Oleh Idham Cholid
Tak lama lagi puasa usai, kita akan memasuki Idulfitri 1 Syawal, pada 13 Mei yang akan datang. Sudah dua kali ini kita merayakannya di tengah situasi pandemi Covid-19. Jika sebelumya kita merayakan dengan penuh kebahagiaan, mungkin saat ini sedikit diliputi keprihatinan.
Kita tak bisa leluasa berkumpul dengan keluarga, juga bertemu sanak saudara, misalnya, karena berbagai aturan dan pembatasan yang diberlakukan. Terlebih mereka yang tak berkesempatan mudik lebaran.
Maka, selain terus berikhtiar lahir batin agar tetap sehat dan musibah ini juga segera berakhir, ada baiknya kita luangkan waktu sejenak untuk menghayati kembali makna lebaran yang kita rayakan.
Arti Idulfitri
Perayaan ini telah menjadi tradisi penting yang “dinikmati” seluruh warga masyarakat. Tidak hanya umat Islam. Bahkan, Idulfitri telah menjadi “industri” ekonomi yang sangat menggiurkan dan menguntungkan selama ini. Berapa banyak kreatifitas usaha bisa tercipta karenanya, terutama bisnis pakaian dan aneka makanan. Lihat saja bagaimana ramainya pasar dan pusat perbelanjaan setiap kali mendekati Idulfitri.
Tradisi yang kemudian disebut lebaran itu juga menjadi fenomena budaya yang unik, apalagi untuk masyarakat Indonesia. Lebaran identik dengan luapan suka cita dan kegembiraan. Dulu, ketika masih belajar puasa hingga pada usia remaja, saya selalu menunggu momen kebahagiaan untuk merayakan lebaran. Tentu karena baju baru, juga berlimpahnya aneka hidangan makanan, yang selalu ditunggu. Yang pasti, karena sudah tak puasa lagi.
Lebaran memang ditandai dengan telah berakhirnya ibadah puasa. Terambil dari kata dasar “lebar” (bahasa Jawa) yang berarti telah selesai, ditambah akhiran “an” yang kemudian menjadi istilah populer untuk menyebut peristiwa penting, puncak dari bulan Ramadhan. Di sini, tak hanya kewajiban puasa itu yang telah tiada, bahkan memang diharamkan juga untuk melakukannya.
Begitulah Idulfitri mesti dipahami. Dari akar kata “ifthar” (sighat mashdar dari afthara-yufthiru), fitri berarti berbuka. Disebut demikian, karena inilah hari di mana umat Islam merayakannya dengan tidak lagi berpuasa, setelah satu bulan penuh melaksanakan ibadah wajib tersebut.
“Hari mulai berpuasa (1 Ramadhan) adalah hari di mana kalian semua berpuasa. Hari berbuka (1 Syawal) adalah hari di mana kalian semua berbuka.” Demikian Sabda Nabi Muhammad Saw (Hr. Imam Turmudzi, Imam Abu Dawud, dari Abu Hurairah). Bahkan, tak sekalipun Nabi Saw pergi untuk shalat idulfitri tanpa makan beberapa kurma sebelumnya (Hr. Imam Bukhari).
Adapun kata “id” yang berarti hari raya juga disebutkan secara khusus, sebagaimana firman-Nya, yang menjelaskan ihwal doa yang dipanjatkan Isa al-Masih As:
“Ya Tuhan kami, turunkanlah kepada kami hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya [īdan] bagi kami, yaitu bagi orang-orang yang sekarang bersama kami maupun yang datang setelah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan Engkau; berilah kami rezeki, dan Engkau-lah sebaik-baik pemberi rezeki.” (Qs.5:114).
Singkat kata, Idulfitri merupakan ekspresi suka cita karena telah dapat mengakhiri kewajiban puasa. Syukur atas ketaatan yang telah dapat dilakukan itu juga diaktualisasikan dengan berbagi makanan melaui zakat, yang telah ditentukan standarnya, berupa makanan pokok sebagaimana yang dikonsumsi warga setempat. Umumnya di masyarakat kita dengan menggunakan beras.
Semangatnya, tak lain, agar di hari raya ini tak ada satupun warga masyarakat yang kekurangan makanan. Itulah zakat al-fithri, yang kemudian lazim disebut zakat fitrah, bahkan bernilai wajib dan harus dilakukan setiap muslim sebelum pelaksanaan shalat idulfitri itu sendiri.
Kembali Suci
Lalu, kenapa selama ini Idulfitri dimaknai kembali menjadi suci? Tak salah juga sebenarnya jika hal ini dimaksudkan sebagai doa. Bahwa kita senantiasa berharap, ibadah puasa dan amalan lainnya yang kita lakukan selama bulan Ramadhan, akan menghapus dosa-dosa kita. Tentu, ketika itu semua dilandasi keimanan dan penuh pengharapan ridha-Nya, sebagaimana sabda Nabi Saw:
“Barangsiapa berpuasa (di bulan) Ramadhan dengan dasar iman [īmānan] dan penuh pengharapan [wa-htisāban], maka Allah Swt akan mengampuni dosa-dosanya yang telah berlalu.” (Hr. Imam Bukhari dan Muslim). Dalam redaksi yang lain juga ditegaskan bahwa ampunan itu akan dilimpahkan kepada mereka yang melaksanakan shalat malam selama bulan Ramadhan.
Kembali suci berarti bersih dari segala noda dan dosa yang telah dilakukan sebelumnya, atau yang telah berlalu. Bahkan Nabi Saw sendiri yang menegaskannya. Inilah jaminan bagi mereka yang menjalankan ketaatan.
Di situlah mesti dipahami bahwa kembali suci bukanlah konsep yang berdiri sendiri, apalagi merupakan arti dari Idulfitri. Jika Idulfitri diartikan kembali menjadi suci; dengan demikian, apakah Iduladha akan kita artikan kembali menjadi hewan kurban (sembelihan)? Adha memang berarti hewan kurban atau sembelihan.
Namun kalau kembali suci itu disebut capaian, maka ia akan diraih setelah melalui proses panjang selama bulan Ramadhan. Di sinilah keistimewaannya. Ramadhan yang juga disebut syahru al-maghfirah atau bulan pengampunan memang dipersembahkan Tuhan untuk hamba-Nya yang beriman.
Dijelaskan tentang lima karunia istimewa bagi umat Islam di bulan Ramadhan, salah satunya, bahwa pada malam terakhir bulan tersebut mereka akan diampuni. Ketika Nabi Saw ditanya sahabat, apakah malam pengampunan itu lailatulqadar? Terhadap pertanyaan itu, Nabi bersabda: “Bukan, tetapi seorang pekerja akan diberikan upahnya jika telah selesai melakukan pekerjaannya.” (Hr. Imam Ahmad; Imam Baihaqi).
Artinya, selain lailatulqadar yang sangat diistimewakan itu, hingga malam terakhir Ramadhan pun Allah Swt masih memberikan karunia tak terhingga, yaitu ampunan untuk hamba-Nya. Inilah, dengan kata lain, upah dari pekerjaan (kataatan) yang telah dilakukan.
Maka, “celakalah orang yang mendapatkan bulan Ramadhan tetapi ia tidak mendapatkan ampunan.” (Hadits Nabi). Sekali lagi, tentu ampunan itu dilimpahkan kepada mereka yang menjalankan ketaatan dengan baik sampai akhir Ramadhan.
Malam Takbiran
Bahkan, di malam hari raya –baik Idulfitri maupun Iduladha– juga terdapat keistimewaannya. Sebagaimana disebutkan Syekh Abu Zakaria Muhyiddin an-Nawawi (w.1277 M), populer dengan Imam Nawawi, mengutip riwayat Imam Syafi’i dan Ibnu Majah, dari Hadits Nabi yang menjelaskan bahwa barangsiapa yang menghidupkan malam dua hari raya, maka hatinya tidak akan mati pada hari semua hati (manusia) mati.
Meskipun diakui sendiri oleh Imam Nawawi bahwa hadits tersebut dha’if (lemah), namun untuk keutamaan beramal dapatlah dijadikan landasan untuk mengerjakan amalan yang baik dan atau mendorong kebaikan. Apalagi memang disyariatkan juga, sebagaimana firman-Nya:
“…. Hendaklah kamu mencukupkan bilangan (puasa)-nya, dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu.” (Qs.2:185).
Menghidupkan malam hari raya dengan mengagungkan-Nya itulah yang kita kenal selama ini dengan takbiran. Dzikir dengan menggemakan takbir, tahlil dan tahmid dilakukan pada akhir Ramadhan, setelah berpuasa satu bulan lamanya, bahkan telah menjadi bagian penting dari tradisi perayaan lebaran.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar. Lā ilāha illa-Allahu wa-Allahu Akbar, Allahu Akbar wa lilLāhi al-Hamd.
Takbiran bisa dilakukan sendiri di rumah atau berjamaah di madjid. Bahkan selama ini juga dilakukan secara besar-besaran di jalanan. Kita menyebutnya takbiran keliling. Semua itu dapat dipahami, merupakan ekspresi kebahagiaan, sebagai rasa syukur yang mendalam karena telah dapat menyelesaikan ibadah Ramadhan.
Hanya karena situasi pandemi Covid-19 takbiran secara massal, apalagi keliling di jalanan, sudah dua kali lebaran ini ditiadakan. Sebelum-sebelumnya, malam takbiran bahkan menjadi acara resmi kenegaraan, melibatkan jajaran pemerintahan sampai di tingkat daerah, sejak zaman orde baru.
Saling Memaafkan
Yang paling utama sebenarnya, seluruh amal ibadah kita terutama selama bulan Ramadhan, diterima Allah Swt. Bahkan kita juga diajarkan agar mendoakan sesama. TaqabbalalLāhu minna wa minkum, semoga Allah Swt menerima amalan kami dan anda semua.
Kalimat itulah yang disunnahkan untuk saling kita ucapkan seusai shalat idulfitri dilaksanakan. Bahwa dengan diterimanya amal kita, niscaya Allah Swt akan mengampuni dosa-dosa kita semua. Ampunan Tuhan adalah kenikmatan, sebagai anugerah, demikian besar kasih sayang yang dilimpahkan kepada hamba-Nya. Jika dengan rahmat-Nya, Tuhan telah memberikan ampunan atau memafkan dari tuntutan akhirat, apa lagi yang masih diperlukan?
“Ya Allah, aku tidak memohon ‘terimalah seluruh ibadahku’. Namun permintaanku hanyalah ‘ampuni seluruh dosa-dosaku’.” Demikian salah satu syair yang dilantunkan Syekh Muhammad Zakaria al-Kandahlawi (w.1982 M), ulama Sunni madzhab Hanafi dari India.
Dengan ampunan itu dipahami bahwa kita akan kembali kepada fitrah. Yaitu “kesucian” sebagai manusia sebagaimana “asal kejadian” saat penciptaan. Harapan inilah yang terungkap dalam makna “minal ãidin walfāizin” yang selalu kita ucapkan saat Idulfitri tiba. Bahkan ini telah menjadi ucapan resmi yang diiringi juga dengan permohonan maaf lahir dan batin.
Prof. Dr. Quraish Shihab, dalam Lentera Al-Quran (2008), menjelaskan bahwa tidak ada rujukan langsung dari al-Quran berkaitan dengan kata ãidin. Bahkan bentuk kata itupun tidak bisa ditemukan di sana. Adapun al-fāizin terambil dari kata fawz yang berarti keberuntungan. Sebanyak 29 kali al-Quran menyebutkan itu dalam berbagai bentuknya.
“Al-Quran hanya sekali menggunakan bentuk afuzu (arti: saya betuntung), itupun untuk menggambarkan ucapan orang-orang munafik yang memahami ‘keberuntungan’ sebagai keberuntungan yang bersifat material (Qs.4:73). Selain itu, keberuntungan yang dimaksud, seluruhnya mengandung makna ‘pengampunan dan keridhaan Tuhan serta kebahagiaan surgawi’.” Demikian kurang lebih penjelasan ahli Tafsir tersebut.
Di situ dapat dipahami bahwa ampunan dimaksud berkaitan dengan dosa vertikal, antara kita sebagai hamba dengan Tuhan Yang Maha Segalanya. Lalu, bagaimana halnya dengan dosa kepada sesama, apalagi menyangkut dosa sosial kita?
Dalam konteks itulah, Idulfitri sejatinya menyediakan “ruang” untuk kita saling memaafkan. Lebaran menjadi tradisi yang penting agar kita menumbuhkan kesadaran untuk berlapang dada, membuka pintu “permaafan” bagi sesama.
Berlapang dada dan saling memaafkan memang disyariatkan Tuhan: “Hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin Allah mengampunimu? Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs.24:22).
Jika Tuhan mensyaratkan itu untuk memberikan ampunan, maka berlapang dada dan saling memaafkan itulah yang menjadi fondasi utama mewujudkan kebahagiaan. Tak lain, menciptakan relasi sosial dan tata kehidupan kita yang lebih berbudaya. Menghargai setiap perbedaan, merawat kebhinnekaan dengan sikap toleransi yang tinggi, serta jauh dari sikap saling menyalahkan. Apapun alasannya!
Kalisuren, 5 Mei 2021
Idham Cholid, Ketua Umum Jamaah Yasin Nusantara (Jayanusa), tinggal di Wonosobo