blank

Oleh Anto Prabowo

blankSESUNGGUHNYA paling nyaman kalau kita bisa bersikap netral ketika menonton pertandingan pertandingan Liga Champions. Tidak memihak ke salah satu kesebelasan yang bertanding. Dengan begitu, kita bisa menikmati keindahan taktikal yang disuguhkan masing-masing pelatih, atau kecerdasan pemain untuk mencari ruang dan menciptakan peluang. Atau juga kepiawaian pemain bertahan dalam meredam penyerang-penyerang lawan, apalagi jika yang dijaga itu tergolong “pemain bintang”.

Bayangkan jika kita ngefans pada Liverpool. Mungkin kita berharap keajaiban akan terjadi pada leg ke-2 perempat final, setelah kalah 1-3 di kandang Real Madrid. Keajaiban pernah terjadi saat Liverpool berhasil menaklukkan Barcelona 4-0, setelah kalah di Camp Nou  1-4 di pertemuan pertama semi final UEFA Champions League (UCL)  2019. Mungkin sepanjang pertandingan mulut kita komat kamit mendaraskan doa agar mukzizat itu bisa terwujud.

Bayangkan juga kalau hati kita memihak ke Manchester City, betapa perasaan kita akan cekot-cekot ketika gelandang serang Dortmund Jude Bellingham, yang usianya belum genap 18 tahun,  berhasil menaklukkan kiper Ederson Santana de Moraes menit ke 15, di pperempat final  leg ke-2 Borussia Dortmund vs Manchester City Kamis (15/4) lalu.

Apalagi jika menyimak betapa efisiennya proses gol itu. Bola dilambungkan penjaga gawang Borussia Dortmund Marwin Hitz, diterima striker Erling Haaland dan digeser ke tengah lapangan, untuk disambut sepakan keras gelandang asal Suriah  Mahmoud Dahoud. Sepakannya terblok pemain belakang City dan mampir ke kaki Bellingham, si bintang masa depan, yang lalu mengkonversinya menjadi gol indah ke sudut kiri gawang Ederson.

Persasaan galau  kalau-kalau tim pujaan akan tersingkir baru bisa reda ketika City berhasil menyamakan kedudukan 1-1 lewat sepakan penalty Riyad Mahrez. Aman.  Baru menit ke 75 perasaan bergejolak lagi, tapi kali ini menyenangkan, ketika Phil Foden berhasil menyarangkan gol lewat sepakan keras dari luar kotak penalti. 1-2 untuk City. Itu artinya, Dortmund butuh menyarangkan 3 gol untuk bisa menyingkirkan City, karena di pertemuan pertama mereka takluk 2-1.

Kita semua tahu hasil perempat final itu. Mereka yang menang di pertemuan pertama lah yang berhasil lolos ke semi final: PSG, Chelsea, Real Madrid dan Manchester City. Selanjutnya, di semi final Chelsea akan berhadapan dengan Real Madrid (Rabu 28/4 dinihari WIB), kemudian  PSG lawan City (Kamis, 29/4).

Semi Final “Impian” Tidak Terjadi          

Saya sebenarnya berharap ada pertemuan antara Bayern Munchen dan Manchester City di semi final tahun ini. Pertemuan antara tim yang dimanageri dua pelatih cerdas, Hansi Dieter Flick dan Pep Guardiola.

Flick mulai menangani Bayern Munchen pada 3 November 2019, menggantikan Niko Kovac. Sebelumnya Flick asisten Kovak. Di bawah Kovak, prestasi Munchen terseok-seok. Barulah di tangan Hansi Flick, Munchen berubah menjadi “mesin pembantai”,  baik di liga domestik atau pun di liga champions.

Sial bagi Munchen, beberapa pemain penting mengalami cedera dan tak bermain saat lawan PSG di perempat final. Striker Robert Lewandowski jadi korban “jeda internasional” ketika memperkuat Polandia. Lututnya cedera, sehingga tak bisa membela tim nasionalnya ketika melawan Inggris awal April lalu dan tak dapat memperkuat Munchen di dua pertandingan perempat final. Mereka juga kehilangan gelandang yang kokoh, Leon Goretzka, serta penyerang sayap yang eksplosif, Serge Grnarby.

Eric Maxim Choupo-Moting, striker yang menggantikan Lewandowski, memang berhasil menyarangkan dua  gol ke gawang Keylor Navas di pertemuan pertama dan kedua perempat final, tapi terasa sekali pergerakannya lebih lambat dibanding goal getter asal Polandia itu. Moting lebih mirip Olivier Giroud dari Chelsea, kekuatannya pada sundulan kepalanya.

Menonton penampilan Munchen di bawah Flick saat menjuarai Liga Champions musim lalu ibarat menyaksikan bagaimana mesin-mesin industri bekerja. Sangat terukur dan penuh presisi. Tentu menarik sekali jika mereka berhadapan dengan City. Kedua tim sama-sama punya karakter menyerang, tetapi jika kita rasakan ada sedikit perbedaan.

Ibarat menonton pertunjukan musik, Munchen bagaikan orchestra musik klasik. Sementara Manchester City ibarat musik jazz. Di City, kadang kita menyaksikan “jam session” indah dari Kevin de Bruyne, Phil Foden, Ilkay Gundogan ataupun Riyad Mahrez. Gerakannya, pengambilan posisinya, serta tembakan-tembakannya seringkali tak terduga.

Pertemuan “impian” itu tidak terjadi. Selalu ada ketidakterdugaan di dalam sepakbola. Jika di final Liga Champions 2020 kaki kiper Manuel Neuer cukup ampuh menahan sepakan Neymar, di tahun ini tak berdaya menahan tendangan Kylian Mbappe, tandem Neymar. Gol-gol Mbappe itulah antara lain yang membuat PSG melenggang ke semi final, selain tentu saja kecemerlangan kiper Keylor Navas, pemain yang “dibuang” Real Madrid, yang berhasil memblok lebih dari 10 tembakan sulit yang mengarah ke gawanya di pertemuan pertama dan kedua.

Madrid Lawan “Bunglon”

Kembali pada pertanyaan, siapakah yang akan masuk ke final Piala Champions: Chelsea ataukan Real Madrid? Dan Manchester City ataukah PSG? Banyak pengamat menjagokan Madrid dan City yang akan lolos. Tapi tunggu dulu.

Madrid punya tiga jago tua yang skill-full dan konsisten, Luka Modric, Toni Kroos, dan Karim Benzema. Empat jago, jika Sergio Ramos bermain. Mereka ibarat kelapa. Semakin tua, semakin bersantan. Pergerakan tanpa bola Benzema bagus sekali. Dia juga tidak jaim untuk ngemong penyerang-penyerang muda yang energik dan sangat berbahaya jika on fire, Vinicius Junior dan Marco Asensio.

Kelemahan sektor pertahanan ketika bermain tanpa Sergio Ramos, bisa teratasi. Dua bek pengganti, Nacho Fernandez dan Eder Militao, bisa menjadi solusi atas absennya Ramos dan Varane yang cedera. Kekhawatiran yang selalu muncul bahwa Madrid akan rapuh jika bermain tanpa Ramos, perlahan mulai terkikis. Klub besar asal ibukota Spanyol itu makin percaya diri.

Tapi mereka akan menghadapi Chelsea yang kekuatannya sering tak terduga setelah kedatangan manajer baru, Thomas Tuchel. Jika Chelsea masih dilatih Frank Lampard, saya lebih condong menjagokan Madrid.

Prinsip Lampard asal serang. Tidak apa-apa gawang sendiri kebobolan, asal bisa mengompensasinya dengan gol ke gawang lawan yang lebih banhyak. Maka dia lebih memilih pemain seperti Tammy Abraham, serta juga Mason Mount, dan Hudson-Odoi. Pemain-pemain yang lebih lambat, seperti Olivier Giroud, Marcos Alonso, dan Christian Pulisic, jarang dimainkan. Kedatangan pemain-pemain baru yang berharga mahal, seperti Timo Werner, Kai Harvetz, Hakim Ziyech, tidak membuat Chelsea bertambah kuat di tangan Lampard. Dari ketiganya, hanya Timo Werner yang lebih sering dimainkan Lampard.

Di bawah manajer Thomas Tuchel, Chelsea tampil lebih rapi. Pertahanannya pun lebih solid. Tiga pemain baru itu disulapnya menjadi kekuatan yang mematikan. Maka dari awal dia menangani hingga 14 pertandingan, Chelsea tak pernah kalah. Gol ke gawang Chelsea pun minimal.

Tuchel manajer yang oportunis. Pemain yang dipasang, dan pola yang dikembangkan, tergantung lawannya. Tak jarang dia juga menerapkan false nine untuk strikernya, di mana peran itu dimainkan oleh Kai Harvetz atau Hakim Ziyech. Maka, Chelsea ibaratnya seperti bunglon. The Blues semakin sulit ditebak.

Siapa yang akan unggul di antara Madrid dan Chelsea? Sulit menjawabnya.Tapi, melihat permainannya yang solid saat mengalahkan Manchester City di semifinal Piala FA Sabtu (17/4) lalu, saya cenderung menjagokan Chelsea yang akan lolos ke final.

 

Tantangan Serius City

Selanjutnya PSG versus Manchester City. Untuk partai ini, kita dengan mudah bisa menilai, Man City lebih                atraktif. Tapi PSG punya Kylian Mbappe. Pemain ini ibarat “radikal bebas” yang bisa merusak tim lawan.  Di dalam dunia Kesehatan, radikal bebas adalah molekul yang kehilangan pasangan elektronnya, sehingga jadi liar, merusak struktur DNA dan mengakibatkan mutasi genetik. Radikal bebas menjadi pemicu terjadinya penyakit kanker yang mematikan.

Demikian pun Mbappe. Gerakannya cepat, liar dan eksplosif, membuat permain berpengalaman seperti Gerard Pique dari Barca pun seperti terkencing-kencing menahannya.  Hernandez dan Sule dari Munchen, tak kuasa menahannya. Tembakannya pun akurat.

Mbappe terbukti mampu yang menghancurkan Barcelona di 16 besar dan Munchen di babak perempat final UCL tahun ini. Dia melesakkan tiga gol di leg pertama dan satu gol di putaran kedua versus Barca, saat  PSG bermain tanpa Neymar. Dia juga yang melesakkan dua gol ke gawan Manuel Neuer.

Tipe Man City yang selalu tampil agresif –sebagaimana halnya Barcelona dan Munchen— justru menjadi kesukaan Mbappe. Dia memiliki ruang yang lebih leluasa untuk memporakporandakan pertahanan lawan.

PSG masih punya sang bintang Neymar Jr.  Tubuhnya memang terlihat lebih gendut. Tapi dribelnya masih sulit diantisipasi pemain bertahan lawan. Dan jangan lupa, Neymar juga “pemain sinetron” yang piawai. Aksinya yang sering mengaduh kesakitan sembari bergulung-gulung seakan cedera parah, acapkali  mampu memprovokasi para wasit dan asistennya.

Sesungguhnya Manchester City punya “antibodi” pada diri Ruben Diaz dan John Stone yang cepat, Kyle Walker yang lugas, dan Joao Canselo yang pintar membaca permainan. Jika mereka fit, rasanya si “radikal bebas” dan “pemain sinetron” dan PSG itu akan berhasil diredam. Dan Manchester City pun bisa melenggang ke final untuk pertama kalinya.***

Anto Prabowo, penikmat sepakbola