkan seluruh warga masyarakat.

Dalam sedekah laut ini terdapat berbagai sesaji atau sajen yang dipersembahkan sebagai ungkapan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkah yang dikaruniakan selama setahun.

Terdapat nilai filosofis yang sangat dalam pada acara sesaji laut atau Lomban ini, yaitu menguatkan kembali kesadaran manusia terhadap makrokosmos – Tuhan dan kesemestaan yang menjadi sumber penghidupan manusia. Juga menggambarkan adanya ikatan atau hubungan antara daratan dan lautan.

Pada acara itu disiapkan berbagai sesaji atau sajen beserta uborampe yang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi.Sesajen tersebut secara garis besar   dapat kita maknai sebagai berikut:

blank
Larungan tahun 2021 ( Foto : Sunarso )

Kepala kerbau atau sirah mahesa. Kepala kerbau itu ditutupi atau dibalut dengan kain kafan atau kain putih, yang bermakna pengorbanan dan persembahan ini didasari atas ketulusan dan keikhlasan kepada Tuhan. Di acara Lomban ini, kerbau dipotong dan dagingnya dibagi-bagi serta dimasak untuk dinikmati bersama-sama. Sementara kepala kerbau dilarung atau dibuang ke laut untuk berbagi kepada penghuni laut.

Kegiatan ini merupakan simbol yang maknanya sebagai ungkapan puji syukur dan terima kasih atas karunia Tuhan sehingga hasil yang telah dicapai dan yang akan datang menjadi lebih baik. Kerbau dipilih sebagai simbol kebodohan yang dibuang ke laut. Ada istilah Jawa “plonga plongo koyo kebo” – sebagai sindiran yang artinya “tidak tahu berbuat apa seperti kerbau”. Dengan membuang sisi kebodohan manusia, diharapkan akan semakin mendapatkan kebijaksanaan yang lebih baik.

blank
Larungan kepalakerbau dan sesaji pada larungan tahun 2020. ( Foto : Dok )

Larungan kepala kerbau di acara sedekah laut ini mirip maknanya, misalnya dengan ritual Mahesa Lawung dari Keraton Surakarta. Potongan kepala kerbau, kaki, dan jeroannya di kubur di Hutan Krendowahono. Mengubur kepala kerbau diartikan sebagai mengubur kebodohan, karena dalam tradisi kuno Mataram Hindu dan masyarakat Jawa, kerbau dipandang sebagai simbol kebodohan.

Ayam Dĕkĕm atau Ingkung. Ayam dĕkĕm disajikan secara utuh dan ditata indah. Dalam tradisi Jawa disebut juga sebagai ingkung berarti “enggala jungkung” atau “enggala manĕkung” yang maksudnya agar segera bersujud dan beribadah atau berdzikir sepenuhnya kepada Allah. Makna ini sama halnya dengan “dĕkĕm” atau “dekam”, artinya tubuh pada posisi merendahkan diri dalam-dalam sambil berlutut dan menunduk (seperti ayam sedang mengeram). Posisi ini menunjukkan sikap kesadaran manusia di hadapan Tuhannya dengan tubuh dan rasa yang rendah hati serta kepasrahan total.

blank
Larungan kepala kerbau pada tahun 1974 ( Sumber Khasanah Arsip Diskarpus Jepara )

Ayam Bakar. Dalam Lomban ada dua jenis sajian kuliner ayam. Selain ayam dĕkĕm ada ayam bakar. Jika ayam dĕkĕm dibumbui semacam opor dan direbus dengan racikan berbagai bumbu, ayam bakar dipanggang atau dibakar. Makna dipilihnya ayam sebagai menu karena ayam tidak pernah  melahap semua makanan yang diberikan, tetapi hanya memilih makanan yang baik. Ayam bakar dimaknai sebagai kesediaan untuk “membakar nafsu buruk” ego yang tidak baik di dalam diri sendiri.

Sepasang Pisang Raja atau Sĕtangkĕp Gĕdhang Raja Tĕmĕn. Dimaknai sebagai warga masyarakat yang bekerja secara tĕmĕn atau bersungguh-sungguh dan Sang Maha Raja (Tuhan Yang Maha Kuasa) sebagai saksi dan memberikan berkah. Setangkĕp artinya sepasang, yaitu pasangan lelaki perempuan yang secara aktif mengelola kehidupan untuk mendapatkan hasil yang optimal.

blank
Peta Teluk Jepara saat masa penjajahan Belanda

Kupat-Lĕpĕt. Dalam filsafat Jawa kupat dimaknai sebagai ngaku lĕpat (mengakui dan memohon maaf atas kesalahan). Bisa juga dimaknai laku papat (empat tindakan) yaitu 1). Lĕbaran (usai puasa) 2). Lubĕran (meluber atau melimpah, bersedekah mengeluarkan zakat fitrah), 3). Lĕburan (melebur dosa dan kesalahan), dan 4). Laburan (melabur atau menghapus yang buruk sebagai tindakan menjaga kesucian lahir dan batin). Ada yang memaknai kupat sebagai mĕngku papat yaitu persatuan, kesatuan, kesadaran, dan gotong royong.

Bubur Merah Putih atau Jenang Abang Putih. Bubur merah merupakan simbol dari ibu (dimaknai sebagai penghormatan terhadap benih perempuan – sel telur) dan bubur putih simbol dari bapak (dimaknai sebagai penghormatan terhadap benih laki-laki – sperma). Kedua bubur itu diartikan menyelamati ruhnya ibu (kama wadon) dan ruhnya bapak (kama lanang). Cara menaruhnya di dalam takir tidak boleh salah, harus bubur merah dahulu baru kemudian ditumpangi bubur putih. Dengan menyatunya kedua benih itulah manusia terjadi secara sempurna.

blank
Lomban tahun 1974 ( Khasanah foto Diskarpus Jepara )

Sĕgo Damar Murup atau Tumpeng Damar Sumurup. Media ini merupakan simbol pencerahan atau penerangan untuk masyarakat. Di puncak tumpeng ditancapkan lidi berujung kapas dibasahi minyak seolah-olah menyala ke berbagai arah, empat penjuru angin dan ke atas ke arah Yang Maha Kuasa. Maknanya sebagai persembahan yang akan mencerahkan dan menerangkan hidup ke semua manusia dan makhluk di semesta.

Sĕgo Janganan atau Tumpeng Sayuran. Sĕgo Janganan adalah tumpeng atau nasi putih yang dilengkapi dengan berbagai sayuran yang direbus kemudian dicampurkan dengan sambal parutan kelapa. Jangan atau sayuran bisa bermacam-macam. Tetapi macam sayurannya harus ganjil 5, 7 atau 9. Jika ada kangkung artinya jinangkung atau tercapai yang diharapkan. Sayur bayĕm artinya ayĕm tĕntrĕm.

blank
Larungan sesaji pada tahun 2019. ( Foto : Kanal Budiarto )

Kluwih berarti linuwih atau memiliki keunggulan. Kacang panjang artinya nalar yang jauh ke depan. Cabe merah merupakan simbol api terang sebagai penerangan atau teladan. Secara umum merupakan simbol kesuburan bumi disertai dengan permohonan kesejahteraan.

Sego nuk-nukan atau nasi putih berjumlah 5 kepal. Simbol dari sedulur papat limo pancer, yang terdiri dari kakang kawah (air ketuban) artinya kawah yang keluar dulu; adhi ari-ari (plasenta) adanya yang keluar kemudian; selanjutnya (getih) darah dan puser (tali plasenta). Yang kelima pancer (utama atau pusat) yaitu tubuh wadag sang bayi atau manusia itu sendiri. Budaya Jawa percaya bahwa sebagai manusia, seseorang harus menyelaraskan kelima hal itu agar menjadi satu kesatuan yang utuh dan sempurna.

Arang-arang Kambang. Arang-arang berarti jarang, sedangkan kambang berarti terapung, muncul, atau menampakkan diri. Dibuat dari ketan putih dan ketan hitam menandakan pilihan baik dan buruk. Ada yang membuat arang-arang kambang dengan jipang di atas air gula. Digambarkan sebagai manusia yang terbawa arus, ngambang kemana-mana, sehingga harus dilarung sehingga sifat buruk itu dapat hilang.

Cengkaruk. Cengkaruk adalah nasi atau beras ketan yang sudah dikeringkan dan digoreng tanpa minyak sebagai sarana tolak balak serta menghormati para ruh dan penjaga gaib (mBau Rekso). Cengkaruk gimbal dan cengkaruk uro / keno dimaknai sebagai perjalanan manusia dengan segala perjuangannya antara baik dan buruk. Manusia diharapkan bisa memilih hal yang baik untuk memperoleh kebahagian dunia maupun akhirat

Param Laut. Media ini bisa berbentuk bedak param seperti kue kering yang dapat dicairkan dengan air. Dipakai khususnya untuk wajah sehingga dapat melindungi dari panasnya sinar matahari. Param laut merupakan simbol kekuatan untuk menolak balak sekaligus melindungi serta mensyukuri karunia dan berkah Tuhan.

Sambel Gepeng. Dibuat dari kacang tholo atau kedelai yang ditumbuk kasar dengan camburan bumbu cabe, bawang putih, serta garam. Pasangannya adalah ikan asin atau gereh. Sajen ini dimaknai sebagai menysukuri yang dihasilkan dari dalam bumi dan secara sederhana dapat dinikmati oleh semua orang dari kalangan bawah hingga atas tanpa membeda-bedakan pangkat, derajat, jabatan, dan lain-lain. Sambel gepeng menjadi pemersatu semua pihak. Dinikmati dengan nasi putih dan gĕreh atau ikan asin.

Sayur Bening Daun Kelor. Dahulu Teluk Jepara masih terpisah dengan Pulau Kelor. Saat ini Pulau Kelor masuk dalam bagian kompleks Pantai Kartini. Menurut kisah yang terdapat di warga masyarakat, setiap acara Lomban selalu ada sayur bening daun kelor yang memiliki nilai sejarah serta hubungan dengan nama Pulau Kelor. Salah satu prosesi Lomban adalah selamatan dan ziarah ke makam Cik Lanang, di Pantai Kartini, sebagai orang yang dahulu mendiami Pulau Kelor.

Ikan Asin atau Iwak Gereh atau Gesek. Makanan ini simbol dari hasil laut yang diharapkan dapat awet dan abadi, yaitu sumber tangkapan hasil laut yang bisa dinikmati selama-lamanya untuk para pewaris serta anak cucu. Dengan sajen ini menandakan bahwa daerah pesisir Jepara merupakan wilayah penghasil ikan.

Paso Kêkêp beserta Isinya (Beras, Gula, Kopi, Teh, Jahe, dll). Media ini menjadi simbol keperluan atau kebutuhan manusia sehari-hari yang harus dipenuhi, mewakili bahan-bahan utama atau semacam sembako.

Kĕmbang Tĕlon merupakan sesaji berupa tiga jenis bunga yang terdiri dari bunga mawar, bunga kenanga, dan bunga kanthil. Arti tĕlon adalah tĕlu (tiga). Kembang mawar dimaknai sebagai “mawarno-warno” artinya beraneka ragam. Kembang kenanga  dimaknai sebagai “kĕnengo!” atau gapailah/raihlah. Kembang kanthil yang dimaknai sebagai “kanthi laku tansah kumanthil” atau menjalani iktiar maka akan tercapai.

Dengan simbol kĕmbang tĕlon diharapkan dapat meraih tiga kesempurnaan dan kemuliaan hidup atau yang dikenal dengan “tri tunggal joyo sampurno” yaitu sugih banda (kaya harta), sugih ngelmu (kaya ilmu), sugih kuasa (kaya posisi atau kuasa).

Kembang Boreh merupakan sesaji kembang berwarna putih, yaitu melati, mawar putih, dan kanthil. Ditambah dengan “boreh” yaitu campuran dlingo dan bengle. Bisa ditambahkan air mawar. Manfaat kembang boreh ini sebagai tolak balak. Diyakini bahwa bau dari campuran dlingo-bengle sangat tidak disukai oleh makhluk halus jahat.

Cobek atau Cowek Dupo. Cobek ini terbuat dari tanah yang fungsinya untuk membakar dupa atau kemenyan. Benda ini merupakan simbol dari proses manusia yang berasal dari tanah dan akan kembali ke tanah dengan meninggalkan riwayat atau warisan yang berbau harum atau baik.

Kloso atau Tikar. Tikar melambangkan tanah yang ditempati atau diduduki dan lebih dari itu sebagai lambang putaran hidup manusia dan lambang perjalanan hidup manusia. Tikar tidak hanya digunakan sekadar alas duduk atau tidur, tetapi juga alas sembahyang, untuk pertemuan, untuk mengeringkan bahan biji-bijian, alas menerima tamu, dan fungsi-fungsi lainnya. Sifatnya yang dekat dengan tanah dijadikan media untuk “mendinginkan rasa dan batin”. Tikar menjadi salah satu saksi perjalanan hidup manusia.

M. Iskak Wijaya adalah Budayawan dan Pengurus Yayasan Kartini Indonesia