blank

Oleh Nurul Afifah, S.Pd., M.Pd.

Arahan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo pada rapat koordinasi Pelaksanaan Vaksinasi Covid-19 dan Persiapan Sekolah Pembelajaran Tatap Muka (PTM) pada 17 Maret 2021, memberi angin segar bagi sebagian besar pelaku pendidikan, peserta didik, dan orang tua/wali murid.

Sebagaimana tema rapat yang dilakukan secara virtual dengan perangkat daerah terkait dan bupati/walikota se-Jawa Tengah tersebut, persiapan sekolah melaksanakan PTM, menjadi salah satu bagian dari arahan yang disampaikan langsung oleh Ganjar Pranowo (jatengprov.go.id, 18 Maret 2021).

Arahan mengenai persiapan PTM tentu menjadi angin segar bagi sebagian besar pelaku pendidikan, siswa, dan orang tua. Mereka sudah sedemikian merindukan pelaksanaan pembelajaran langsung. Sejak pandemi Covid-19 terjadi di Indonesia setahun yang lalu, mereka telah dipaksa oleh keadaan, sehingga hanya bisa melakukan pembelajaran jarak jauh (PJJ).

Persoalan PJJ

Secara jujur harus diakui bahwa model pembalajaran jarak jauh benar-benar dikeluhkan. Sebab hampir semua orang tua murid tidak memiliki kesiapan, bahkan merasa tidak mampu mendampingi putra-putrinya belajar di rumah.

Belum lagi soal kesiapan sarana dan prasarana pendukung mulai dari perangkat jaringan data/internet, baik ketersediaan maupun kestabilan jaringannya. Juga  kesiapan kepemilikan perangkat gawai.

Ketika jaringan dan gawai telah tersedia, problema lain yang tak kalah serius juga muncul.  Pemanfaatan teknologi informasi yang tidak terkontrol telah membuat peserta didik  kecanduan gawai. Mereka kemudian tidak memanfaatkannya  untuk kegiatan produktif dan edukatif, namun justru untuk permainan.

Kendala yang sama juga dirasakan para guru. Di luar persoalan di atas, para guru masih harus berjibaku, berkreasi menemukan model pembelajaran yang sesuai dengan karakter umum dan karakter personal peserta didik di lingkungan satuan pendidikan masing-masing.

Bagaimanapun, pandemi ini datang tiba-tiba. Sementara Kurikulum 2013, kurikulum pendidikan yang selama ini digunakan, tidak pernah disiapkan untuk diterapkan dalam suasana pandemi, karena keadaan seperti ini memang tidak pernah diprediksi. Jangankan mengantisipasi pandemi, untuk pembelajaran dalam kondisi normal saja, belum semua guru mendapat diklat untuk melaksanakan kurikulum ini.

Namun tiba-tiba, para guru dipaksa berakrobat mengajar out of the box agar  peserta didik mampu memahami materi yang harus diajarkan. Mereka terus berkreasi dan berinovasi menemukan beragam aplikasi untuk memudahkan siswa belajar.

Melindungi Warga

Sementara bagi sebagian pelaku pendidikan, siswa, dan orang tua/wali murid yang lain, arahan pembelajaran tatap muka bisa jadi bukanlah kabar yang diharapkan. Masih rendahnya cakupan vaksinasi Covid-19 serta belum signifikannya penurunan curva penularan virus korona, menjadikan mereka khawatir PTM di sekolah akan menjadi kluster penularan baru.

Dikutip dari m.liputan6.com, hingga 21 Maret 2021, vaksinasi lengkap dalam dua dosis, baru menjangkau 2,3 juta warga Indonesia. Sementara yang  total warga yang mendapatkan suntik dosis pertama pada hari yang sama, baru mencapai 5,5 juta orang. Padahal Kemenkes RI menargetkan total vaksinasi menjangkai 181,5 juta orang.

Bisa jadi kelompok warga yang khawatir rencana PTM jumlahnya kecil. Namun sikap ini tentu sangat patut dihargai. Bagaimanapun melindungi warga dan masyarakat dari ancaman setiap penyakit adalah keharusan. Kesehatan adalah kebutuhan dasar warga negara. Alasan ini pulalah yang  menjadikan pemerintah memutuskan tidak membuka sekolah selama pandemi Covid-19.

Ujicoba Terbatas PTM

Dengan kondisi ini, maka keputusan Gubernur Ganjar Pranowo untuk terlebih dahulu melakukan ujicoba PTM di sebagian  kecil satuan pendidikan patut diapresiasi. Sebagaimana rencana yang tertuang dalam surat Gubernur Jawa Tengah tanggal 18 Maret 2021, ujicoba PTM Tahap I pada 5 –  16 April 2021 hanya akan dilakukan di satuan pendidikan jenis SMP, SMK, SMK, dan MA masing-masing 1 satuan pendidikan di setiap kabupaten/kota. Sedangkan untuk jenjang SD/MI/MTs, dan PAUD tetap melakukan PJJ.

Ujicoba itu pun baru bisa diselenggarakan setelah terpenuhinya  minimal 5 persyaratan. Kelimanya adalah memenuhi 100 persen indikator penerapan protocol kesehatan (prokes) sesuai pedoman pengawasan dan pembinaan penerapan prokes satuan pendidikan yang diterbitkan oleh Kemenkes RI.

Juga harus  memperoleh penilaian SIAP daftar periksa kesiapan sekolah pada PTM dari Tim Verifikasi/Visitasi  Kesiapan Sekolah kabupaten/kota; mendapatkan izin dari orang tua/wali peserta didik; mendapatkan izin dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 kabupaaten/kota; dan mendapatkan izin dari pemerintah daerah (bupati/walikota).

Dengan demikian, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dapat menakar kesiapan satuan pendidikan di masing-masing daerah, sebelum PTM dilakukan di semua satuan pendidikan. Sehingga keputusan yang nanti diambil setidaknya bisa merupakan keputusan terbaik, apakah melanjutkan PJJ, menghentikan PJJ lalu membuka sekolah untuk melakukan PTM, ataukan melakukan PTM dengan perbaikan-perbaikan berdasar hasil evaluasi selama masa ujicoba.

Menilai Kesiapan Satuan Pendidikan

Sepanjang pengamatan penulis di satuan pendidikan jenjang SD di Kabupaten Jepara, memperoleh penilaian SIAP dari Tim Verifikasi/Visitasi  Kesiapan Sekolah kabupaten/kota yang menilai daftar periksa kesiapan satuan pada PTM, bukan sesuatu yang terlampau sulit. Sarana sanitasi dan kebersihan (toilet/kamar mandi bersih, sarana CTPS dan air mengalir, serta disinfektan) telah disiapkan sejak tahun lalu melalui pembiayaan BOS.

Ketersediaan fasilitas kesehatan yang bisa diakses, kesiapan menerapkan area wajib masker, serta thermogun juga terpenuhi. Membuat kesepakatan bersama komite sekolah dengan tetap menerapkan prokes terkait kesiapan PTM juga sangat mungkin dilakukan.

Perolehan penilaian SIAP kiranya perlu kerja lebih keras  pada parameter “pemetaan warga satuan pendidikan yang tidak boleh melakukan kegiatan di satuan pendidikan”. Meski sulit, hal ini bisa dilakukan dengan memanfaatkan sumber daya di sekolah dengan memanfaat jaringan komunikasi ke fasilitas kesehatan, publikasi data Satgas Covid-19 kabupaten, serta gugus tugas desa.

Di luar itu, pengaturan jadwal masuk dan penggunaan ruangan di setiap sekolah agar tidak terjadi kerumunan, juga mudah dilakukan.

Prokes Kunci Utama  

Maka, untuk menakar kesiapan satuan pendidikan melaksanakan PTM, masalah yang lebih besar sesungguhnya berada pada perilaku dan budaya warga satuan pendidikan. Juga ketaatan warga masyarakat terhadap protokol kesehatan. Sebab yang kita hadapi bersama adalah virus yang dapat menular dengan mudah dan cepat.

Selengkap apapun sarana dan prasarana yang disiapkan, sedetail apapun aturan dibuat, jika budaya sehat dan budaya disiplin protokol kesehatan tidak terbentuk, ancaman terjadinya kluster penularan di lingkungan satuan pendidikan akan sangat besar.

Pada posisi ini, guru dan seluruh pamong pendidikan di sekolah memegang peran strategis. Mereka harus benar-benar menjadi teladan dan mampu membentuk budaya disiplin tersebut di dalam jiwa setiap warga satuan pendidikan.

Namun karena yang kita hadapi adalah virus, maka pembelajaran tatap muka, tidak boleh hanya diserahkan pada guru dan satuan pendidikan. Sebab interaksi terbanyak siswa justru berada di rumah atau lingkungan masyarakat. Karenannya peran para pemangku kepentingan lain dalam pengendalian penyebaran Covid-19 mutlak diperlukan.   (*)

Penulis adalah Kepala SDN 9 Jambu, Kecamatan Mlonggo, Kabupaten Jepara