Oleh. M. Iskak Wijaya
Raden Ajeng atau Raden Ayu Kartini adalah seorang filosof. Dia memang tidak membangun sebuah sistem pemikiran yang lengkap sebagaimana halnya Plato, Aristoteles, Immanuel Kant, Karl Marx atau Martin Heidegger. Namun Kartini – seperti para filsuf lain – menjelajah ke dalam hal-hal yang bersifat fundamental, mengakar, dan menjadi hakikat hidup; seperti pemikirannya tentang emansipasi, nasionalisme, pendidikan, relijiusitas, pergerakan rakyat, kritik ideologi dan agama, kritik feodalisme dan kolonialisme, dll.
Dalam surat-suratnya yang lebih dari 100 buah itu, Kartini mengungkapkan pandangan pribadinya secara terbuka dan gamblang. Dia berada dalam ruang kesadaran intelektual yang tinggi dan jujur. Dilema pengalaman pribadi dialaminya, beserta konflik, kecemasan, kemarahan, kekecewaan, sekaligus harapan yang diinginkannya; semua itu menyatu dalam gejolak di dalam diri sendiri. Benar-benar dirasakan dalam kesendirian.
Ketika membaca tulisan-tulisan Kartini, menelaah riwayat hidupnya, memaknai dan belajar mengalami hidup seorang Kartini, kita akan memahami situasi perang besar dan konflik fundamental dalam diri seorang perempuan remaja. Kartini tidak mengalami perang tubuh, bukan berada dalam tragedi pembantaian fisik, bukan pertengkaran sengit dan perdebatan atau adu mulut yang saling bersahut, apalagi pertempuran berdarah-darah.
Yang dialami Kartini tidak lain adalah pengalaman langsung pertempuran di dalam batin, dalam pemikiran, dalam seluruh perasaan serta emosional, pada suasana panas yang menggelegak namun diperam dalam diam-kesunyian. Ada kontradiksi, juga paradoks di dalam diri sendiri: di satu sisi berada dalam semangat perjuangan, perlawanan, dan pembebasan, di sisi lain terpaksa diam, rapuh, tanpa daya. Tubuh yang terpenjara tapi jiwa dan pemikiran yang membebaskan.
Pertempuran atau bahkan perang besar itu sungguh nyata dihadapi Kartini. Dia menerimanya dan berusaha bertahan sekuat-kuatnya. Dalam batin yang teraniaya, dia memilih berani ketimbang takut. Yang tertulis dalam lembar-lembar suratnya adalah yang dilakukan dalam praktik hidupnya.
Pada saat dipingit ketika masih belia, pelan namun pasti, Kartini mulai menyadari tentang posisi perempuan, tentang adat dan tradisi feodalisme, poligami, dan kawin paksa. Sebuah keajaiban di saat-saat termuram dan gelap di masa pingitan itu, dia menikmati membaca dengan segenap hasrat keingintahuannya.
Selepas pingitan, dia mendidik diri sendiri serta menyiapkan rencana-rencana serta inspirasi untuk masa depan. Dalam hal kesetaraan, dia menyadari bahwa kemunduran sebuah peradaban dapat disebabkan karena kebodohan perempuan dan arogansi lelaki. Lebih-lebih jika ditambah tekanan dan kungkungan adat istiadat yang membelenggu dan tidak adil dengan pembenaran dalil-dalil keagamaan.
Beberapa karya nyata dia lakukan. Kartini menulis artikel pertama pada usia 16 tahun (1895) berjudul “Upacara Perkawinan Pada Suku Koja” (Het Huwelijk bij de Kodjas). Tulisan itu terbit di jurnal Bijdragen TLV, yang menjadikannya jurnalis atau wartawati pertama di Bumi Putera. Bersama-sama dengan adiknya – Rukmini dan Kardinah / “Tiga Serangkai” – mereka mengirim barang-barang pameran dari Jepara untuk “Nationale Tenttonstelling voor Vrouwenarbeid” (Pameran Nasional Karya Perempuan) di Den Haag.
Karya batik berikut penjelasan teknik pembuatannya yang secara lengkap dia tulis, menjadi Bab Pertama dari buku standar De Batikkunst in Nederland Indie en haar Geschiedenis (Kesenian Batik di Hindia Belanda dan Sejarahnya). Kartini juga menghidupkan tradisi ukir dan membangun jaringan pasar melalui lembaga Oost en West.
Dalam memperjuangkan pemikiran dan gagasan, Kartini menulis surat serta melakukan dialog berkorespondensi antarbangsa. Dia memunculkan kesadaran berbangsa atau semangat nasionalisme. Ini menjadi fakta bahwa kesadaran berbangsa muncul terlebih dulu dari perempuan.
Kritik-kritik yang dilakukan Kartini mengarah pada ideologi ningrat feodalisme, sistem ekonomi seperti ijon, kebijakan tentang perdagangan candu, termasuk kritik pada pemahaman agama, sehingga dia mempertanyakan tentang pendidikan agama Islam, khususnya pemahaman terhadap kitab suci al-Qur’an.
Dalam hal ini Kartini memelopori secara kritis atas pendidikan al-Qur’an dengan memohon kepada Kiyai Sholeh Darat untuk menerjemahkan al-Qur’an ke dalam Bahasa Jawa. Meskipun tidak selesai secara keseluruhan, Kiyai Sholeh Darat telah menerjemahkan al-Qur’an sebanyak 13 juz.
Di wilayah pendidikan, Kartini memprotes sistem pendidikan pemerintah kolonial. Surat atau nota Kartini yang berjudul “Berilah Pendidikan Kepada Bangsa Jawa” berpengaruh kepada hampir semua departemen pemerintah. Pada tahun 1903, Kartini mendirikan sekolah gadis pertama di Hindia Belanda. Dan nantinya, gagasan-gagasan Kartini itu dijadikan pedoman resmi bagi gerakan Indische Vereeniging (Perhimpunan Indonesia) (1911).
Namun, tubuh Kartini tidak sekuat pikiran besar yang harus ditanggungnya. Dalam usia 25 tahun, perempuan ini wafat usai melahirkan putera pertama tercintanya. Lama setelah Kartini berpulang, Presiden RI Soekarno melalui Keputusan Presiden Nomor 108 tahun 1964, menyatakan:
“Menimbang: bahwa kepada Sdr. Raden Adjeng Kartini almarhumah patut diberi penghargaan oleh Negara, mengingat djasa-djasanja sebagai pemimpin Indonesia dimasa silam, jang semasa hidupnja, karena terdorong oleh rasa tjinta Tanah Air dan Bangsa, memimpin suatu kegiatan jang teratur guna menentang pendjadjahan dibumi Indonesia; …
Memutuskan: menetapkan: Sdr. Raden Adjeng Kartini almarhumah ditetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional…”
Filosof perempuan ini bukan hanya sekadar seorang emansipatoris; lebih dari itu, Kartini juga “pemimpin Indonesia di masa silam” dan “memimpin suatu kegiatan yang teratur guna menentang penjajahan di bumi Indonesia”.
Melalui tulisan-tulisannya, generasi sekarang selayaknya memahami nilai-nilai perjuangan RA Kartini. Namun, membaca bukan pekerjaan enteng. Sebagian besar mereka yang mengritik Kartini, sama sekali tidak pernah membaca surat-surat itu. Hanya orang-orang yang memiliki keberanian dan kesabaran yang mampu membaca surat-surat Kartini. Butuh nafas panjang, seperti nafas panjang Kartini saat berperang di dalam dirinya sendiri. Sesungguhnya perang itu juga kita alami sampai detik ini.
Mari memperingati dan merayakan Hari Kartini dalam semangat yang menggelora, dalam damai, dalam optimisme bersama-sama.
Jepara 21 April 2021
Penulis adalah budayawan